"Kirana, kamu itu anak kebanggaan sekolah ini. Mbok yo, menjaga sikap gitu loh. Nanti kalau tiba-tiba ada pengawas sekolah datang dan kalian kepergok gimana? Sudah berdua, ngerokok pisan. Si anak baru mah baru, belum tau dia masuk jam berapa, di kelas apa, pelajarannya apa. Tau gitu tuh di kasih tahu anaknya! Jangan malah ngajak nongkrong, ngajak bolos. Udah pinter otaknya, hatinya juga dijaga ya? Kasian orang tuamu nanti. Udah capek-capek kerja gitu anaknya malah bolosan. Kali ini saya maafkan oke? Jangan diulang ya, tapi saya kasih tugas. Kasih tau juga, siapa tuh, temen barumu, jangan bawa rokok ke sekolah, nanti saya simpan dan saya habiskan sendiri. Dikasih tau ya peraturan-peraturan sekolah juga. Karena kamu sudah terlanjur bolos satu jam, saya berikan waktu sampai mulai jam pelajaran berikutnya untuk bawa anak itu keliling sekolah ya? Kasih lihat kantin, toilet, dan hal-hal yang perlu. Semua guru sekarang lagi rapat, atau mengajar. Itu tugasnya. Baik, kamu boleh keluar ruangan saya." jelas Kepala Sekolah dengan sangat teramat panjang lebar.
Setidaknya aku bisa menghabiskan waktu dengan anak baru itu lagi yang namanya masih belum diketahui. Yang bahkan Kepala Sekolah lupa.
Aku hanya mengangguk kepala dan memberi salam. Ia memberiku kertas perizinan lalu aku keluar dari ruangannya.
Anak baru itu berada tepat di luar, sedang bersandar ke tembok, matanya tertutup. Apakah ia sedang tenggelam? Ia langsung membuka matanya saat melihat ku keluar dari ruangan Kepala Sekolah.
"Jadi?" Tanyanya seperti anjing tidak sabaran.
"Kita keliling sekolah. Terus kalau ada bel, masuk kelas. Kelas lo sama kok sama gue." Ucapku singkat lalu mulai berjalan di depannya. Sebentar. Kita lupa melakukan sesuatu yang sangat esensial dalam berkenal sepasang insan. "Eh, nama lo siapa? Malah lo yang udah tau nama gue." kataku sambil membalikkan tubuh dan menghentikan jalan. Ia langsung tersentak dan melihat langsung ke mata ku.
"Oh ya! Hehehe, lupa kan. Gue Cessair. Si kepsek botak itu gak bilang ke lo?" cingirnya sambil menawarkan tangan dan tersenyum licik. Aku menjawab tawarannya dan membalikkan badan kembali.
"Pertama kepala sekolah itu tidak bilang ke gue, dan kedua, kita akan menuju kantin dulu. Oke, Caesar?" candaku dan lanjut berjalan di depannya. "Kantin lumayan dekat dengan gedung guru. Mungkin lo udah pernah kesana waktu pendaftaran atau ngambil buku-buku pelajaran. Kantin buka setiap saat, tapi sekarang karena banyak yang bolos, jadi selalu ada guru yang piket. Tapi tenang, kita ada kertas perizinan. " Sekarang kita masih berjalan di samping gedung guru. Setelah aku menjelaskan tadi, suasananya langsung hening. Aku tidak ingin membahas yang tadi, karena kupikir akan tidak terlalu menyambung.
Tetapi, tiba-tiba di belakangku terdengar suara keluhan panjang.
"Bo. San. Bosan." keluhnya. Aku hanya bisa memutar mata. Ia secara mendadak menyamai ku berjalan disamping. Lalu wajahnya berubah drastis dan dipenuhi cahaya dan energi positif. Silau sekali.
"Hey, hey, lo mau gak ngasih gue tur sekolah beneran? Ke tempat-tempat kayak gubuk itu tadi. Yang cuman anak sekolah tau. Atau bahkan yang cuman lo tau." jelasnya dengan ceria, sambil menunggu jawabanku seperti anjing tidak sabaran. Maaf sekali, tapi perilakunya memang seperti anak anjing kegirangan.
Aku tersenyum kecil. "Lo tau aja sih. Ayo. Siapa takut? Sampe bel aja ya, gue gamau masuk ke ruang itu lagi trus lo sama sekali gak disalahin." jelasku dan menyikut pinggangnya dengan bercanda.
Cessair menyeringai puas dan menarik kain lengan tanganku lalu mulai berlari ke belakang sekolah.
"Eh, eh! Kok lo yang lari duluan?" teriakku kaget, tapi aku langsung menurunkan suaraku. Ia benar-benar menarik seragamku dan berlari. Cessair hanya tertawa dan tersenyum lalu melepasnya dan membiarkanku berlari sendiri. Aku akhirnya mengambil berhasil kecepatan sendiri. Anak kecil yang labil dan sudah lama tersembunyi di dalam diriku tidak mau kalah padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Waterlily; Seringan-ringan bunganya, sekokoh-kokoh tangkainya
Teen FictionKirana dengan wadah kosongnya, Cessair dengan absensi sumbunya. Para sosiopat yang berusaha memahami rumitnya manusia, serta indahnya menjadi mereka. Mereka yang tak memiliki emosi, mencoba untuk menumbuhkannya satu persatu. Disaat mereka berusaha m...