Bab 5. Kalimat Papi

355 98 6
                                    

Bab 5. Kalimat Papi

Dua tahun ini, tepatnya sejak sepenuhnya kembali ke rumah, aku memang minta izin ke Papi untuk tinggal di apartemen miliknya. Apartemen itu dulu jarang ditempati karena mereka pindah tinggal di kompleks perumahan yang sama dengan orang tua Mami saat aku masih di kandungan. Dan aku ingin menempatinya karena beberapa alasan, salah satunya terbiasa hidup jauh dari keluarga.

Bukan berarti aku tidak dekat dengan orang tuaku. Aku juga tidak bermaksud membentangkan jarak. Hanya saja ada hal-hal tertentu yang aku tidak ingin orang tuaku melihatnya, seperti insomnia, sedikit trauma, dan sesuatu semacam itu. Bertahun-tahun ini aku menyembunyikannya dengan rapi dari mereka, dan kuharap sampai kapan pun tidak ada yang tahu selain Tuhan dan diriku sendiri.

Meski begitu, aku tetap sering pulang ke rumah kok. Mungkin dua atau tiga hari sekali jika suasana hatiku benar-benar baik. Dan malam ini contohnya. Aku pulang ke rumah. Kali ini karena Zura menelepon dan berkata kangen ingin tidur berdua denganku.

"Mantap!" Aku mengacungkan dua jempol setelah mencicipi sesuap nasi telur kecap buatan Mami.

Mami yang duduk di sebelah Papi langsung tersenyum lebar, lalu membalasku dengan mengangkat dua jempol juga. "Siapa dulu dong, Mami!"

Aku tertawa kecil. "Makasih, Mi."

"Sama-sama, Sayang." Mami mengambil sebutir telur ceplok lagi kemudian menaruhnya di piringku. "Makan yang banyak, Kak."

"Siap." Aku berpose hormat.

"Kakak doang?" Papi memasukkan sesuap nasi sambil melirik Mami. "Papi nggak diambilin?"

Sudut bibirku tertarik ke samping. "Dasar cemburuan."

"Biarin dong." Papi mengangkat dagu. "Mami kan istrinya Papi."

"Siapa juga yang bilang istrinya orang lain?" balasku, membuat Papi menatapku dengan mata memelotot. Aku tertawa-tawa saja, lalu beralih ke arah Zura yang sedari tadi fokus dengan lauk kesukaannya. "Adek mau coba telurnya, nggak?"

Zura menggeleng dua kali sambil menggigit sosis yang ditusuk dengan garpu, dan keadaan mulut penuh makanan. Melihatnya, aku tak tahan untuk tidak mencubit pipinya. Gemas sekali adikku.

"Telurnya enak loh, Dek."

Zura menggeleng. "Lebih enak nugget sama sosis."

Aku terkekeh. "Ya udah. Pelan-pelan makannya."

Zura mengangguk dua kali. Ketika Mami menawarinya apakah mau tambah nugget, dia kembali mengangguk dengan lucu. Papi yang baru saja berdiri untuk mengambil air putih di kulkas saja langsung mencium kepala adikku itu saking gemasnya.

Setelah makan malam selesai, Zura memintaku untuk menemaninya mengerjakan PR. Permintaannya tidak hanya itu. Dia ingin mengerjakannya di kamarku, juga tidur di sana sampai pagi bersamaku. Tentu saja aku langsung menurutinya.

Jika teringat dua tahun ke belakang, rasanya lucu saja karena Zura tidak semanja ini denganku. Dia lahir saat aku berumur sembilan belas tahun, tepat tiga tahun aku tinggal terpisah dari keluarga. Saat itu aku baru saja lolos di pelatnas dan diharuskan untuk tinggal di asrama atlet untuk lebih intens latihan permainan bulutangkis.

Setelahnya hari-hariku dihabiskan dengan latihan demi latihan, juga berbagai pertandingan yang kulakukan baik tingkat kota, nasional, maupun internasional. Masa di mana Zura tumbuh dari bayi hingga balita adalah masa yang sama untukku merangkak sedikit demi sedikit untuk menjadi atlet yang bisa baik. Sekuat tenaga aku berusaha mempertahankan posisi untuk mendapatkan berbagai medali. Aku sibuk dengan duniaku sendiri sehingga tak terlalu mengenal malaikat yang Mami hadirkan di keluarga kami.

Here With You (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang