Hari kembali berputar. Seperti roda yang selalu naik turun yang diatur. Begitu pula manusia, kehidupannya telah ditentukan oleh Sang Pencipta Alam Semesta. Seperti yang kita ketahui dalam surah Al-fatihah yang dalam sehari semalam dibaca lebih dari 17 kali. Kehidupan teruus berputar bagaikan roda, itulah yang dinamakan roda kehidupan. Kadang kala berada diatas kadang kalanya berada dibawah. Dimanapun tempatnya ia akan selalu mengahadap ke bawah. Itu kewajiban manusia agar selalu bersyukur pada Tuhan-Nya.
Embun pagi masih banyak di jumpai, sekolah harus disyukuri.
Seorang gadis yang sudah siap menghadapi hari Senin dengan seragam OSIS yang dipakai. Kini sedang menunggu teman di depan rumahnya. Ia jongkok di tepi jalan aspal sambil memaninkan tangannya, menggambarkan sesuatu di tanah.
Saat tengah fokus menggambar, tiba-tiba motor melaju kencang dari araah kanan lalu berhenti mepet dengan dirinya.
Orang itu menopang motor yang ditumpangi dengan kaki yang kekar mulai turun ke tanah.
"Hei, lo anak enggak dianggap! Beriakan uangmu padaku!" suara orang itu terdengar menakutkan.
Salsa mengangkat kepalanya dan melihat orang di depan. Suaranya tak ading di telinga.
Setelah melihat sempurna Salsa berkata. "O-om? Kenapa baru datang minta uang?! Kan Om tau sendiri aku masih sekolah, mana mungkin punya uang."
Tanpa menjawab, orang itu langsung mencekik leher Salsa yang tertutup jilbab dalam waktu yang sangat cepat. Membuatnya reflek menjerit. "Aaaa! pekik Salsa yang merasakan sakit dibagian leher.
Radika melepaskan tangannya dari leher Salsa sebentar dan berkata.
"Kalo lo enggak mau sakit, cepetan berikan uang lo ke gue sekarang! Atau gue cekik lo sekali lagi? Paham!" ancam Radika kepada anak dari kakaknya.
"Om, t-tapi Salsa cuma bawa uang 15 ribu dong," jawab Salsa suaranya kini berubah akibat cekikan tadi. Lehernya sakit jika berbicara.
Radika terkekeh tak percaya mendengar jawaban Salsa.
"Hah? Lo mau bohongi gue? Masa sih, Hendra sama Rina, kan bekerja sehari penuh, gajinya juga banyak ya kali lo cuma diberi uang segitu?"
Dengan cepat Radika kembali memegang leher Salsa dan mencekiknya lagi, tetapi kali ini lebih keras. "Berikan uang itu ke gue sekarang!"
"Semakin lama lo ngambil uangnya semakin lama pula cekikan ini!" lanjutnya.
Salsa memasukkan tangannya ke saku rok bagian kanan dan merogoh-rogoh, tapi hasilnya pun nihil. Ia beralih ke saku bagian kiri dan di sana juga tak ada. Ah, ia baru sadar sekarang. Ternyata, uangnya tadi tertinggal di ruang tamu.
Terdengar suara motor dari rumah di belakang mereka. Radika menyadari jika itu adalah Hendra yang sedang memanaskan motor hendak berangkat kerja.
Radika mengambil tangannya yang berada di leher Salsa. Ia kembali menaiki motor dan menyalakannya. Sebelum motor itu berjalan, Radika kembali berulah kepada Salsa.
Ia mendorong Salsa dengan kaki kirinya. Salsa aat itu sedang jongkok tak bisa menjaga keseimbangan. Ia tersungkur ke pasir di belakang.
"Ira, tadi apakah itu suara kamu yang berteriak?" tanya Hendra dari belakang Salsa.
"Loh kok Ayah tau. Iya emang kenapa Yah?" sahut Salsa yang beranjak berdiri dari jatuhnya.
"Enggak. Kamu kenapa teriak?"
Hendra merasa aneh. Pasalnya jarang sekali Salsa seperti itu. Mungkin baru pertama ini.
"T-tadi ada ular lewat di belakang. Salsa kaget," ucapnya menundukkan kepalanya.
"Maaf Yah, sebenernya bukan itu yang terjadi. Jika aku mengatakan yang sebenarnya nanti Ayah marah ke Om Radika. Dan pasti hal itu merusak kesehatan Ayah sama Om," pikir Salsa setelah berbohong ada benarnya juga.
"Oh ya sudah, Ayah kira ada apa gitu. Tadi juga ayah mau ke sini lihatin kamu, terus bunda minta tolong kakinya ketusuk pecahan gelas," jelasnya.
Mendengar penjelasan itu, raut wajah Salsa berubah seketika. Bagaimana tidak? Bundanya juga mengalami masalah sebelum berangkat. Bedanya kalo Salsa di leher dan Rina di kaki.
"Ya sudah Ayah berangkat kerja dulu ya. Uangmu masih ada, kan?"
"I-iya, Yah. Masih kok."
Salsa mendekati Hendra dan mencium tangannya sebelum pergi. Walaupun lehernya sakit tetapi ia juga harus tetap berangkat sekolah.
"Eh Salsa udah di depan aja. Barusan mau aku panggil," ucap Ica yang baru datang. Tetapi Salsa tak mengetahui itu.
Kaget itulah yang Salsa rasakan. Sedari tadi ia hanya menundukkan kepalanya sampai sekarang baru mendongak.
"Kenapa, muka lo sedih begitu?" tanya Ica melihat ada perbedaan pada hari ini.
Salsa sedikit terkekeh. "Enggak kok. Ya udah yuk berangkat." Salsa berdiri menghampiri Ica.
Ia harus kembali menetralkan wajahnya yang mungkin sudah sudah tak tahan lagi. Jika tidak, mungkin teman-temannya akan terus bertanya-tanya.
Belum sampai sekolah saja Salsa mulai merasakan pusing menjalar ke kepalanya semakin berat.
"Sa, sebenarnya lo itu kenapa? Coba curhat siapa tau nanti gue sama yang lain bisa bantu," tanya Ica yang sedari tadi melihat raut wajah sedih Salsa dari kaca spion.
Hening. Salsa masih belum menjawab. Ia mengusap bulir bening yang sudah turun. Sesekali sesenggukan juga mengikutinya.
"Enggak papa kok, gue baik-baik aja," ucapnya ragu. Tak ada hanya kata lain yang bisa ia keluar ketika suasana begini.
Perjalanan mereka sampai sekolah tak banyak percakapan seperti biasanya. Bahkan mengenai tugas sekolah pun terlupakan. Apa lagi hal-hal random andal mereka.
Sedikit dulu. Terima kasih yang udah mau mampir. Tinggalkan komentarnya ya!
Ini belum masuk konflik utama ya jadi masih panjang. Sepanjang rel kereta api wkwkw.
Next yaa!
KAMU SEDANG MEMBACA
A True Friend
Teen FictionSalsa, seorang gadis polos yang baik kepada semua orang di dekatnya. Sifat yang mudah bergaul menjadikannya menilik banyak teman. Dari sekian banyaknya teman ada beberapa yang sudah ia anggap sebagai sahabat, bahkan persahabatannya itu bagaikan kelu...