🖇️ 7. Sedikit Perdebatan

68 16 18
                                    

"Ke kantin yuk," ajak Ziya yang sudah pusing dengan mapel kimia pagi ini. Ditambah lagi ada rumus-rumus baru yang harus dihapal dan dipelajari. Terus terang saja ia memilih mengabaikan perintah guru kimia dan mengajak temannya ke kantin.

Oliv yang sudah bermain ponsel tak terusik. "Males," jawabnya cuek, "Gue nitip aja, nih uangnya." Tangannya terulur di sana ada sebuah uang sepuluh ribuan.

"Sha, yuk ke kantin," pinta Ziya kepadanya. Sama halnya Oliv Salsha pun enggan ke kantin jika hanya berdua. Di waktu istirahat begini Ica lebih sering makan bekal dari rumah. "Ajak Oliv dulu nanti gue ikut."

Ziya terus menarik tangan Oliv, tetapi usahanya sia-sia karena tubuh Oliv yang lebih berat darinya.

"Hitungan 5 belum berdiri, gue tinggal!" Bukannya diisi tenaga yang ada malahan tenaga Ziya yang makin berkurang.

Alih-alih memberi waktu alhasil Oliv pun berdiri dengan terpaksa. Ya, gimana lagi diantara mereka bertiga juga Oliv yang paling rakus akan makanan. Sedikit sedikit lapar. Lebih parahnya lagi makanannya baru habis aja sudah lapar lagi.

"Diajak susah benget sih lo, tapi kenapa lo tetep mau ikut?" celetuk Salsha. Setiap menit di kantin akan semakin bertambah.

"Malas ngantri."

Salsha dan temannya berjalan menuju kantin yang tak jauh dari kelas mereka. Sesampainya di kantin mereka dikejutkan dengan ramainya kantin saat ini. Beberapa lama berdiri di sana ia baru menyadari akan suatu hal. Ternyata hari ini adalah pertama opening-nya menu baru yang sudah diinfokan 5 hari lalu.  Pantas saja jika mereka berburu dan rela mengantri panjang.

Berbeda yari yang lain, langkah kaki mereka menuju tempat yang tak terlalu ramai. Sebuah warung kecil milik Yaya.

"Bu, cirengnya 3 porsi, ya," ucap Salsha pada penjual itu.

Kurang dari 5 menit kemudian cireng pun diberikan kepada merek. Melihat tempat di sampingnya yang masih juga ramai mereka sedikit kasihan. Hanya demi se-cup Nisu mereka harus berdesak-desakan di suasana yang panas.

Oliv memasukan cirengnya ke mulut. "Lo bosen enggak sih, setiap libur masa kita enggak pernah main," lontarnya memulai percakapan dengan mulut yang terpenuhi. Rasa panas mengalahkan lidahnya yang terslomot.

Saat ini mereka duduk di kelas sambil menikmati jam istirahat yang sudah berlalu setengahnya. Sia-sia jika istirahat tak bersama teman apalagi mengrumpi.

"Ya, mau gimana lagi. Udah biasa kali," jawab Salsha jujur. Setiap libur tugas rumahnya selalu menumpuk. Jika tak begitu hanyalah pergi untuk bekerja kelompok bersama mereka. Itupun semua penuh mode serius karena tugasnya susah. Kadang juga kelompoknya tak ditentukan alias dipilih oleh guru mapel.

"Loh, beli cireng enggak ngajak?" Ica yang baru datang cemberut memanyunkan bibirnya. Perutnya sudah kenyang, tapi pengin makan cireng itu katanya.

"Kebiasaan. Tiap hari gue ajak lo … tapi apa jawaban lo!" Uda tau-tau diajak tiap hari, tiap hari juga ditolak terus. Gak ada perubahan satu persen pun.

Satu banding satu. Antara kemauan dan keramaian yang menjadikan pilihannya semakin sulit. Jika saja tadi ia ikut temannya mungkin saatnya sudah makan itu cireng. "Gak papa, gue mau beli sendiri," jawab Ica tak mau kalah.

Ziya mengerutkan keningnya. "Emang mau main ke mana?" tanyanya penasaran.

A True Friend Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang