Berlin

127 8 2
                                    

April-Mei, 2024.
To the piece of my youth that I left in the city of quirks. 

---------------------------

Nadia mengetuk-ngetukkan kakinya ke lantai bandara Berlin, sambil menunggu antrian yang mengular. Meski baru seperempat perjalanan, nasibnya sudah sial. Pesawat yang ia akan tumpangi, rute Berlin-Singapura, rusak total. Akibatnya banyak orang yang harus menjadwalkan ulang perjalanan mereka. Termasuk dirinya.

Di counter maskapai, ia akhirnya mendapatkan boarding pass baru. Disitu tertera bahwa penerbangan barunya akan lepas landas jam empat sore, sementara sekarang masih jam sembilan pagi. Tapi petugas maskapai bilang bahwa ia tidak punya pilihan lain.

Nadia menghela nafas, memutar badannya, dan melangkah gontai. Tiga langkah kemudian, BRUK!!

"Entschuldigung." ucap seorang pemuda yang menabraknya dari arah counter sebelah. Semua barang di tangan Nadia jatuh berceceran.

"It's fine." balas Nadia yang tidak bisa Bahasa Jerman, tapi cukup tahu bahwa lelaki itu mengucapkan permisi atau maaf. Nadia memungut kertas-kertas tiket yang baru ia tunjukkan di counter. Sementara si pemuda membantu mengambil paspor dan boarding pass-nya.

"Eh- maaf banget, nggak sengaja." sahut pemuda itu, seraya memberi Nadia paspor hijaunya.

"Nggak apa-apa kok, beneran." balas Nadia, ternyata lelaki itu orang Indonesia juga.

Si Pemuda lalu mengangguk santun, "Mari, mbak." Nadia pun balas mengangguk dan kemudian bergegas lalu.

Nadia berkeliling bandar udara Berlin yang cukup besar, sambil memikirkan langkah berikutnya. Ia bisa saja keluar bandara dan menjelajah kota sebentar, karena memiliki visa Schengen yang memperbolehkannya memasuki negara-negara Eropa. Matanya beredar, dan lalu menemukan sosok lelaki yang tadi menabraknya. Ia sedang mengantri di salah satu kios kopi. Entah mengapa, atensi Nadia tertuju padanya. Tapi lamunannya terpecah ketika si lelaki menoleh ke arahnya, hampir menangkap Nadia yang sedang memperhatikannya jika Nadia tidak buru-buru pergi.

Akhirnya, Nadia memutuskan untuk berjalan keluar dari area bandara. Ia akan berkeliling kota menggunakan transportasi publik. Tidak ada tujuan pasti, tapi ia sudah biasa berjalan-jalan random seperti ini.

Di depan stasiun kereta dalam kota, Nadia menekan mesin tiket dengan tidak sabar, tapi tak ayal, mesin itu lambat dan tak merespon. Ia kemudian berpindah ke mesin sampingnya, yang bekerja lancar, namun pilihan bahasa Inggris tak bekerja. Deretan kata-kata Bahasa Jerman membuat Nadia bingung.

Baru saja ia mengeluarkan ponselnya untuk membuka aplikasi translasi, sebuah suara lebih dulu terdengar.

"Bisa?"

Nadia menoleh, pria yang ia tabrak tadi.

"Ehm...Ini, Bahasa Inggris-nya nggak nyala." jawab Nadia, menggaruk kepalanya.

"Oke. Let me help you, then." balasnya.

Nadia baru memperhatikan fitur lelaki ini dari lebih dekat. Bermata kecokelatan, yang entah kenapa sangat berpendar, mungkin karena bingkai kacamatanya yang cukup tebal. Atau bisa jadi karena alisnya yang tajam. Kulitnya yang cokelat karamel, kontras dengan warna trench coat cokelat muda dan sweater biru mudanya. Cukup manis di mata Nadia.

"Mau tiket kemana? Day ticket?" tanyanya lagi.

Lamunan Nadia terpecah akhirnya, "Setengah Hari, nggak ada?"

Si pemuda mengerutkan dahi, "Emang rencana berapa lama di Berlin?"

"Itu, pesawat saya rusak, di resechedule tapi baru jalan jam 4 sore nanti. Jadi, nggak sampe sehari." jelas Nadia.

Kepingan NarasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang