8.

20 1 1
                                    

Siang ini ruang rawat Nirmala ramai oleh beberapa wali murid yang datang menjenguknya. Mereka turut prihatin dan meminta diceritakan kronologi kecelakaan Mala. Tadi malam, kakinya sudah di rontgen,dan syukurnya tidak terjadi apa-apa. Sakit kakinya disebabkan oleh beban motor yang menimpa dirinya, sehingga kakinya memar dan kaku saat diajak berjalan. Itulah sebabnya Mala diharuskan untuk menginap setidaknya tiga hari.

Ngomong-ngomong soal menginap, ternyata kamar rawatnya sudah dibayar lunas oleh Galang. Mala pikir, pria itu hanya membayar DP awal saja. Namun, Galang membayarnya hingga tiga hari ke depan. Ia belum menghubungi pria itu karena ponselnya baru saja dibawa pergi oleh adiknya untuk diperbaiki. Jika ia menelpon melalui ponsel bututnya, ia tidak mempunyai nomor Galang. Apa ia minta nomornya ke Bunda Radya? ah, tidak-tidak. Yang ada, nanti Bunda Radya berpikir yang aneh-aneh.

Mala tidak melihat kehadiran Bunda Radya di ruang ini. Yang hadir menjenguk pun tidak lebih dari tujuh wali murid. Mala memaklumi, sebab ini adalah hari kerja dan mereka semua punya kesibukan masing-masing. Tapi, Mala yakin wali muridnya pasti sudah mendoakan melewati pesan di ponselnya yang belum ia balas satu persatu. Memang, Mala mempunyai dua ponsel untuk berjaga-jaga. Nomor ponsel di handphone bututnya ini adalah nomor darurat jika nomor ponsel utamanya tidak bisa dihubungi.

Setelah para wali muridnya pamit pulang, Mala merebahkan kepalanya. Ia ingin tidur siang. Namun, Ibunya menepuk-nepuk badannya, "Makan dulu," katanya.

Tanpa membantah, Mala pun memakan makanan dari rumah sakit yang sudah diletakkan didepan Mala oleh sang Ibu.

"Kamu kenal Galang dari mana?" Ibunya tiba-tiba menanyakan satu topik yang mungkin sudah beliau tahan sejak semalam melihat Galang. Tangannya mengambil satu buah apel untuk dikupas.

"Dia adiknya wali murid aku, lumayan sering jemput ponakannya. Terus kemarin ga sengaja aku jatuhnya di depan kantor polisi yang mungkin dia kerjanya di sana." Mala menjelaskan.

"Ibu sebenernya kurang suka sama Polisi. Tapi, kalo kamu suka gak apa-apa."

Mala menghentikan kunyahannya. Alisnya naik, bingung. "Maksudnya?"

"Yaa... kalo diliat dari tingkah kamu kalo ada dia, kayaknya kamu suka sama dia dehh. Tapi, Galang itu emang baik gitu yaa orangnya? Masa ga akrab, mau bayar rumah sakit full sih?"

"Aku gak suka Buu... jangan ngada-ngada deh. Dia itu mau bayarin yaa karena dia baik dan duitnya banyak aja mungkin, bukan karena dia suka sama aku."

"Yang bilang dia suka sama kamu siapa? Ibu bilang kamu yang suka sama dia. Hati-hati loh, Polisi itu biasanya genit, ceweknya ada dimana-mana. Yaa... walaupun Ibu gak liat tampang genit ada di Galang sih. Tapi, kan, wajah itu bisa menipu."

Mala melanjutkan makannya, "Ibu mikirnya udah kejauhan deh... Galang tuh gak mungkin suka sama aku. Cewek kayak aku mah bukan tipenya."

"Loh emang kenapa? Kamu cantik, baik, punya pekerjaan yang positif, bisa masak, suka beres-beres rumah. Rugi Galang kalo gak suka kamu," ucap sang Ibu sambil terus mengupas buah.

"Itu kan menurut Ibu. Semua Ibu pasti bilang gitu ke anaknya. Udahlah Bu, gak usah bahas Galang lagi. Yang penting tuh Ibu ganti uangnya Galang yang dipake buat bayar kamar ini. Biar kita gak punya hutang sama dia."

"Udah ditanyain sama Ayahmu semalem. Tapi, kata Galang nanti aja nunggu kamu sembuh dulu. Ayah juga udah maksa minta nomor rekening tapi Galang gak mau kasih. Memang baik kayaknya anak itu."

"Ibu tuh terlalu cepat nilai orang."

"Ya, daripada suudzon, kan gak baik. Mungkin itu memang rezeki kamu. Nih makan buah dulu, habis ini minum obat, biar bisa istirahat." Sang Ibu mengambil nampan berisi makan siang Mala yang sudah habis, diganti dengan sepiring buah apel yang tadi sudah ia potong-potong.

RoutinesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang