Bab 9. Maaf

379 93 15
                                    

Bab 9. Maaf

Tidak. Aku tidak marah kepada Bang Bima atas nasehatnya semalam. Karena ini bukan pertama kalinya aku mendapatkan itu—orang lain sering mengutarakannya kepadaku. Hanya saja saat Bang Bima yang mengatakannya, entah kenapa ada sedikit—cuma sedikit—rasa tersinggung. Namun itu hanya sebentar, karena aku kembali tertampar kesadaran bahwa apa yang terjadi bertahun-tahun lalu adalah kesalahanku.

Jadi pagi ini ketika ada yang mengetuk pintu dan ternyata adalah Bang Bima, aku biasa saja. Dia datang mengantar mobilku yang dipinjam semalam, serta membawa bungkusan makanan bertuliskan nama kedai bubur ayam yang cukup terkenal di lingkungan kami.

"Belum sarapan, kan?"

Aku menggeleng sambil menutup mulut karena menguap.

Bang Bima yang masih berdiri di ambang pintu, mengangkat bungkusan itu. "Sarapan bareng."

Mau tak mau aku mengangguk, lalu membuka pintu lebih lebar dan membiarkannya masuk. Secara natural, Bang Bima langsung menuju meja makan. Iya, karena dia memang pernah beberapa kali datang sejak aku menempati apartemen ini. Kadang bersama Aksa karena aku juga menempati unit apartemen sebelah, peninggalan Om Bian dulu.

Meski kadang jutek, aku tidak pernah mengusir para sepupuku yang datang. Karena mereka biasanya datang untuk memedulikanku seperti membawakan makanan dan sebagainya. Hal yang sebenarnya sulit kuterima karena aku tidak ingin bergantung–lagi—kepada mereka.

"Kenapa pucet?" tanya Bang Bima yang baru saja menaruh bungkusan itu di atas meja dan menoleh ketika aku menyusul. Keningnya berkerut.

Aku menggeleng. "Hari pertama."

Bang Bima menatapku dua detik, lalu menarik kursi di dekatnya. "Duduk."

"Mau ambil mangkuk." Namun lenganku ditahan Bang Bima saat aku berjalan melewatinya. Aku menatapnya dengan mata menyipit, dan dia membalas santai. "Bang."

Bukannya melepas cekalannya, Bang Bima menarik dan mendorongku hingga terduduk di kursi. Setelahnya dia berjalan menuju dan mengambil mangkuk serta sendok. Dia menatanya di atas meja kemudian membuka bungkusan.

"Aku aja," kataku begitu melihatnya akan menuang bubur.

Bang Bima tetap melanjutkan gerakannya dan tidak menoleh sedikit pun saat berkata, "Ini bukan bantuan. Jangan khawatir."

Mendengarnya, aku memutar bola mata. Bukan bantuan? Lalu apa?

"Makasih," kataku saat Bang Bima menaruh mangkuk berisi bubur—lengkap dengan potongan ayam dan kerupuk—itu di atas meja, tepat di depanku

Namun apa yang dilakukan Bang Bima? Dia yang berdiri di sebelah, mengulurkan tangan lalu menyentuh dan mengusap-usap kepalaku bagian belakang. Tentu saja aku terkejut dan refleks menghindar.

Dia menatapku dengan kedua alis terangkat, sementara aku mendengus. Sambil mengaduk bubur—aku tim aduk—aku mengernyit. Dadaku sedikit berdebar hanya karena sentuhan kecil itu. Apa karena sudah lama sekali sejak terakhir kali Bang Bima melakukan itu? Sebelas tahun memang waktu yang sangat lama, kan?

"Mau sambelnya?"

Menoleh, aku mengangguk. Ketika Bang Bima mengambil bungkus sambal dan akan membukanya, aku segera merebutnya. Dia kembali menoleh dengan tatapan lekat sembari mendudukkan diri di kursi sebelahku. Aku cuek saja, sibuk mencampur sambal ke bubur dan mencicipi kepedasannya.

"Kram, nggak?" Tiba-tiba Bang Bima bertanya begitu saat aku sedang memasukkan bubur ke mulut.

Mengerutkan kening, aku mengedikkan bahu. "Biasa."

Here With You (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang