🖇️ 6. Rasa yang Sama

107 37 25
                                    


Hari demi hari telah berlalu. Kue bikinan ibunya Ica sangat pas di mulut orang yang mencicipinya, tak lain ialah Oliv dan Ziya. Terbesit ide dari Ziya, ia menginginkan kue yang sama seperti yang kemarin Ica beri. Walaupun kue itu banyak dijual di area sekitaran sana, ia tak berniat membelinya satupun. Yang ia inginkan saat ini adalah kue yang sama persis–pembuatnya. Entah kenapa setelah bercerita itu kepada Oliv, dia juga menginginkan hal yang sama. Namun, ia sudah membeli dua bok kue itu tadi malam, tetapi masih saja ada yang kurang. Bagaimanapun kue buatan ibunya Ica tetep nomor satu.

Pagi harinya tadi mereka langsung mengatakan itu dengan terus terang kepada Ica jauh sebelum jam mata pelajaran pertama dimulai. Ica senang jika ada yang menyukai kue buatan ibunya itu. Ia pun mengiyakan permintaan kedua temannya itu dan berniat mengajak mereka bermain ke rumahnya.

“Ca, kemarin martabaknya habis? tanya Oliv mencegahnya berjalan.

"Dih, orang lo berdua yang habisin, kan?" celetuk Salsha tiba-tiba.

"Yang mana? Kemarin kita kan enggak makan martabak," jawab Ica asal pada kedua orang yang menghalangi jalannya. Dua hari lalu saat sedang makan martabak, sebelum Ica keluar ia berpesan untuk menyisihkan dua martabak untuk Salsha. Namun, setelah ia dan Salsha kembali ke kelas martabak itu sudah habis menyisihkan tempat makan ungu sebagai wadah dari martabak itu. Bahkan orang yang diberi pesan itupun entah ke mana perginya. Ditunggu sampai jam istirahat berakhir pun mereka belum juga datang. Mereka berdua datang saat kelas sudah beralih mata pelajaran biologi.

"Kata siapa lo?" sentak Oliv, ia pun menceritakan kejadian pada waktu itu, "Bukan gue kok yang habisin, kemarin itu pas tinggal dua ya, si Aksa minta ... dia itu enggak sendirian ada Aska juga. Kan gue udah bilang 'jangan itu buat Salsha' dianya itu tetep enggak percaya. Dan merebut begitu aja."

"Jadi bukan kalian berdua?" tanyanya Salsha lagi mengimitasi.

"Bukan lah, kan tadi udah gue jelasin begitu kronologinya."

Ica berjalan ke arah tempat duduknya dan meninggalkan mereka. "Iya-iya."

Di balik itu semua, Ziya sudah cemberut. Akankah keinginannya gagal. Mendapatkan respon begitu, mereka tetep mengikuti Ica dari belakang sampai dia duduk.

"Singkat amat jawaban lo hari ini?" tanya Ziya pada orang di depannya. Hati kecilnya kecewa, tak biasa seperti ini. Gadis cerewet macam Ica itu paling anti ngomong singkat.

Ica meletakkan tasnya di kursi. "Emang kenapa?"

"Gak."

"Lagian ngomong itu dari pagi nanti siang ya keburu cape. Lagian pagi-pagi gini jarang as yang baut gue emosian kok."

Oliv yang menunggu Ziya berbicara semakin geram dengan alur yang semakin ntah ke mana hilangnya. "Kelamaan. Udahlah sekarang itu intinya Ziya itu mau martabak buatan ibu lo!" ucap Oliv keras. Mendengar itu Ziya menoleh kasar dan melototinya.  Emang butuh sih, tapi apakah gak boleh basa basi dulu. Begini ya kalo punya teman asal ceplos.

"Diem!" Ziya menutup mulut Oliv dengan tangannya agar tidak lagi bicara. Sudah cukup segini aja, "Lo juga mau, kan? Gak gue doang!"

Keributan kembali terjadi. Ada-ada saja hal kecil yang membuat mereka ribut. Oliv menarik tangan Ziya untuk melepaskan bungkamnya itu. "Tapi, kan lo duluan yang sponsori gu–"

"Gak, gue gak main tuh sponsor. Emang gue jualan ya, sponsor kan buat yang jualan. Wlee." Ziya mengulurkan lidahnya dan sedikit menjauh. Kali ini opininya menang. Setahunya sponsor itu hanya segitu.

"Tau dari mana lo? Kalo gak tau gak usah ngomong deh. Sponsor itu buk–"

"Wah, pagi begini udah ada orang debat aja!" celetuk Aska di tengah mereka. Tanpa mereka sadari seperti jam hampir menunjukkan pukul 07.00 tinggal kurang berapa menitan lagi.

"Stop! Diem lo!" Salsha berusaha menghentikan perdebatan mereka berdua. Ia juga membentak Aska yang tiba-tiba datang dan bergabung begitu saja.

Ziya menempel di belakangnya, sedangkan Oliv terus mengeluarkan jurus bicara dengan ketegasan penuh. Jika sudah menjelaskan semua ia berubah drastis. Walaupun begitu Oliv terus berkata di balik bibirnya yang sudah tak bersuara.

"Inggih, Nyonya." Bukan Aska yang menjawab melainkan kembarannya–Aksa. Ia menangkap kedua tangannya di dada sembari menunduk.

Kalian nanti pulang pulang sekolah mau main ke rumahku enggak?" Ica duduk di tengah-tengah mereka sembari membawa snack Pringles di dekapannya, "Kalo kalian cape juga enggak papa kok, bisa lain kali aja," ucapnya dengan mulut yang terpenuhi dengan snack itu.

Mereka semua mengangguk setuju. Apalagi kedua bocah yang tadi berdebat kini sudah kembali akur seperti semula. Tak terasa jam berputar lebih cepat, waktu yang mereka tunggu sebentar lagi datang. Bel sekolah telah berbunyi nyaring sejak lima menit lalu. Namun, saat ini mereka masih berada di dalam kelas menyelesaikan cacatan mata pelajaran terakhir. Sebagai murid teladan mereka langsung mencatatnya tanpa suatu penundaan. Begitu juga anak kembar di kelas mereka yang tengah mencatat materi juga.

"Halo-halo, kalian rajin banget sih pake dicatat semuanya. Temen kita yang rajin aja enggak nyatat," ucap Aksa lantang di depan papan tulis, "Tapi sebelum gue minta maaf ya, hari ini itu gue piket dan ya, gue cuma mau bersihin papan tulis aja sih."

Selesai mengatakan itu, Aska menghapus semua catatan yang ada papan tulis tanpa sisa. Setelahnya mereka lari meninggalkan kelas itu tanpa mengucapkan sepatah kata lagi.

"Hei, awas ya lo!" teriak Oliv tak suka dengan ulah mereka. Ia ingin mengejar orang itu tetapi seperti orang itu berlari lebih kencang dari dugaannya.

Setelah dikira parkiran cukup sepi mereka bergegas pulang ke rumah Ica sesuai persetujuan tadi siang.

"Lo berdua masih di sini?" tanya Salsha yang menyadari keberadaan Aksa dan Aska dari balik tiang tembok.

"Orang usil belum pulang juga?" lontar Oliv yang masih geram dengan kelakuan mereka berdua.

Sembari mengintrogasi kedua orang itu, Ziya mengeluarkan motornya dari barisan. Mereka kira setelah menunggu lama, parkiran ini sepi? Nyatanya tidak semudah itu. Butuh waktu beberapa menit untuk mereka bergelut dengan motor yang sulit dikeluarkan.

"Gila. Besar benget rumahnya," ucap Oliv memutar perlahan matanya ke kanan dan kiri.

Gerbang putih minimalis dengan sedikit celah berukir memberikan kesan terbaiknya. Baru saja di depan mereka sudah terheran-heran dan berasa enggak percaya.

"Ca, ini enggak salah?!" Salsha terkejut. Perasaan tadi baru naik motor 15 menit, tiba-tiba sudah sampai aja. Bukan hanya dirinya saja melainkan Oliv dan Ziya juga sama.

Walaupun masih mengendarai motor Ziya juga kagum akan kemewahan rumah yang satu ini. Menunggu satpam membuka gerbang itu Ziya dan Ica berhenti di depan gerbang. Sedangkan Oliv dan Salsha memilih turun terlebih dahulu. "Ini beneran rumah lo, Ca?!" Kali ini Ziya yang bertanya.

Ica terkekeh geli. Pujian dari temannya itu tak seharusnya dilontarkan. "Apaan sih lah. Kalian ada-ada saja."

Gerbang pun terbuka Ica dan Ziya memajukan motornya ke dalam. Dari belakang mereka mengikuti langkah kaki Ica yang sudah memasuki ruang utama. Lagi-lagi mereka dikejutkan dengan luasnya rumah utama. Bahkan jika dilihat-lihat muat untuk orang ngungsi. Sofa besar di tengahnya, serta pajangan barang-barang mewah yang menghiasi dan memenuhi setiap sudut ruangan ini.

Suara seorang perempuan kepala tiga membuat kaget mereka. "Sini-sini masuk. Kebetulan tadi saya membuat martabak manis banyak banget. Kalian mau rasa apa?" Setelah dilihat ternyata ruangan ini juga menyatu dengan rumah makan.

"Ih Tante. Enggak usah repot-repot, kita ke sini cuma main doang kok," jawab Salsha merasa kehadirannya membuat repot mama Ica.

"Tante tau aja."

A True Friend Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang