Bab 4. Usaha Bima

329 93 6
                                    

Bab 4.  Usaha Bima

Aku punya beberapa sepupu dari pihak Mami—keluarga Wijaya—dan semuanya adalah laki-laki. Bang Bima adalah salah satunya, meski hitungannya dia adalah sepupu jauh karena merupakan putra dari sepupu Mami. Sebelum Azzura lahir, aku adalah satu-satunya perempuan di antara para laki-laki itu. Dan seperti yang biasa terjadi di cerita-cerita, aku diperlakukan bak putri oleh mereka. Diistimewakan, dimanjakan, dan diprioritaskan.

Bang Bima adalah salah satu yang sangat memprioritaskan aku di dalam hidupnya. Maksudku di antara para sepupu, dialah yang tidak pernah sedikit pun mengeluh atau mendebat jika aku bersikap manja. Karena itu bisa dibilang kami sangat dekat saat kecil. Aku yang mengikuti ke mana pun Bang Bima pergi dan dia yang selalu membawaku di mana pun dia berada–kecuali sekolah tentunya karena kami beda 3 tahun. Itulah sebabnya dulu aku sangat bergantung pada Bang Bima. Merasa memiliki dan tidak ingin dia dekat dengan siapa pun selain keluarga.

Namun ketika kami dewasa, ada beberapa hal yang nyatanya membuat kedekatan kami memudar seiring berjalannya waktu. Hal-hal di luar dugaan yang mungkin tak pernah terpikirkan seorang Yashmine bahkan Abimanyu di masa kecil. Yang sejujurnya aku pun sadar bahwa akulah pihak yang membentangkan jarak itu, membangun tembok tinggi agar Bang Bima, Aksa, maupun para sepupu lain tidak dapat merobohkannya.

Hanya saja dua tahun belakangan, tepatnya setelah aku harus meninggalkan asrama atlet, Bang Bima seolah-olah lebih berani. Sebelumnya dia menggunakan prinsip mirror treatment, atau meniru segala sikapku. Aku menjauh, dia ikut memberi jarak. Aku bersikap dingin, dia bisa lebih dingin. Aku masa bodoh, dia jauh lebih tidak peduli. Setidaknya itulah yang kutangkap selama hampir sembilan tahun sejak hidupku lebih banyak kuhabiskan di asrama.

Namun setelah aku kembali, dia menerapkan opposite  treatment atau sikap kebalikan. Saat aku hanya bicara sepatah kata, dia membalas dengan tiga kata. Saat aku bersikap ketus, dia hanya kalem. Saat aku mundur selangkah, maka Bang Bima akan maju dua langkah. Dia masih pendiam, tenang, dan cenderung dingin. Namun entah mengapa di depanku, seolah-olah dia sangat berusaha untuk merobohkan tembokku.

Seperti malam ini. Aku sudah bilang kepada Bang Bima untuk pulang lebih dahulu, toh kami membawa mobil masing-masing. Namun apa yang dia lakukan? Memanggil asistennya untuk membawa pulang mobilnya, sementara dia akan ikut ke mobilku. Ah, sial. Kalau saja hujan deras tidak tiba-tiba turun, sudah kutinggalkan dia di basement klub!

"Nggak mau."

Bang Bima yang menyetir, menoleh dengan tatapan tajam saat aku mengatakan itu. "Yash, kamu harus—"

"Aku punya gel nyeri di apart," potongku. "Nggak usah lebay."

Bang Bima menipiskan bibir. "Gimana kalau masih sakit?"

"Nggak." Aku berdecak. "Aku yang tahu kondisiku."

"Tapi kamu ceroboh," balasnya dengan datar.

Kulipat kedua lengan di depan dada sambil mengatakan, "Nggak usah terlalu ngurusin—"

"Abang tahu." Kali ini dia memotong dengan nada rendah.

Melipat kedua lengan di depan dada, aku memilih untuk melempar pandangan ke arah jalanan yang basah oleh air hujan. Sejujurnya aku juga tidak tahu kenapa harus sekesal ini setiap kali Bang Bima menunjukkan kepedulian atau kekhawatiran. Kepada sepupu yang lain pun begitu, tapi intensitas emosiku kepada Bang Bima bisa dibilang tiga kali lebih besar. Rasanya kami tidak pernah bisa mengobrol dengan santai karena tindakan Bang Bima selalu menunjukkan rasa peduli sementara aku sulit menerima. Aku menunggu dia lelah karena perlakuan burukku.

"Mau makan?" Bang Bima bertanya setelah hampir lima menit kami saling diam.

Aku menggeleng.

"Kamu belum makan."

Here With You (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang