Anak Mbarep

154 12 9
                                        

Oktober, 2024.
Untuk Mas Angga.


"Tapi, Ma. Ini full beasiswa, dan aku udah lama banget prepare buat ini.." ucap Kinara lirih, menahan tangisnya.

"Iya, Mama tahu, Mbak. Tapi gimana, kondisi papamu masih begini, kan. Kamu tega ninggalin kita? Ini tuh bukan 2-3 minggu, tapi satu semester penuh." ucap sang ibu, ia sebenarnya tak ingin berkata demikian, tapi keadaan yang memaksanya.

Kini, Kinara meloloskan air matanya, "Tapi Kinara kan... Udah dari dulu pengen ke Jepang.."

Sang ibu kini menarik putrinya ke pelukannya, mengusap pelan kepala Kinara, "Maafin Mama, ya Mbak... Semoga kamu bisa dapet lagi kesempatan kesana." Air matanya lolos juga sekarang, karena melihat sekeliling—kamar putrinya itu memang penuh pernak-pernik negeri Sakura, mulai dari novel-novel karya penulis Jepang, kartun dan anime, hingga artis-artis J-Pop. Ia benci harus mematahkan mimpi anaknya, tapi di sisi lain, ia tak mungkin membiarkan Kinara pergi.

Kinara, anak pertama dari tiga bersaudara. Kedua adiknya laki-laki, kembar identik, masih duduk di bangku SD. Kinara sendiri, sudah kuliah semester empat di salah satu kampus negeri ternama. Sudah lama ia mendambakan berkuliah di Jepang di semester kelimanya, sebuah hal yang ia persiapkan dari awal masuk kuliah.

Tapi enam bulan lalu, ayah Kinara divonis sakit kanker getah bening. Meski akhirnya kankernya sudah diangkat, tapi rangkaian kemoterapi dan ragam tes lab masih harus dilakukan. Belum lagi ketika kondisi ayahnya sedang nge-drop—dimana ibunya harus full merawat ayahnya, Kinara sudah pasti mengambil alih seluruh kegiatan rumah tangga. Antar-jemput adik-adiknya, memasak, belanja, bersih-bersih.

Benar-benar, semuanya. Kinara sampai merelakan kegiatan berorganisasinya, dan segala hobi lainnya karena waktunya tersita untuk keluarga.

Kinara tidak pernah mengeluh perihal ini semua, tapi ketika rencana ke Jepangnya gagal, ia mulai membenci nasibnya, hidupnya, keluarganya, dan...ayahnya. Meski ini semua bukan salah mereka.

Tapi kapan, Kinara bisa menjalani hidup sesuai keinginannya?

Setelah ibunya keluar kamar, Kinara langsung mencari ponselnya, dan lantas menghubungi sosok kesayangannya.

Mas Angga.

Mas Angga, sepupunya yang paling pertama. Bukan yang paling tua, tapi yang paling pertama dari keluarga besar Soemodidjojo. Ayahnya lima bersaudara, laki-laki semua. Ayah Kinara yang paling muda, sementara Ayah Mas Angga yang paling tua. Cucu nomor satu di keluarga besar yang berjumlah dua belas orang. Kinara adalah satu di antara tiga cucu perempuan. Karena yang lain sudah berkeluarga, otomatis Kinara juga jadi sepupu kesayangan Mas-nya yang nomor satu ini.

Di mata Kinara, Mas Angga adalah kakak yang paling sempurna, sekaligus yang ia paling sayang. Bukannya ia tidak menyayangi kakak sepupunya yang lain, tapi Mas Angga memang spesial untuknya karena pernah tinggal serumah dengannya jaman Mas Angga PKL dulu, karena rumah Kinara sangat dekat dengan kantornya.

Kini Mas Angga berusia 35 tahun, menjadi accounting manager di perusahaan BUMN, pintar bermusik, jago olahraga—ia dulu atlet basket jaman sekolah, hobi masak, istrinya cantik jelita, anaknya yang baru dua tahun juga menggemaskan.

Tapi di antara itu semua, Kinara paling suka kebebasannya.

Mas Angga memilih jalur berbeda dengan sepupu lainnya yang kebanyakan meneruskan posisi orang tuanya di perusahaan keluarga—Djojo Group memiliki lahan kopi terbesar di Jawa Timur, usaha yang kakeknya rintis dari 0, ketika Indonesia baru merdeka. DJ Coffee yang awalnya hanya menjual eceran dan jadi supplier ke perusahaan-perusahaan, kini telah membuka ratusan gerai kopi di seluruh Indonesia. Perusahaan ini yang jadi pemersatu (sekaligus masalah) keluarga besar Kinara. Karenanya, keputusan Mas Angga untuk hidup di luar keinginan keluarga yang Kinara selalu kagumi dari dulu.

Kepingan NarasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang