Rumpang

168 11 4
                                    

Mei, 2024.
Untuk rasa kehilangan,
dan pertemanan yang selalu menguatkan.

-----------------------------

"Lo udah coba hubungin rumahnya, Nes?" tanya Lana.

"Udah...Tadi Om Joko yang ngangkat, katanya lagi tugas ke Jepang." jawab Agnes dari kursi kemudi.

"Shit. Gue lupa dia lagi terbang. Tapi harusnya dia dateng lah ya ke rumah Pria, malem gitu abis landing?" tanya Lana lagi, kali ini raut mukanya tidak bisa menyembunyikan kekhawatiran.

Agnes menghela nafasnya panjang, "Ya...harusnya. Udahlah, yang penting kita ada buat Pria." ia lalu berfokus berkendara kembali. Agak sulit untuk membuntuti rentetan mobil-mobil, meski dikawal dengan voorijder. Lalu lintas Jakarta memang kejam.

Lana menggigit bibirnya, "Semoga Dimas udah nggak sedrama itu ya. Gue yakin kalo dia nggak dateng, Pria bakal tambah jauh."

"Lan, udahlah... Tau sendiri Dimas orangnya baper. Sementara Pria cuek. Cowok-cowok tuh punya caranya sendiri buat ngatasin perselisihan." sahut Agnes lagi, mulai kesal sahabatnya itu tidak bisa meredam rasa overthinking-nya sendiri.

"Tapi Dimas tuh sebenernya..." lirih Lana.

"Lan, get over him. Ngapain sih, mikirin suami orang?"

Lana mengerutkan dahinya, menoleh ke perempuan berambut keriting tersebut, "Maksud lo apa? Jangan malah kita yang berantem sekarang, Nes."

"Eh- sori- bukan itu, maksud gue... Maksud gue, lo nggak usah terlalu khawatir lah soal Dimas. Dan iya, gue tau lo pernah suka kan sama dia?"

Lana memutar bola matanya, "Itu old news kali, cinta monyet namanya masih SMA. Dan emang kenapa? Gue sama dia masih sahabatan sampe sekarang, bahkan Rere juga nggak ada masalah sama gue. Dan lagi, kayak lo nggak pernah suka aja, sama Pria?"

"Hahaha. Najis. Nggak pernah. Kan lo yang bilang gue sama dia tuh Tom N Jerry." Agnes tergelak sekarang, "Dan iya, sori, sori, gue pikir lo masih ada rasa sesuatu ke Dimas."

Lana mengangkat bahunya, "Dulu pas ditolak sih sedih. Tapi sekarang, ngeliat Rere ditinggal-tinggal mulu, gue bersyukur sih laki gue bukan pilot."

"Ya, ya, si paling chill. Jadi tadi lo mau cerita apa sih? Dimas sebenernya kenapa?"

⏳⏳⏳

Jakarta, lima belas tahun sebelumnya.

Pertemanan Agnes, Lana, Pria, dan Dimas dimulai di SMA Bhakti. Salah satu SMA ternama di Jakarta yang hanya bisa dimasuki oleh anak-anak pintar. Tapi diantara mereka berempat sebenarnya yang betul-betul berotak encer hanya Agnes. Ia rajin belajar dan senang mengikuti beragam bimbel untuk mengejar cita-citanya menjadi dokter. Sementara, ketiga lainnya, merasa masuk lewat jalur hoki. Entah mengapa otak mereka yang pas-pasan bisa saja menembus tes masuk SMA tersebut.

Jadi mereka dipersatukan bukan lewat kegiatan akademis, tapi melalui sebuah ekskul musik. Ekskul musik di SMA Bhakti memang agak berbeda. Tidak ada guru khusus, tapi hanya seorang mentor yang membebaskan mereka berkespresi. Secara natural, mereka membentuk kelompok sendiri-sendiri. Ada kelompok choir, ada kelompok akustik, gamelan, bahkan ada juga yang membuat rock band. Tersisalah empat orang yang tampak canggung, tidak merasa bisa masuk ke kelompok manapun.

Agnes, si periang yang supel, berinisiatif memperkenalkan diri, "Halo, gue Agnes dari kelas XA. Kalian siapa?"

"Halo, halo. Gue Pria, dari XE." jawab Pria tersenyum, tak kalah ramah.

Kepingan NarasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang