Prolog

18 2 1
                                    


                Sebenarnya, Nirmala tidak terlalu menyukai kumpul keluarga semacam ini. Dia bukan introvert, namun ia tidak menyukai bagaimana orang-orang yang disebut saudara itu mengomentari dirinya.

"Kalau Mala, gimana nih? Kapan mau nyusul? Eh udah lulus kan kuliahnya?" tanya seorang tantenya.

"Iya-ya padahal Tania itu lebih muda daripada Mala kan? Ayo dong La, masa kalah sih sama yang lebih muda." Timpal yang lain.

"Udah Mala gak usah kebanyakan milih, gak harus sama yang sarjana. Yang paling penting itu bisa cari uang."

"Perasaan tiap ada acara, Mala gak pernah bawa pacar yaa? Diumpetin terus nih pacarnya."

Sungguh wanita yang biasa dipanggil Mala itu merasa muak. Orang-orang itu kenapa sih suka sekali mengomentari hidup orang lain?

Mala bahkan baru berusia 24 tahun, tapi kenapa tante-tantenya itu memperlakukan Mala layaknya ia berusia 40 tahun?

Sebenarnya ini bukan pertama kali ia mendengar ucapan itu dari sang tante. Di tiap acara keluarga, para tante itu pasti menyempatkan diri untuk menyenggolnya. Saat ia baru masuk kuliah misalnya, para tante dari pihak ibunya selalu berkata,

"Lulus SMA mending kerja dulu, nanti kuliahnya sambil kerja."

"Lah, kok kamu ambil jurusan PGSD? Mau ngajarin anak SD yang gajinya ga seberapa itu?

Omongan itu berlanjut saat ia sudah mulai kuliah, bahkan bertambah tidak mengenakan.

"Harusnya kamu itu ambil jurusan perawat, biar nanti gajinya gede. Lah ini, PGSD? Jadi guru. Guru itu gajinya kecil. Buat makan aja gak cukup."

"Itu tetangga tante yang masuk kuliah angkatan kamu, kemarin sudah wisuda? Kok kamu belum yaa? Lama banget."

Saat dia sudah lulus.

"Sudah dapet kerja La? Jadi guru di sekolah mana?"

"Di sekolah itu mah gajinya kecil. Mending kamu coba di sekolah international."

Padahal, orangtua Mala tidak pernah merasa keberatan atas apapun keputusan Mala. Orangtuanya bahkan mendukung penuh cita-cita Mala untuk menjadi seorang guru. Namun, orang-orang yang bahkan tidak membiayai hidupnya ingin ikut campur seolah-olah mereka sangat tahu apa yang terbaik untuk Mala.

Seperti saat ini.

Mereka sedang berada di acara pernikahan sepupu Mala. Tania memutuskan menikah setelah lulus SMA, dan tentu saja tantenya merasa senang karena ia tidak perlu mengeluarkan uang untuk membiayai kuliah anaknya. Tentu saja itu hanya pikiran Mala. Tetapi, memang para tante Mala dari pihak ibunya itu selalu memikirkan uang. Apa saja disangkut-pautkan dengan uang. Dan dengan menikahnya Tania, membuat komentar para tante semakin pedas.

Bisa saja Mala membalas perkataan mereka.

Tapi, Mala memilih diam. Dia malas berdebat. Dia tidak mau mempermalukan ibunya.

"Mbak, Mala itu jodohin aja." Omongan ini masih berlanjut.

"Oh kalau aku sih terserah anaknya aja mau gimana. Kalau dia memang belum mau menikah, tandanya dia belum siap. Masa orang belum siap aku nikahin? Nanti kalau rumah tangganya hancur, siapa yang aku salahin? Kamu?"

Ah, Mamanya memang paling pandai membalas ucapan sang tante.

**

Mala juga bingung, kenapa ya dia belum mempunyai pacar? Perasaan ia tidak terlalu jelek. Orang-orang juga tidak pernah mengatainya jelek. Bahkan, banyak orang yang memujinya. Terakhir pacaran saat ia semester 6, itu juga hanya 3 bulan karena ternyata ia hanya dijadikan pelarian oleh pria tersebut. Dan sampai sekarang terhitung sudah 3 tahun sejak ia putus, ia belum mempunyai pacar lagi. Sebenarnya ia resah, banyak temannya yang sudah menikah, bahkan punya anak.

Apa mungkin laki-laki diluar sana berpikir jika Mala sudah mempunyai pacar? Makanya tidak ada yang mengajaknya pacaran?

RoutinesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang