02. Abadi adalah Abadi.

771 144 10
                                    

Berapa lama?
Sudah berapa saat ia tidak sadarkan diri?

Suasana yang sunyi, ruangan ber-cat hitam putih. Dimana?

Caine yang baru saja membuka matanya dibuat linglung tak kala melihat lingkungan yang asing. Ia duduk, dan menatap sekitar, mencoba mencerna apa yang terjadi.

Terakhir kali ia mengingat, ia pingsan? Didepan pria yang seharusnya menjadi target nya? Huh? Dia? Memalukan.

Caine hanya diam, memijat pangkal hidungnya.

Kemudian, pintu dibuka, menampilkan sosok pria yang membuatnya terkapar kemarin. Caine menatapnya nya sejenak kemudian mengabaikannya lagi, sedang pria tersebut mengangkat alisnya.

Pria itu melangkah perlahan dan akhirnya berdiri di ujung kasur, menatap Caine.

"Cukup hebat untuk tidak mati, aku membanggakan hal itu." Pria itu tersenyum.

Caine mengernyit, "Apa mau mu?"

Pria itu tampak berpikir sebentar kemudian menyeringai, "Aku ingin... Kira-kira apa, ya? Aha, aku ingin kamu menjadi budak untukku."

Caine menatap tajam kearah pria tersebut, Rion Kenzo Payton.

"Huh? Santai saja saat melihat pria tampan, tatapanmu memintaku untuk memakanmu lho." Rion tersenyum tipis.

"Aku bercanda. Aku memberikan mu dua kesempatan, bergabung kedalam serikatku atau menjadi budak dibawah kendaliku?" lanjutnya.

Rion mematap Caine dengan tenang, namun sudut mulutnya tak pernah ia turunkan. "Bagaimana?"

Caine berpikir keras, Caine merasa tidak nyaman akan tatapan yang ditujukan padanya. Seolah-olah dirinya hanya seekor kelinci kecil yang diawasi oleh macan hitam yang besar dan ganas. Caine hanya mengernyit, "Apa keuntungan ku?"

Dengan acuh tak acuh, Rion menaikkan bahunya. "Uang? Perlindungan? Dan sesuatu yang belum pernah kamu dapatkan."

Caine mengernyit heran, "Sesuatu yang belum pernah aku dapatkan?"

"Ya, kamu pasti penasaran bukan? Nah, bergabunglah dengan serikatku." Rion mengangguk, mencondongkan tubuhnya kearah Caine sembari tersenyum ringan.

Caine memundurkan tubuhnya ketika Rion mencondongkan tubuhnya, ia menatap dingin kearah Rion.

"Oke."

Rion tertegun sebentar, ia kemudian menarik tubuhnya lagi dan tertawa kecil. Ia beralih menatap Caine, "Selamat datang di serikatku, Caine Carvey Hams."

"Santai saja, jangan terlalu tegang. Tidak ada yang namanya atasan dan bawahan di serikatku, hanya ada keluarga." Rion melanjutkan kata-katanya.

Ia kemudian berbalik dan berjalan menuju pintu. Ketika ia memegang kenop pintunya, ia berbalik.

"Istirahatlah untuk sekarang. Jika kamu lapar, turun saja. Aku tahu kau tidak selemah itu sampai-sampai kau tidak bisa melangkah."

Rion kemudian keluar dari kamar tersebut.

Kamarnya kembali kosong. Kehampaan kembali hadir dalam hatinya, seolah ruangan ini tidak pernah berbeda dengan ruangan hampa yang selalu ia gunakan.

Memikirkan kembali masa lalunya yang kelam, Caine terdiam lama.

Ruangannya kecil dan gelap, namun diisi begitu banyak anak-anak yang kekurangan gizi. Mereka di didik untuk menjadi mesin pembunuh, dan siapapun yang tidak mematuhi perintah akan mati.

Siapa yang menyangka, setelah bertahun-tahun hidup seperti itu, Caine merasakan segala emosi dalam hatinya sirna. Ketika kekuatan itu bangkit, Caine menjadi Cultura dibawah darah orang-orang yang dibunuhnya.

PAYTONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang