Sudah beberapa minggu sejak Cessair datang ke sekolah. Kami pergi setiap Senin pulang sekolah, dan berhasil tidak dikejar di setiap saatnya. Kami mencoba lebih jauh lagi, selagi aku mengenalkannya pada sejarah setiap incinya.
Cessair menjadi sangat terkenal di sekolah dengan rambut coklat menonjolnya yang jarang dijumpai di lingkungan kami. Aku tetap menjadi Kirana biasa, mengikuti lomba-lomba dan kembali membawa nama sekolah ke puncaknya. Semua orang sudah tahu kami sering bolos dan pergi bersama, walau anehnya tidak ada yang penasaran. Sangat aneh. Apa keramaian sudah tidak lagi tertarik padaku? Kalau begitu nanti akan aku undang kesepian dan kesendirian untuk berpesta bersama. Kami bisa memanggilnya 'Pesta Menyambutnya Era Baru Dalam Hidup Kirana Yang Monoton Dimana Akhirnya Ia Bisa Sendirian'. Apakah itu terlalu panjang?
Namun, kesendirian tidak bertahan lama, dan aku kembali terjebak dalam lubang yang dibuat oleh keramaian. Aku memutuskan untuk tidak mencoba membuat tangga, atau berteriak berharap ada yang mendengar. Aku masih terjebak dalam samsara mendung pagi mengamati kota di balik kaca mobil. Aku masih terjebak di dalam relung lingkaran remaja-remaja labil mempeributkan hati mana untuk dibicarakan. Aku masih terjebak dalam ambisi para pengawas yang terus mengatakan bahwa aku tak cukup. Memang, ini belum cukup.
Namun setidaknya aku tidak terjebak setiap pulang sekolah di hari Senin.
Dan hari ini adalah hari Senin.
Mungkin hanya aku yang menyukai hari Senin.
Seperti biasa, lalu lintas tidak ada sunyinya. Pagi masih mendung dan redup, seolah langit sudah bosan mengulang kembali siklus yang sama. Aku pun sama, Langit, tapi bagaimanapun kita harus bisa bertahan hidup.
Pagi ini aku memutuskan, untuk pertama kalinya dalam hidupku, tidur. Tidur di dalam mobil.
Aku memberitahu bapak supir untuk tidak berbicara ke Ayah, dan aku mulai memejamkan mata. Untuk pertama kalinya, aku tidak mau merasa terbebani dengan pikiran harus menjadi produktif setiap saatnya, walaupun selalu berujung dengan kelana pikiran dan menit-menit penghayalan. Aku ingin mulai mengubah bagaimana mereka mengawasi dan menertibkan ku. Aku ingin menjadi seseorang yang independen, mungkin itu bisa menjadi batu loncatan awal bagi perjalananku mencari percikan dan mengisi kekosonganku.
Walaupun aku tahu tidak selamanya bertahan lama.
Pak Supir membangunkanku dan aku segera memberi salam padanya.
Ayo kita mulai lagi Senin ini.
﹌﹌﹌﹌﹌
Langit sudah sangat terluka dan memancarkan darah-darahnya. Tampaknya hendak berganti, maka ia harus merelakan dirinya yang indah dan beraneka rona. Namun, disinilah kami kembali di sore Senin, tidak ingin berpamitan dengan alam dan juga bisik-bisikannya. Aku dengan wadah yang kosong. Tapi,entah apa yang Cessair kini tengah telusur.
Ayah akan pergi keluar kota bertemu dengan rekan-rekannya yang menyulut api teramat besar, maka aku pun tidak akan terkekang dengan relativitasnya waktuku dan beliau. Aku menjadi lebih bebas hari ini, dan ia bisa bergaul guna membuat percikan di sumbunya lebih besar.
Aku melirik ke sebelah dan melihat Cessair yang juga masih tenggelam rupanya.
Sampai hari ini, aku belum bisa menebak apa yang dipikirkannya. Aku sangat ingin tahu. Sangat teramat ingin tahu. Bagaimana ia belajar memalsukannya? Bagaimana ia terlihat begitu natural? Bagaimana ia seperti tidak tergerak untuk mencari hal yang hilang darinya? Apa yang sebenarnya ia cari?
Selama ini memang yang kami bicarakan tidaklah selalu mengenai masing-masing. Kami bukanlah seperti mereka yang gemar memamerkan besar kobarannya.
Aku tahu kami sama, tapi bukan berarti kami paham akan niat dan gairah satu lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Waterlily; Seringan-ringan bunganya, sekokoh-kokoh tangkainya
Teen FictionKirana dengan wadah kosongnya, Cessair dengan absensi sumbunya. Para sosiopat yang berusaha memahami rumitnya manusia, serta indahnya menjadi mereka. Mereka yang tak memiliki emosi, mencoba untuk menumbuhkannya satu persatu. Disaat mereka berusaha m...