Tertumpah, (2)

11 2 0
                                    

Kami berdiri ujung lantai 20. Pintu kamarnya berwarna putih bersih dengan angka 2021. Rasanya setiap pintu di lantai ini seperti mesin waktu untuk balik ke masa lalu. Lorong yang menjulang jauh, mengingatkan ku kembali akan samsara yang kuhidupi sebelum Cessair hadir.

Sebelum masuk, Cessair melihat ke arahku, diam. Aku melihat balik, dengan dahi mengerut. Ada apa?

"Lihat baik-baik, Kirana. Jangan sampai lupa. " ujarnya santai. Cessair mengetuk nomor-nomor sandi di pintu apartemennya dengan sangat pelan dan membiarkan aku mengingatnya. Lingkaran di gagang pintu berwarna merah neon.

2068.

Angka genap semua, yang hilang hanya angka empat, angka keramat. Suara berdenting muncul dan lingkaran di gagang pintu berubah menjadi warna hijau. Cessair membuka pintu dan membiarkanku masuk terlebih dahulu.

Apartemen Cessair bisa terbilang bukanlah apartemen yang besar juga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Apartemen Cessair bisa terbilang bukanlah apartemen yang besar juga. Namun, tidak sekecil itu juga. Cukup sederhana, simpel, dan kosong. Tidak ada sofa, tidak ada hiasan dinding yang tidak perlu. Hanya beberapa mebel yang benar-benar diperlukan. Ada dua kamar, di kanan dan di kiri. Aku bisa membayangkan salah satu ruangannya masih kosong dan satunya hanya terisi satu lemari, satu tempat tidur, dan sebuah meja biasa. Sangat-sangat Cessair.

Di ruang utama yang ada hanyalah karpet, dua kursi empuk, dan satu piano di ujungnya. Piano hitam mengkilap yang mengundangku untuk kembali bermain dengan masa lalu. Dinding yang berada di paling ujung sepenuhnya adalah kaca, yang terbuka ke balkon kecil. Mungkin saat siang, akan menjadi sangat panas. Tetapi, sekarang, aku tercengang akan betapa indahnya. Tanpa sadar, kakiku berjalan sampai ke depan dinding kaca itu. Aku bisa melihat seluruh kota dari sini. Ketinggian tampaknya tidak terlalu menjadi persoalan. Dari sini, ternyata taman terbengkalai itu sedikit bisa terlihat. Tempatku biasa duduk, di gubuk tua itu, bisa terlihat. Apakah Cessair melihat ku merenung dari tadi sore dari apartemennya lalu memutuskan untuk menghampiriku? Apakah ia Jika aku keluar ke balkon dan lompat sekarang, apakah aku akan langsung mati, atau aku masih harus tersiksa dahulu? Aku tidak masalah asalkan pemandangannya seindah ini.

"Indah ya? Kadang kita memang hanya berharap untuk bisa lenyap dari dunia ini." ujar Cessair tiba-tiba.

Tentu saja Ia tahu. Apakah dari wajahku? Dari kerutan di dahiku? Bagaimanapun Aku tidak mau melihat diriku di cermin dan memutuskan untuk menghindari pertanyaannya.

"Jadi, lo bisa main piano?" tanyaku saja. Pianonya tidak terlihat usang ataupun berdebu. Licin, seperti dibersihkan setiap hari. Aku tidak pernah tahu Cessair bahkan bisa bermain musik. Bahkan sepertinya tidak ada yang tahu. Ia seperti anti saja dengannya. Ketika sebagian besar remaja di sekolah memakai earbuds 24/7, ia sama sekali tidak pernah pakai. Ketika sebagian besar remaja bergantian memainkan gitar, Cessair selalu menolak ketika diberikan, dan tidak pernah menjawab apakah bisa atau tidak.

"Gue bisa gitar sama piano." jawabnya singkat. Baru aku sadari Cessair selama ini masih berdiri di depan pintu masuk apartemen. Diam, mematung. Ia menungguku. Menungguku sampai ke pertanyaan yang ia tunggu, untuk akhirnya melangkah kedepan piano ini.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 17 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Waterlily; Seringan-ringan bunganya, sekokoh-kokoh tangkainyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang