BAB 3

4 1 0
                                    

Poppy mengamuk dan melempari Stevi dengan sepatu heels nya.

"Stevi bajingan. Tidak bertanggungjawab!!"

Ia lempar apapun yang bisa ia pegang. Dan terakhir hingga Stevi bersembunyi di balik kamar mandi kantornya. Segera ia ambil handphone dan memanggil Hans.

Setengah jam kemudian Hans menarik adiknya dari pintu kamar mandi yang hampir jebol itu.

"Baang, suruh Stevi tanggungjawab. Mimi pingsan!" Rengeknya.

Hans memeluk adiknya, bergantian ia menatap Stevi dan adiknya. Dibelakang mereka beberapa karyawan mulai kasak kusuk lagi.

Ia tenangkan adiknya, lalu memberi isyarat ke Stevi agar mengikutinya.

Hans menghela napas kasar ketika melewati dua satpam yang babak belur. Ia merinding ngeri membayangkan Poppy menghajar mereka.

________________________________________________

Hans memijat pangkal hidungnya. Jadi Mimi hamil karena ulah Stevi. Dan ia ikut terlibat karena kejadian itu terjadi saat resepsi pernikahannya beberapa waktu yang lalu.

Mimi dan Poppy yang salah memesan minuman, dan Stevi yang mabuk karena Rossa menolak lamarannya lagi. Melihat Hans menikah, membuatnya semakin galau.

Sekretaris masuk Stevi membawakan minuman dan undur diri.

"Jadi, Step..." Hans memulai pembicaraan.

"Aku sudah memikirkan semuanya Hans. Memang sebaiknya kami segera menikah."

"Memang...."  Hans menyuruh Poppy diam.

"Rossa sudah tahu, dan dia menerima."

"Maksudnya?" Hans menyela.

"Aku dan Miranti tidak saling mencintai. Tapi meskipun begitu aku akan tetap bertanggungjawab. Aku akan menikahinya, tapi segera bercerai saat bayi itu lahir." Ucapnya dengan wajah datar.

"Bajingan." Poppy mulai meraung, Hans pegangi pinggang adiknya hingga duduk kembali.

_________________________________________________

Miranti keluar dari mobil ketika ia bangun. Ia tertidur setelah pulang dari UGD. Dan ia tidak melihat keberadaan Poppy. Ia memandang sekeliling dan mengenali kalau ini adalah area perkantoran Stevi.

Ia mulai berjalan masuk ke area kantor. Berharap segera menemukan Poppy. Firasatnya tidak baik.

Ia melihat beberapa karyawan bergosip, mendengar cerita ada yang mengamuk, dan satpam kantor cedera.

Mimi panik lalu bertanya kemana perginya wanita yang mengamuk itu.

Ia segera naik lift dan bertanya ke pegawai kantor dimana ruangan boss mereka.

Mimi berjalan menuju ruangan paling ujung dengan pintu yang besar, dari jauh terlihat seorang wanita keluar dari ruangan itu sambil membawa nampan. Hendak membuka pintu yang tidak tertutup rapat itu, Mimi mendengar obrolan mereka.

"Rossa sudah tahu, dan dia menerima."

"Maksudnya?"

"Aku dan Miranti tidak saling mencintai. Tapi meskipun begitu aku akan tetap bertanggungjawab. Aku akan menikahinya, tapi segera bercerai saat bayi itu lahir."

"Bajingan."

______________________________________________

Malamnya..

Mimi murung, dan overthinking, ia belum makan dan minum sepulang dari area kantor Stevi. Setelah mendengar potongan pembicaraan mereka. Mimi memutuskan balik badan dan kembali ke parkiran. Ia duduk manis dan memejamkan mata lagi. Berharap Poppy tidak mencurigainya.

Perasaan tertolak mulai melukai jiwanya lagi. Ia elus pelan perutnya yang masih datar. Sungguh membingungkan menemukan fakta ada yang hidup didalam perutnya.
Ayah bayi ini awalnya ingin menggugurkan, tiba tiba ingin memisahkannya dari ibunya. Mimi mengusap air matanya. Sungguh sehina hinanya dia tetaplah ibu dari anak ini.

"Mama sayang sama kamu Scoopy."

Mimi tersenyum sambil mengelus perutnya, mulai memanggil bayi itu dengan nama panggilan. Entah kenapa Scoopy terdengar lucu, jadi ia mulai terbiasa bicara dengan bayinya dengan nama itu.

"Mama menginginkan kamu lahir dan sehat. Jangan khawatir, stok kasih sayang Mama hanya untuk Scoopy."

________________________________________________

Hendak minum susu dan makan roti, tiba tiba bel rumah berbunyi. Mimi berjalan kedepan dan mendapati Stevi berdiri dihadapannya.

Seperti kemarin, ia langsung masuk.

Mimi mendesah lelah.

"Saya sudah menemui Om dan Tante Wilmer."

Mimi tentu kaget kenapa Stevi menemui papa dan mama Poppy.

"Saya bilang kamu hamil dan saya bapaknya. Mereka setuju kita segera menikah."

Mimi membulatkan kedua matanya. Lalu ia tertawa tidak yakin.

Stevi mengerutkan dahinya.

"Aku tidak mau menikah." Mimi bicara sambil berjalan ke arah dapur. Hendak meraih gelas susunya.

Stevi mengamatinya.

"Kamu tidak bisa menghindar Miranti. Pilihan kamu cuma ada dua, gugurkan atau menikah."

Mimi reflek melempar gelas ke arah Stevi. Dan suara gelas pecah bergema di ruangan itu.

Untung respon Stevi cepat sehingga ia bisa menghindar. Ia memandang Mimi tidak percaya.

"Maaf, hormon kehamilan." Cicitnya tanpa rasa bersalah.

Stevi berdehem.

"Apapun yang ada dalam pikiranmu Nona. Kau sedang membawa ahli warisku." Ucapnya sambil mendekat ke arah Miranti.

"Menikah atau gugurkan. Saya tahu riwayat hidupmu sebelum ini. Kau tidak ingin Bibi tersayangmu jatuh miskin kembali kan?"

Mata Mimi membulat.

"Kamu.." Mimi terbata bata

"Saya tahu pekerjaan pamanmu Igor, Miranti. Kalau kau macam macam dan merusak reputasi keluarga Darwis, keluarga Wilmer dan juga sahabatmu pun tidak bisa menolongmu. Hari ini saya harus menutup berita karena adik Hans itu mengamuk di kantorku."

Mimi terduduk di kursi. Air matanya jatuh.

"Dan juga, kau tidak ingin mereka bersedih bukan?" Bisiknya disamping telinga Miranti.

"Keluarga Darwis bisa sangat kelam, Mimi kecil. Orang tua ku sudah dalam perjalanan pulang. Besok kita ke catatan sipil."

12/04/2024

BUMI DAN LANGIT MIRANTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang