Hari Minggu Seperti Biasanya

221 16 4
                                    

Februari, 2022.

Untuk Ibu, dan ribuan anak-anak yang ingin Ibu beri harapan baru.

-------------------

Seperti minggu lalu, di Hari Minggu seperti biasanya, Alina kembali menatap benda pipih putih itu. Dia menghela napasnya, melangkah keluar kamar mandi. Dirga, sang suami, telah menunggunya di ruang keluarga, terduduk di sofa. Wajahnya tak menunjukkan ekspresi, tapi siap menerima segala berita. Alina tahu betapa besar pengertian Dirga selama ini, menghadapi ini. Dirga mengangkat alisnya, tanpa suara, tentu bertanya tentang hasilnya, tapi Alina hanya menatapnya lekat-lekat.

Negatif lagi. Dirga bergumam dalam hati. Tidak bagus? Atau justru bagus?

Sudah dua tahun ke belakang Alina dan Dirga berusaha memiliki keturunan. Mereka merasa sudah siap. Atau lebih tepatnya, Alina merasa sudah siap. Di awal pernikahan mereka lima tahun silam, keduanya memutuskan untuk menunda punya anak karena belum siap secara finansial, juga secara mental. Setelah tiga tahun menabung dan menyusuri bahtera rumah tangga yang rupanya cukup ajeg dan menyenangkan, Alina menyampaikan kepada suaminya bahwa ia telah siap untuk punya anak.

"Dia akan jadi sepintar kamu, dan selucu aku." katanya di hari itu dengan ekspresi penuh harapan. Dirga melihat istrinya, bertubuh kecil dan semampai dengan rambut sebahu yang membingkai wajahnya, membuat mata bulatnya lebih berpendar dari biasanya, ia tak sampai hati menolak keinginan sang istri.

Dirga bukannya tidak ingin punya anak, tapi ia ragu akan kapasitasnya sebagai ayah nantinya. Berbeda dengan Alina yang dibesarkan dalam keluarga harmonis, masa kecil Dirga tidak didukung oleh rumah tangga yang baik. Ditambah lagi, kedua orang tuanya meninggal saat usianya 12 tahun. Dirga tidak punya referensi cukup akan sosok ayah ideal. Tetapi Alina, seperti yang sudah-sudah, selalu bisa menampik keraguan Dirga dan membangun kepercayaan diri bagi pribadinya yang selalu khawatir.

Namun apa mau dikata, Yang Maha Pemberi belum memberi mereka rejeki. Entah salah di mana, hingga kini yang dinanti tak kunjung datang. Mereka sudah mengunjungi banyak dokter kandungan tapi tidak juga menemukan titik terang. Secara fisik, para dokter tidak menemukan gangguan apa pun pada keduanya.

"Kita jalan-jalan aja, gimana?" tanya Dirga kemudian. Khawatir sang istri larut dalam kekecewaannya.

"Naik KRL?" Alina bertanya balik.

Dirga mengangguk yang disambut oleh senyum lebar Alina.

Seperti biasanya di Hari Minggu, Dirga dan Alina berjalan-jalan tanpa tujuan. Kencan seperti ini sudah dinikmati keduanya sejak masih berpacaran. Kadang mereka ke Blok S untuk menikmati jajanan kaki lima, ke Perpustakaan Nasional untuk mencari koleksi buku-buku baru, atau ke Taman Ismail Marzuki untuk sekedar melihat kegiatan warga sekitar di pelatarannya. Mereka biasanya baru menentukan tujuan ketika sampai stasiun, tepat sebelum memutuskan peron mana yang mereka harus tuju.

Sesampainya di stasiun, Dirga mendekap istrinya, "Makan es krim di Ragusa, gimana?"

Alina mengangkat wajahnya, melihat raut suaminya, kemudian tersenyum, "Aku mau es krim mocca-nya."

Toko Es Krim Ragusa masih sepi pengunjung, mengingat baru lima belas menit berlalu dari jam buka pada pukul 10 tadi. Dirga duduk di meja paling luar, paling dekat dengan trotoar sehingga bisa melihat orang lalu-lalang, sedangkan Alina segera menuju kasir untuk memesan es krim kesukaan mereka.

Menghadap luar toko yang memang tak berpintu, sambil melihat pedagang asongan yang bergantian lewat, Alina dan Dirga menikmati pagi mereka yang dimulai tegang, agak rileks dengan segelas es krim mocca dan cokelat di tangan masing-masing. Alina melihat gelas es krimnya yang hampir habis, kemudian menatap suaminya, "Mau tambah?" tanyanya. Dirga menggeleng.

Kepingan NarasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang