Bab 3. Sana Pulang!

387 107 13
                                    


Bab 3. Sana Pulang!

Pada akhirnya aku menutup kolom komentar di beberapa postingan sosial mediaik. Sebenarnya aku bisa bersikap masa bodoh, hanya saja Mami dan keluargaku yang lain tidak. Setelah lelah meminta untuk klarifikasi tapi kujawab nanti, nanti, dan nanti, mereka menyuruhku agar tidak memberikan kesempatan bagi haters melontarkan komentar-komentar buruk lagi. Terlebih ketikan jari warganet semakin parah di konten terbaruku. Mami bilang sakit hati dan Papi tidak rela istrinya sedih. Jadi begitulah, aku menurut.

Sejujurnya aku juga tidak menyangka akan mengalami hal seburuk ini. Karena selama dua tahun beralih profesi menjadi seorang konten kreator, aku adem ayem saja. Pembenci pasti ada, tapi itu hanya komentar-komentar tak berdasar yang tidak terlalu banyak digubris. Namun kali ini aku bahkan merasa orang-orang yang dulu mendukungku, kini berbalik membenci. Ya meskipun ada juga yang tetap percaya dan yakin bahwa aku tidak bersalah—aku berterima kasih atas kesetiaan mereka.

Semua berawal dari pertemuanku dengan Lion sekitar tiga bulan lalu. Tidak, itu bukan pertemuan yang direncanakan. Saat itu aku sedang makan sendirian di sebuah kafe dekat pantai yang kukunjungi untuk me time, lalu datanglah Lion dan Ayara. Mereka menyapa, lalu bergabung di mejaku karena meja lain sudah penuh. Tentu saja aku mengizinkan karena meski tidak lagi sedekat saat aku masih di pelatnas, terkadang kami masih berkomunikasi melalui daring. Kami mengobrol seperti teman lama saat itu, meski ada rasa canggung karena telah berbeda jalan.

Lalu beberapa hari yang lalu, sebuah akun tiba-tiba mengunggah foto pertemuan kami itu. Tidak ada Aya di sana, hanya aku dan Lion yang sedang mengobrol dengan posisi berhadapan. Beberapa foto dibuat seolah-olah aku dan Lion sangat mesra, seperti yang dulu dilakukan oleh penggemar kami ketika berharap aku dan dia memiliki hubungan lebih dari seorang teman—sebelum Aya dan Lion jadian.

Lalu begitulah. Muncul spekulasi-spekulasi tak berdasar yang mengarah pada kesimpulan bahwa aku adalah pengganggu hubungan mereka. Terlebih belakangan memang sedang ramai diberitakan tentang retaknya hubungan Lion dan Aya. Aku dijadikan kambing hitam. Para penggemar 'setia' Aya menyerangku. Berbagai akun gosip menggoreng opini. Semua tak terkendali.

Jika ditanya apakah aku stres dengan ini semua? Tentu saja. Meski bisa bersikap masa bodoh, ada saat di mana aku tidak bisa mengontrol diriku sendiri untuk membaca komentar-komentar buruk itu. Itu menyakitkan, apalagi mereka membawa-bawa statusku sebagai mantan atlet. Aku memikirkan segala cara untuk mengatasi ini tanpa harus menyeret orang-orang terdekatku. Bagaimanapun ini masalahku sendiri. Aku tidak ingin menggantungkan beban kepada mereka. Tidak akan.

Brak!

Suara jatuhnya raket di lapangan yang lengang terdengar bergema, berikut pekikan kecil yang spontan keluar dari mulutku. Dengan napas tersengal, kupandangi kok yang mendarat tak jauh dari tempatku berdiri. Lalu pandanganku beralih ke arah lutut kanan yang bergetar hebat. Kutarik napas dalam-dalam, lalu mencoba menggerakkannya.

"Ah!" Aku memekik lagi, bersamaan tubuh yang kehilangan keseimbangan dan akhirnya tersungkur begitu saja di lapangan yang dingin.

Meringis, aku berusaha untuk duduk, menumpukan telapak tangan kiri ke lutut. Desah napasku terdengar jelas di tempat kosong ini, tak beraturan dan saling mengejar. Kupandangi setetes keringat yang meluncur dan jatuh di atas paha. Mataku terpejam rapat. Sekuat tenaga aku berusaha menekan perasaan berat yang mulai muncul di dalam dada ketika menyadari lututku mati rasa hingga sulit bergerak.

Aku tahu kali ini aku bermain dengan sangat berlebihan. Dokter sudah melarang agar tidak membuat lututku terlalu banyak menanggung beban. Namun hanya bulutangkis satu-satunya caraku melampiaskan stres. Karena entah sejak kapan, ada beberapa hal yang tak ingin kukeluhkan bahkan pada Bella sekalipun, yang notabene merupakan sahabatku.

"It's okay," bisikku pada diri sendiri. "It's okay, Yash."

Kuusap-usap tempurung lutut sambil terus mengucapkan mantra itu berulang-ulang. Butuh beberapa menit hingga akhirnya napasku kembali normal.

"Yash."

Bersamaan dengan tubuhku yang kembali tegak, suara itu terdengar. Spontan aku menoleh ke belakang, lalu terkejut melihat sosok yang berdiri di barisan paling atas bangku penonton.

"Bang?" Keningku berkerut, sembari punggung tangan mengusap peluh di pelipis. "Ngapain di sini?"

"Kamu yang ngapain?" Dengan kedua tangan tersembunyi di saku jaket, Bang Bima menuruni undakan. "Nggak inget jam berapa sekarang?"

Masih mengernyit, kuangkat pergelangan tangan kiri. Dan mataku mengerjap begitu melihat jarum pendek mengarah ke angka sepuluh. Sudah malam? Ah, diberi kepercayaan untuk memegang kunci lapangan dan ruang ganti membuatku lupa waktu.

"Om Dave mengizinkan kamu tinggal di apartemen bukan biar kamu bisa pulang malam seenaknya."

Aku melengos dan mengulang pertanyaan, "Ngapain Abang ke sini?"

Bang Bima melangkah mendekat dan berhenti beberapa langkah dariku. "Cari kamu."

"Aku bukan anak kecil." Aku menggeleng singkat, mengambil raket yang jatuh, lalu berusaha bangkit.

"Aku antar Zura pulang tadi sore dan kamu nggak di rumah. Tante bilang pulang ke apart. Aku ke tempat Aska dan sama sekali nggak lihat kamu pulang. Nyatanya kamu masih di sini dan—"

Brak!

Rentetan omelan Bang Bima berhenti bersamaan dengan badanku yang kembali tersungkur. Aku terpaku. Dadaku berdebar kencang.

"Yash."

Langkah kaki Bang Bima berderap, sepersekian detik kemudian kurasakan sentuhan di bahu kiri. Aku menepisnya sambil menoleh. Bang Bima menatapku tajam.

"Kamu baik-baik aja?"

Aku kembali menepis tangan Bang Bima yang mendarat di bahu. Kubalas tatapannya dengan datar. "Aku kenapa?"

"Jangan pura-pura bodoh." Bang Bima mendesis. Ekspresi datar yang biasa dia tunjukkan kini berubah jadi marah. "Kamu bermain berlebihan lagi?"

"Apa?"

"Kamu mau cideramu makin parah?!"

Mengedipkan mata singkat, aku berdecak. "Nggak usah lebay, Bang."

Bang Bima menipiskan bibir. Aku bangkit pelan dan kini bisa berdiri tegak meski lututku masih terasa kurang nyaman. Kami berdiri berhadapan sekarang. Dia yang menatapku tajam, sementara aku hanya membalas dengan datar. Untuk beberapa detik aku tidak paham apa yang dia pikirkan, tapi ketika tiba-tiba tangannya terulur, aku langsung memekik dan mundur beberapa langkah.

"Apa-apaan!" marahku. Lutut kananku gemetar dan kebas, padahal hanya ditekan sedikit olehnya. Rasa nyeri luar biasa mulai menjalar.

Ekspresi Bang Bima melunak. Dia mendekat, sementara aku menatapnya defensif. "Maaf," katanya, lirih. "Ayo ke klinik."

Mataku melebar, lalu aku berdecak. Tanpa mengatakan apa pun aku membalikkan badan dan melangkah terseok.

"Yash." Dia mengikutiku di belakang.

"Aku mau ganti baju," kataku.

"Kita ke klinik habis ini."

"Sana pulang!" Aku mempercepat langkah.

"Yash!"

Berhenti di pintu menuju ruang ganti, aku menolehkan kepala. "Aku bisa ngurusin diriku sendiri."

Setelah itu aku benar-benar meninggalkannya. Sambil melangkah, kusentuh paha kanan sambil menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya dengan kasar. Ini menyakitkan. Tapi aku tidak mau dikhawatirkan atau ditolong oleh siapa pun jika pertahananku belum mencapai batas. Tidak akan pernah, karena bergantung kepada orang lain hanya akan membuahkan rasa kecewa.

***

Magelang, 30 Juni 2024

Here With You (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang