CHAPTER 2

210 15 0
                                    

Selamat membaca dan semoga suka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Selamat membaca dan semoga suka. Harap tekan bintang di pojok sebelum/sesudah membaca chapter kali ini.

******

Levansha Nadette tidur nyenyak di atas kasurnya yang keras, sama sekali tidak ada empuk-empuknya.

Dia baru pulang ke rumah sekitar pukul empat pagi tadi. Dan sekarang sudah pukul enam pagi.

Tiba-tiba seorang wanita paruh baya mendobrak pintu kamar Levansha yang tidak terkunci dan langsung saja menyiramkan air seember kepada perempuan yang sedang nyenyak tertidur itu.

BYUR— Sontak Levansha yang sedang nyenyak tertidur terbangun dan langsung duduk di atas kasurnya, dengan pakaian yang basah kuyup sehabis disiram. Matanya melotot dan tubuhnya masih bergetar karena terkejut.

Plak— Satu tamparan dari ibunya dihadiahkan kepada Levansha. Tamparan yang tidak main-main, pipi Levansha terasa pedih juga memerah sekarang. Mata perempuan itu berkaca-kaca, dia menahan tangis dengan tangan yang masih memegangi pipinya.

"Sudah pukul enam tapi kau masih belum bangun?! Dasar anak tidak berguna! Bisanya tidur saja! Gara-gara kau terlambat bangun, aku jadi harus sampai memasak di dapur!" Sielena, Wanita paruh baya yang tak lain ialah ibu dari Levansha itu berkacak pinggang dengan mulut yang masih terus komat-kamit mengomel.

"Cepat kau mandi sekarang! Sebagai hukuman karena sudah bangun terlambat, tidak ada makanan atau minuman untukmu!" Bentaknya sekali lagi kemudian keluar dari kamar putrinya.

Levansha cepat-cepat melaksanan ritual mandinya, agar sang ibu tak semakin marah pada dirinya.

Gadis yang malang, dia mendapatkan kekerasan dari keluarga setiap harinya.

Seusai berpakaian dan menyiapkan dagangannya yang akan dia bawa ke pasar, perempuan itu melangkah ke ruang keluarga untuk menemui Sachi, adiknya.

Di ruang keluarga itu, terdapat ayah ibunya beserta putri kesayangan mereka tertawa riang sehabis menyelesaikan makan bersama. Sementara Levanhsa yang melihat itu, hanya bisa menghembuskan nafas lelah dan terpaksa menarik sudut bibirnya, tersenyum cerah meski ada hati yang retak.

"Sachi, bisa tolong antarkan kakak ke pasar?" Levansha bertanya dengan lembut, karena hanya Sachi yang di belikan sebuah motor. Itupun hasil uangnya berkerja sebagai pedagang.

Sachi menatapnya malas, gadis remaja itu menggeleng. "Kakimu baik-baik saja, kan? Jalan kaki saja sana, aku malas." Tanpa beban dia berkata demikian pada kakaknya. Tunggu, kakak? Ah, sepertinya hanya Levanhsa yang menganggap Sachi itu adiknya, berbeda dengan Sachi.

Levansha tersenyum kecut, sudah biasa dengan semua lontaran kata-kata menyakitkan itu.

Albert, selaku ayah dari
Levanhsa tersenyum kepada
anak pertamanya. "Kalau
begitu, biar ayah yang akan mengantarkanmu."

DASSELBETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang