BAB 2

6 1 0
                                    

Mimi hendak pergi bekerja ketika melihat Stevi berdiri didepan pintu rumahnya. Memakai kaos dan celana serba hitam serta topi dan kacamata hitam, membuatnya seperti manusia tampan misterius. Mimi memegang erat tas selempangnya, dan memasang wajah kikuk. Hendak menyapa atau bertanya terlebih dahulu baiknya. Tapi tiba tiba Stevi masuk kedalam rumahnya tanpa permisi.

Mimi syok dan gugup ketika menutup pintu lalu mengekori Stevi yang kemudian duduk di satu satunya sofa di ruangan itu. Ia menyerahkan tangan kirinya yang menenteng sebuah bungkusan.

Mimi yang gugup meraih bungkusan itu dan memandang Stevi yang enggan melihat kearahnya.

"Pakai alat itu. Saya tunggu disini." Stevi melepaskan kacamatanya lalu mengeluarkan ponsel dari saku celana jeansnya.

Mimi yang membeku ditempat hanya memandang Stevi.

Mendengar tidak ada pergerakan, membuat Stevi menoleh ke arah Mimi sambil menaikkan sebelah alis.

Mimi mengerjap sejenak lalu mengambil napas.

"Itu test pack. Ada beberapa jenis. Kamu pakai semua. Hasilnya bawa kesini."

Baru kali ini Stevi berbicara padanya agak panjang. Ia melihat bungkusan yang ada ditangannya.

"Cepetan, Miranti." Desaknya tidak sabar.

Mimi mengangguk lalu ia pergi ke arah kamar mandi yang memang ada di luar ruang kamarnya.

Melihat Mimi sudah menghilang dari hadapannya, ia gunakan untuk melihat isi rumah gadis itu yang minimalis. Ah bukan gadis lagi, tapi wanita.

Stevi menghela napas resah.

Setelah 15 menit, Miranti keluar dari kamar mandi dengan wajah pucat sambil menggenggam beberapa alat berbentuk pipih itu.

Stevi menyilangkan kaki.

"Hasilnya?" Ia meminta benda pipih itu.

Miranti meremas ujung kemejanya lalu menyerahkan alat itu.

"Si Gisel bilang, kalau garis satu negatif, dan garis dua positif." Stevi berbicara dengan wajah datar sambil melihat lihat semua tespack itu.

"Daannn. Hasilnya samar." Ia mengangkat semua tespack itu dan memandang Mimi.

"Aku tidak tahu Bang." Mimi mencicit pelan.

Stevi berdiri lalu melenggang pergi.

"Nanti malam jam 8 saya jemput, kita pergi ke klinik Gisel." Dan suara debam pintu meninggalkan Mimi sendirian.

_______________________________________________

Setelah kepergian Stevi beberapa saat yang lalu, Mimi merasakan gejolak mual. Ia memuntahkan isi perutnya yang kosong hingga hanya cairan asam dan pahit yang keluar. Kepalanya pening dan segera ia meraih ranjangnya dan berbaring.

Ia abaikan suara dering hp yang sedari tadi berbunyi. Sebentar ia butuh memejamkan matanya. Ketika gejolak pada perutnya mereda, ia bangun mencari hp dan mengirim pesan kepada bossnya. Setelahnya ia kembali berbaring menatap langit langit kamarnya. Bulir air matanya mulai berjatuhan, dan Mimi menangis dalam diam. Dia lapar.

_________________________________________________

"Dia hamil." Gisel membacakan hasil tes itu.

Stevi memejamkan mata sambil mengumpat pelan.

"Setahu aku ya Setepi, pacar kamu itu Rossa, bukan dia kan?" Gisel mulai ingin tahu.

Mimi yang masih duduk di ranjang periksa hanya diam melihat lantai.

"Apa bisa digugurkan?"

Mimi mendongak ketika mendengarnya. Hatinya seperti disambit oleh petir. Ia memandang wajah kesal Stevi, dan beralih ke dokter itu.

Gisel menyilangkan kedua tangannya di dada.

"Bisa. Tapi jangan harap Om dan Tante terima kalau cucunya kamu bunuh." Gisel menatap tajam pria itu.

Stevi mengetatkan rahangnya.

"Baiknya ya Step, kamu urus masalah ini satu persatu. Di mulai dari Rossa. Meskipun dia hanya penyiar berita, tapi popularitasnya tinggi. Jangan sampai kamu membuat kegaduhan."

"Kedua. Gadis ini hamil. Dan perutnya akan membesar."

"Stop Gisel. Saya tahu maksud kamu."

Gisel tersenyum. Lalu ia menuliskan resep dan menyerahkannya ke Stevi.

"Gadis ini kesini dalam kondisi kelaparan, baiknya kamu kasih makan dulu calon ibu dan anak kamu."

________________________________________________

Tanpa bertanya, Stevi membelokkan mobilnya ke arah sebuah rumah makan. Memanggil pelayan dan menyuruh Mimi memesan makanannya, ketika pria itu mulai sibuk dengan handphonenya.

Mimi tidak nafsu makan, jadi ia hanya memesan semangkuk sup ayam, membayangkan hangatnya kuah membuatnya tiba tiba lapar. Memang sejak tadi pagi ia belum makan, karena mual.

"Tunggu disini, nanti saya jemput kamu." Stevi tiba tiba berdiri lalu menghilang keluar resto.

Mimi menautkan kedua tangannya resah sambil melihat isi resto yang luas itu, seorang pelayan membawakan pesanannya. Mencoba mengisi perutnya yang kosong.
Sambil mencoba menikmati makanannya, ia mengecek hp dan waktu sudah menunjukkan hampir jam 10 malam. Tinggal ia sendiri di ruangan itu. Dan sebentar lagi resto akan tutup.

Ingin memanggil Stevi ia tidak punya nomor teleponnya. Tapi ia mulai malu di dalam ruangan ini. Jadi Mimi memutuskan membayar bill dan keluar Resto. Baiknya itu tunggu saja Stevi di luar.

_________________________________________________

Stevi melihat jam tangannya, sudah hampir jam 12 malam. Tadi ia masih terjebak di prosesi ulang tahun teman Rossa. Selepas mengantar Rossa pulang, ia langsung pamit dengan alasan besok ada kerjaan.

Ingin mengirim pesan, ternyata ia tidak punya nomor Hp Miranti.

(TANYA SAMA HANS ATAU POPPYYY MEREKA PUNYAAAA YA STEPIIII)

"Mungkin sudah pulang." Batinnya.

"Bisa jadi belum." Batinnya lagi.

Menghela napas, Stevi menyetir ke arah Resto itu.

Beberapa menit sesampainya diparkiran, ia melihat gedung itu sudah kosong dan gelap. Hanya ada satpam penjaga.

Hendak memutar mobil ke arah jalan, ia dikejutkan dengan suara gedoran dipintu mobilnya.

"Astaga."

Mimi berdiri disamping pintu mobil dengan wajah tersenyum.

Stevi membuka pintu dari dalam, Mimi langsung masuk dan memasang sealtbelt. Kening Stevi mengerut melihat gadis disampingnya yang sudah duduk rapi.

Ia jalankan mobilnya dalam diam. Tidak ada percakapan apapun sampai tiba di parkiran apartemen. Mimi segera melesat keluar mobil sebelum Stevi ingin berbicara.

"Gadis kurang ajar." Gumamnya sambil menjalankan mobilnya keluar area.

Menyetir dalam diam, pikiran Stevi benar benar kacau. Ketika tidak sengaja menoleh ke arah kursi samping, ada bungkusan obat tertinggal.

"Ck, gadis ceroboh."


12/04/2024

BUMI DAN LANGIT MIRANTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang