rêver 8

578 22 8
                                    


Aku tak tahu apa yang dilakukan oleh orang-orang ini, bergerumul di dua titik yang jaraknya tak terlalu jauh. Banyak orang berkerumun, berpakaian hitam, bahkan terdengar isak tangis.

Doa-doa berkumandang di udara, mengehembuskan angin sendu diiringi kesedihan sekaligus keagungan Tuhan.

Nisan-nisan yang tegak disekitanya terlihat sepi, Namun seperti penuh hikmat mengikuti pemakaman yang sedang terjadi.

Sebenarnya siapa yang mati?

Siapa yang sedang di kubur?

Kenapa orang-orang ini terlihat seperti aku kenal? Bahkan tadi ada orang tua Ian, Jo dan beberapa kerabat yang aku kenal.

Dan pertanyaan paling besar dalam benakku, kenapa aku disini menyendiri jauh dari kerumunan?

Dimana Ian?

******
Kulit kayu yang kasar terasa menusuk punggungku. Ingin rasanya bergerak maju, membebaskan aku dari rasa sakit yang menusuk. Namun, di hadapanku kini Jo memandang garang, guratan merah bola matanya terlihat jelas dan menyala, seolah ada bara yang sebentar lagi akan padam.

Dia mencari-cari sesuatu dari mataku, namun tak menemukan apapun.

"Bicaralah sesuatu Fara, kau terlihat sangat menderita," bisiknya pelan.

Jeda panjang setelah dia bertanya kepadaku. Aku tak tahu dan tak mengerti apa yang dia mau.

Apakah aku terlihat semenderita itu?

"Faraa..." bisiknya pelan, kedua tangannya menekan lenganku. Mengguncang guncang badanku..
Yang aku rasakan hanya kasarnya kulit pohon di balik pakaianku yang terasa menusuk.

"Faraaa..." lirih Jo

"i..ian.."

Seperti petir di hari yang cerah dan terang. Kenyataan menghantamku.. Bagaimana jemari yang selalu menolongku itu bergetar.. Bagaimana rambutnya yang terasa lembut saat jemariku menyentuhnya itu menjadi basah dan berwarna merah.. Bagaimana tubuhnya terjatuh seiring peluru menembus kepalanya.

iann.. Ian ku..

Dan seluruh tubuhku yang basah terkena darah belahan jiwaku.

Seluruh tubuhku bergetar tak terkendali. Rasanya rongga dadaku terhimpit sesuatu.

Menyesakkan.

"pe.. peluru itu menembus kepalanya, Jo. Da... Darahnya bahkan mengenai seluruh tubuhku...
.
.
Apakah yang dikubur tadi ian? Bukan kan jo? Ian masih hidupkan?! Jo!"

Jo menggeleng, raut mukanya seperti ingin menangis, tapi tidak ada yang keluar dari matanya. Bibirnya terkatup rapat, lalu jo nggeleng pelan. Seraya menunduk. Meratapi kesedihan yang aku sangkal.
aku serasa ditampar kenyataan yang sangat menyakitkan. Ini tak nyata kan? Sebentar lagi aku bangun kan?

Aku akan terbangunkan sebentar lagi!!!!!

Tak tau setan dari mana, pikiranku sudah mulai kacau, yang ku tahu sekarang tanganku sudah memukuli dada bidang Jo, tapi Jo tetap bergeming seakan pukulanku tak mempengaruhinya sama sekali.

Ian,,,, kenapa pembunuh itu tak menembak aku sekalian? Aku tak ingin merasakan derita seperti ini.

"Jo..." suara yang keluar dariku begitu lirih..

"tolong bunuh aku saja"

PLAK!

Tamparan keras yang perih yang aku dapatkan. Perih!

Apakah ini nyata?
-----------------------#######----------------------

Pagi datang seperti biasanya,
Bunyi burung yang seharusnya berisik diluar sana makin lama makin tenggelam oleh suara kendaraan bermotor.

Pagi ini ada yang berbeda, jelas.

Suara itu terdengar dari sangat menenangkan, suara yang membuatku menangis dan berlari menuju arah pusat suara itu.

Bukan, ini memang hari yang biasanya.
Dengan Ian yang biasanya sedang menyanyi dengan gaya seperti penyanyi profesional yang tidak di dukung dengan suaranya.

Ini hari biasa, hari yang seharusnya.

Aku dibangunkan dari mimpi burukku.

Menatap takjub Ian yang kini memandangku heran. Tanpa terasa butiran air mata jatuh dari kedua mataku. Membuat pandangan dihadapanku terlihat buram.
Tak mau pemandangan ini hilang atau menguap, atau aku di kembalikan atau tiba-tiba aku di abngunkan lagi kepada kenyataan yang tadi, segera kuusap kasar cairan bening itu.
Aku harus memastikan ini nyata.

Ian dengan cepat berjalan mendekat padaku. Memperlihatkan entitas dirinya yang nyata. Hidup, dengan kepala yang utuh,jantung yang berdetak dan darah yang mengalir dalam tubuhnya. Dia nyata dan hidup.

"Iannnn"
Segera kupeluk Ian untuk memastikan dirinya nyata dan ini bukan mimpi.

"Faraaa,, hei, kamu kenapa?" aku tak menjawab pertanyaannya, malah memilih menangis karena Ian nyata. Ian hidup.

Dia masih Hidup.

Dan timbul kesadaran bahwa, mungkin sebentar lagi aku di kembalikan pada kenyataan. Atau, mungkin mimpiku akan segera terjadi.

Seperti kesetanan, aku segera berlari menuju pintu depan memastikan tertutup rapat, lalu menguncinya. Aku memastikan jendela juga terkunci dan gorden kututup lalu berkeliling rumah memastikan tak ada akses orang masuk dari luar, dari lubang tikus sekalipun. Semua ku lakukan cepat, secepat yang aku bisa.

Sekilas tadi, aku melihat Ian terbengong-bengong dengan apa yang aku lakukan.

Tak berhenti disitu, aku harus memanggil Jo, harus.

Ian yang terlihat bingung dengan tingkahku segera mengekoriku menuju kamar Jo.

Tanpa mengetuk, langsung aku terobos kamar Jo. Jo yang tidurnya terganggu memandangku tak ramah, lalu kembali menenggelamkan wajahnya pada bantal-batal empuk.

''aku baru tidur satu jam Fara, kalau kau minta untuk ku serang tunggu siang nanti, jangan sekarang" gumam Jo tak waras.

''atau kau minat main bertiga, ada ian kan?! .." gumam Jo Gila!

apa diotaknya itu hanya ada pikiran kotor?

aku mengabaikan pikiran kotor Jo, ada hal yang penting yang harus aku sampaikan

"IAN MATI JO!"

"WHAT!"

"APA!"

dua kata itu terdengar bersamaan, ian yang masih hidup ngedumel di belakangku.

"kau doakan aku mati fara? sungguh terlalu, kau tak liat aku yang tampan nyata ini masih hidup? jangan bunuh aku seenakmu Fara!" omelnya

sedangkan Jo yang tadinya masih berbaring santai langsung terbangun dan duduk bersila diatas kasur, dia cukup sensitif untuk mengerti apa maksudku.

"dalam mimpimu fara? bagaimana? ceritakan padaku" minta Jo

aku sudah tidak dapat menahan air mata yang dari tadi aku tahan, tanganku bergetar hebat, bahkan ingus dan suara cegukkan sudah keluar tanpa bisa ditahan.

aku menceritakan semua yang aku liat dari mimpiku, semuanya, tanpa ada yang aku tutupi. Bau darah yang amis pun serasa masih melekat di tangan. ian yang mendengar semua penuturanku terduduk lemas dilantai. aku memeluknya erat menangis di bahunya yang terkulai. Ian tak mengeluarkan suara apapun.

"berjanjilah kepadaku ian, jangan menyerah secepat itu, teruslah hidup. kalau kau mati, sekalian bawa aku. Jangan tinggalkan aku hidup merana sendiri."

"stttt,,, ini hanya mimpi Fara, tenang lah, ini hanya mimpi" kata ian sambil mengusap rambutku pelan..
Aku tak tahu siapa yang sedang ditenangkan, aku atau Ian, yang kami tahu, 95% mimpiku membawa firasat buruk,

sangat buruk

Dan, badan kami seketika waspada ketika pintu depan digedor keras..

rêverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang