22 🌻

31 5 3
                                        

Malam hari dengan bulan yang bersinar, daun-daun bergerak melambai-lambai karena terpaan angin. Debu-debu bertebaran membuat wilayah itu sedikit kotor.

Seorang pria tengah berada di hutan yang sangat lebat. Matanya menatap sosok yang berada di depannya. Dengan napas yang tak beraturan dia sudah lelah dengan semua ini.

"Hidupku, sampai di sini saja?"

"Kau tidak mau melawan lagi?" ucap sosok itu sambil tertawa keras.

Sosok itu melesat ke arah pria itu dengan cepat, namun pria itu berhasil menghindar dengan kekuatan teleportasinya.

"Sampai mana kau akan bertahan, Gion?" ucap sosok itu dan terus menyerang pria itu, yang tak lain adalah Gion.

Sebelum bertemu dengan sosok itu, Gion sedang mencari sesuatu di sekitar daerah kerajaan Krystallo yang sudah sedikit runtuh itu, namun sialnya dia bertemu dengan sosok itu.

Napas Gion tak beraturan, dia tak bisa berteleportasi lebih jauh karena mana miliknya sedikit demi sedikit telah terkuras. Dengan luka pada bagian tangan dan kaki membuat Gion kesulitan bergerak bebas.

Tangan kanannya yang terus memegang benda penting dan tangan kiri yang ia gunakan untuk menyerang. Dia hanya bisa menyerang sosok itu dengan pisau yang dia teleportasikan ke arah sosok itu untuk melukai sosok itu.

"Kau kira, hanya kau yang bisa berteleportasi?" Sosok itu tersenyum dan terus menyerang Gion. Sejauh mana pun Gion berteleportasi, sosok itu akan terus mengikuti Gion.

Sosok itu tertawa dan menyerang Gion. Tak ada satu pun luka yang sosok itu dapatkan dari Gion. Gion terus berusaha kabur dan menjaga agar benda yang dia pegang tidak rusak.

Gion jatuh terduduk, napasnya tak beraturan. Tepat di samping kanan mereka adalah sebuah kuil dengan dinding putih yang sudah hancur hampir semua.

"Ingat, aku hidup lebih lama darimu, jangan percaya diri seolah kau orang yang kuat, kau itu lemah," ledek sosok itu.

"Pada akhirnya kau akan mati, Mara!" teriak Gion pada sosok itu.

"Waktumu habis, sampai jumpa di neraka," ucap Mara dengan senyum bangga.

Dia melesat cepat, kuku jari tangannya yang tajam itu berubah menjadi kuku tajam dan panjang dengan urat-urat di tangannya yang terlihat, kuku itu seolah berkata siap untuk mencabik-cabik tubuh Gion.

Kesempatan terakhir, kekuatan teleportasinya ia gunakan untuk memindahkan benda yang dia pegang ke tempat lain. Mana miliknya terus terkuras hingga habis.

"Perjuanganku, sampai di sini saja," guman Gion dengan nada pasrah, dia tidak bisa melakukan apa-apa lagi sekarang.

Darah keluar dari tubuh Gion dengan jumlah banyak, kuku-kuku Mara telah menghancurkan tubuhnya pada bagian dada. Jantungnya sudah tidak kuat untuk bergerak, pandangan Gion mulai memburam.

Hingga tepat setelah dia menggunakan kekuatannya, Gion kehilangan nyawanya di tempat itu juga. Senyum miring menghiasi wajah Mara, terlihat ekspresi senang di wajahnya.

"Ah, manusia lemah," ucap Mara sambil menjilati darah yang menempel di kuku panjang jarinya.

Dia mendekat ke arah tubuh tanpa jiwa itu dan melihat sesuatu keluar dari tubuh Gion. Sebuah permata hijau muda keluar dari tubuh Gion, permata itu berubah menjadi permata berwarna hitam pekat.

Mara dengan cepat mengambil permata itu dan menghancurkannya. Permata itu berubah menjadi cahaya-cahaya kecil yang masuk ke dalam tubuh Mara. Lalu dia berjalan meninggalkan mayat yang tergeletak di sana.

"Kukira orang yang sudah lama mempelajari kekuatan itu akan kuat, ternyata lemah, apa gunanya aku bertarung dengannya?" gumam Mara dengan sedikit kesal.

"Eh? Aku pernah belajar aksara ini dari ayahku seingetku?" jawab Ola dengan ekspresi bingung.

Saat kecil, Ola pernah mempelajari tentang aksara kuno karena ayahnya yang memaksanya. Ola tidak mengira bahwa hal yang dia lakukan dulu akan berguna di saat ini.

"Keren!" puji Linn dengan mata yang berbinar-binar.

"Darimana ayahmu tau tentang aksara kuno itu?" celetuk Ralu yang sedikit curiga terhadap Ola.

"Entah?" jawab Ola, Ola juga tidak tahu bagaimana ayahnya mengetahui itu.

Ola membaca kalimat-kalimat yang berada di setiap halaman buku. Seperti tebakan Linn dan Ralu, isi buku tersebut adalah ritual. Mereka berempat menyimak ucapan Ola dengan seksama.

"Mantra ritual itu, eh sobek?" Halaman buku terakhir itu sudah tersobek.

"Ini, cara untuk mengalahkan penyihir itu," tebak Ralu.

"Kalau ini caranya tapi tulisan mantranya hilang gimana mau ngalahinnya?" tanya Zev.

"Dicari, gitu doang," jawab Noe dengan mudah.

"Gitu? Doang? Kamu ya yang nyari!" ucap Ola dengan emosi.

Ralu sebenarnya memiliki rencana, tapi dia sedikit ragu kalau rencana itu akan berhasil. Namun jika tidak dicoba, siapa yang akan tau hasilnya.

"Pakai kekuatanmu bisa Linn?" tanya Ralu.

Linn tidak yakin jika kekuatannya bisa, kekuatannya susah untuk digunakan pada sesuatu yang berhubungan dengan waktu.

"Artinya Aku gunain kekuatanku supaya buku ini jadi seperti sebelum sobek? Tapi Aku ga tau sebelum sobek isi halaman ini apa," jelas Linn.

Cara penggunaan kekuatan Linn memang sedikit rumit. Ralu tak bisa menyalahkan Linn karena tak bisa menggunakan kekuatan milik Linn sendiri, Ralu akui kekuatan Linn memang rumit. Jika saja Linn bisa memperkuat kekuatannya dan memperkuat kemampuan imajinasinya mungkin itu bisa saja terjadi.

"Jadi buku ini gak ada gunanya?" tanya Zev sambil membolak-balikkan buku itu.

Ola hanya mengangkat bahunya sebagai jawaban pada pertanyaan Zev.

Linn mengingat sesuatu, jika buku ini muncul secara tiba-tiba di luar rumahnya dan Gion yang sedang mencari buku karya Seph sang penyihir agung. Bukankah artinya buku ini dikirim oleh Gion.

"Kalau diinget-inget buku ini muncul tiba-tiba mungkin karena kekuatan pak Gion?" tebak Linn sambil mengingat-ingat.

"Ah! Benar juga, tapi kenapa pak Gion gak langsung ngasih aja?" ucap Ola.

"Sibuk mungkin?" tebak Noe.

Suara langkah kaki terdengar mendekat ke arah gudang, mereka semua mengalihkan pandangannya ke pontu gudang. Terlihat seorang pria dengan pakaian khas guru.

"Pak Gion, ada apa?" tanya Ola setelah melihat guru itu memasuki gudang.

"Saya cuma mampir, tumben kalian kumpul?" ucap pria itu pada mereka.

"Bahas tentang buku ini," jawab Ola sambil menunjukkan buku yang dia pegang.

Pria itu menunjukkan senyumnya dan berkata, "ini buku yang saya pindahkan kemarin, boleh saya ambil lagi?"

Pria itu menjulurkan tangan kanannya bersiap mengambil buku tua itu. Ola pun segera memberikan buku itu pada pria itu.

"Permisi Pak, tapi saya mau neliti buku ini dulu, boleh saya pinjam dulu," ucap Ralu dengan sopan tetapi tatapan sinisnya tidak pernah hilang dari wajahnya.

"Ah, begitu, ya sudah bawa dulu," jawab pria itu dan melangkah pergi dari dalam gudang.

Ralu mengambil buku tua itu dari tangan Ola dan memberikannya kepada Noe.

"Hah? Kok aku?" ucap Noe dengan nada bingung.

"Jaga buku itu, jangan berikan buku itu ke Pak Gion," bisik Ralu yang dapat di dengar mereka semua.

"Kenapa?" Ola benar-benar tidak tahu jalan pikir otak Ralu.

Suka dengan ceritanya? Vote cerita ini!

Mana bisa aku buat adegan bertarung, susah ya.

EDELSTENEN [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang