Bab 8. Permintaan Bima
Tadi saat kami berkumpul, tidak ada satu pun dari anak-anak yang membahas tentang foto viral itu. Seolah-olah mereka belum menyadarinya karena sibuk bersenang-senang. Aku juga tidak berniat memberitahu, meski bisa saja minta bantuan mereka dengan mengunggah satu dua foto atau video untuk membelaku. Namun itu tidak sesuai prinsipku, kan?
Hanya saja di perjalanan pulang saat memeriksa sosial media, aku cukup terpaku. Memang sesuai dugaanku, foto bersama Bella yang kuunggah di Instagram story benar-benar dibicarakan.
Namun bukan itu yang membuatku kaget, tapi justru pada potongan video yang memperlihatkan aku sedang bernyanyi bersama Mas Jevan. Di sebuah akun bernama berita dot viral, potongan video itu ditambahi caption "Diduga Mendatangi Lion Galih di Hotel, Suara Yashmine Fahreza Saat Menyanyikan Cinta dan Rahasia Jadi Perbincangan".
Ya, itulah yang membuatnya terkejut dan menyadari bahwa tadi Ravi bukan merekam, tapi justru sedang siaran langsung di Tiktok. Dia bahkan memfokuskan kamera ke arahku dan Mas Jevan saat bernyanyi tadi.
Berbagai komentar bermunculan. Beberapa memuji suaraku, meski aku merasa itu sangat standar. Tak sedikit yang menandai akun penyebar foto gadis bermasker entah siapa di hotel itu dan mengatainya fitnah. Aku melihat orang-orang berbalik membelaku, yang sejujurnya itu membuatku cukup lega.
"Kalian tahu dari awal?" Aku menoleh ke bangku kemudi setelah keheningan yang panjang.
Bang Bima—dia tidak membawa kendaraan tadi dan meminta nebeng mobilku saat akan pulang —yang fokus mengemudi, lantas menoleh sekilas. "Apa?"
"Soal foto di hotel itu."
Bang Bima mengangguk. "Lav yang pertama tahu, tepat setelah kamu ke toilet."
Aku mengerjap. "Jadi tadi pura-pura nggak tahu?"
"Nggak juga." Bang Bima menggerakkan persneling. "Cuma nggak penting dibahas."
Aku terdiam. Yang kutangkap bukan seperti itu, tapi mereka menjaga perasaanku. Dan soal siaran langsung, aku juga merasa mereka sengaja melakukannya.
Menghela napas, aku menggulir layar ponsel dan mencari grup chat berisi para sepupu dan anak-anak dari sahabat orang tua kami. Tanpa pikir panjang, aku mengetikkan kata terima kasih dan mengirimkannya ke grup.
"Yash."
"Hm," balasku tanpa menoleh.
"Tahu three magic words?"
Mengerutkan kening, aku mengangguk.
"Coba sebutkan."
Kali ini aku menoleh. Bang Bima melirikku sejenak. Aku berdecak.
"Sebutkan."
Kembali berdecak, aku berkata dengan malas-malasan, "Maaf."
"Terus?"
Menyandarkan kepala ke jendela, aku berkata, "Makasih."
"Dan?"
Aku menghela napas. "Tolong."
"Jadi?"
Tak paham, aku menegakkan kepala dan menatapnya. Bang Bima balas menoleh dengan kedua alis terangkat.
"Apa?" Aku tak mengerti.
Bang Bima menipiskan bibir. "Bahkan kata 'tolong' masuk ke dalam daftar kata ajaib. Kata yang wajar ada dalam kehidupan sehari-hari. Karena kamu tahu, Yash? Setiap orang butuh bantuan orang lain, meski sedikit. Dia nggak bisa hidup dengan terus hanya mengandalkan diri sendiri. Minta tolong itu wajar. Minta tolong bukan sesuatu yang salah, apalagi dosa. Minta tolong bukan berarti kamu lemah, tapi salah satu bentuk menerima rasa peduli dan kasih sayang dari orang lain."
Aku terdiam, sedikit terpana. Bukan hanya karena makna kalimatnya, tapi juga pada caranya berbicara. Baru kali ini dia bicara sepanjang itu. Dan kata-katanya membuatku tertegun. Karena selama ini dia jarang membahas tentang ini. Orang yang selalu menyindirku tentang meminta tolong adalah Bella, kadang Aksa. Sepupu-sepupu yang lain pun seolah-olah tahu jika aku selalu menghindari pembahasan itu.
"Kenapa bahas ini?" balasku sambil mengalihkan pandangan ke luar jendela.
"Karena Abang nggak mau kamu terus-terusan begini."
Aku menunduk, memandangi jemariku yang bertautan. Namun setelah itu aku tersentak karena tangan Bang Bima tiba-tiba melingkupi jemariku. Menepuk-nepuknya pelan.
"Kamu nggak pernah sendiri, Yash," katanya, lagi. "Abang nggak tahu apa yang membuat kamu jadi punya prinsip seperti itu, tapi Abang hanya ingin kamu ngerti satu hal, bahwa kamu punya keluarga yang akan selalu berdiri di depan, belakang, dan sisi kamu."
Apakah aku terharu dengan apa yang dia ucapkan? Ya, sedikit. Tapi selebihnya aku malah teringat tentang apa yang membuatku merasa harus mengandalkan diri sendiri. Ketika dia membahas tentang prinsip, aku malah teringat hal-hal yang kulalui bertahun-tahun lalu.
Karena itu aku melepaskan jemariku dari tangannya. Bersamaan dengan mobil yang berhenti di basement.
"Yash." Bang Bima menahan lenganku yang melepas sabuk pengaman, sehingga aku berhenti dan menatapnya.
"Abang bisa bawa mobilku dulu," kataku singkat, sebelum buru-buru turun dari mobil.
"Yash."
Lenganku ditahan ketika aku baru beberapa langkah berjalan. Bang Bima menatapku lekat dengan kerutan di keningnya.
"Kamu marah?"
"Pulang sana."
"Maaf."
"Aku mau istirahat." Baru selangkah, aku menoleh ke arahnya yang masih diam. "Jangan ngikutin aku. Aksa pulang ke rumah Om Bian jadi Abang nggak bisa jadiin dia sebagai alasan."
Dan ya, dia menurut untuk tidak mengikutiku. Kami bertatapan untuk terakhir kalinya saat aku sudah berada di lift, sementara dia berdiri di luar. Ketika pintu lift tertutup, aku menghela napas. Memang tidak seharusnya aku sekesal ini. Tapi ... seharusnya dia paham kenapa aku mempunyai prinsip seperti ini. Karena dia ikut terlibat.
***
Hmm Yash keras kepala ya ☺️
Magelang, 22 Agustus 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Here With You (On Going)
Aktuelle LiteraturSpin of Aww-dorable You Kesalahan di masa remaja membuat Yashmine Fahreza kini sulit untuk meminta atau menerima bantuan dari orang lain. Baginya, tidak ada yang bisa diandalkan selain diri sendiri. Namun sejak pensiunnya Yash dari dunia atlet dua...