Chapter 18 - Giliran

42 8 1
                                    

Layla sudah selesai mandi ketika Runa masuk kamar, tetapi wanita itu terlihat linglung dan bingung. Mengingat kondisi Matthew di ruang tamu, Runa tak perlu bertanya untuk tahu apa yang terjadi. Karena itu, ia pun pamit mandi dan membiarkan Layla merenung di kasur.

Lampu kamar sudah dimatikan, hanya tersisa lampu tidur yang menyala temaram. Runa menaikkan selimut untuk menutupi tubuhnya dan Layla yang berbaring di sebelahnya. Layla tidak berbicara sedikitpun kepadanya, tidak juga menanyakan bagaimana hasil pembicaraannya dengan Eithan.

Runa bisa menebak wanita itu terlalu terkejut atau mungkin bingung dengan pengakuan Matthew yang mendadak. "Kamu baik-baik saja?," tanya Runa lembut, membalikkan tubuhnya menatap Layla.

Selama ini Layla yang selalu menghiburnya, sekarang gilirannya untuk menghibur wanita yang sedang membalikkan tubuhnya menghadap Runa.

Tatapan mata Layla entah kemana. Ia menyentuh bibir dengan jari telunjuknya. "Matthew... menciumku..."

Runa terbelalak. Runa memang menyuruh Matthew untuk maju, tapi tidak seekstrim ini juga. Layla tidak pernah pacaran seumur hidupnya, jelas saja Layla jadi panik.

"Dia... tidak mengatakan apa-apa lagi?," tanya Runa memastikan.

Mata Layla bergerak naik, menatap Runa. "Dia bilang... dia menyukaiku. Sejak kita masih kecil..."

Runa tersenyum tipis. Setidaknya Matthew menyatakan dengan jelas perasaannya. "Itu benar, aku pun menyadarinya."

Layla terdiam. Sedikit banyak Layla pasti mengerti kenapa Matthew baru bilang sekarang, makanya ia tidak memprotes sama sekali. Suara serangga malam yang damai seakan mengejek isi kepala Layla yang sedang kebakaran.

"Apa yang kamu inginkan, La?," tanya Runa akhirnya.

Tidak terdengar jawaban selama beberapa detik, tapi akhirnya Layla bersuara. "Aku... ingin kita bertiga terus bersama... yah ditambah Eithan boleh, tidak juga tidak masalah. Aku hanya... tidak ingin berpisah dengan kamu dan Matthew..."

"Kenapa kamu berpikir kita akan berpisah?" tanya Runa sedih.

"Karena... yang namanya ada awal pasti ada akhir... Baik teman-temanku, maupun kamu, kalian sangat bersinar ketika jatuh cinta, tetapi ketika cinta itu berakhir..." Layla menelan ludah. "Aku tidak mau mengalaminya... apalagi ini Matthew..."

Suara Layla bergetar, "Pertemanan kita bertiga... akan rusak ketika aku dan Matthew berpisah..."

Runa bisa mengerti ketakutan Layla, karena ia pun pernah merasakannya. "Layla...,"

"Dibanding itu semua, bukankah yang paling penting adalah perasaanmu dulu? Apa kamu membenci Matthew?," tanya Runa. Ia jadi merasa seperti Eithan sekarang, yang menanyakan hal yang sama terhadapnya.

Layla merenung lalu menggeleng menatap Runa. Sudut bibir Runa terangkat naik. "Aku tahu kamu menyayangi Matthew sebagaimana kamu menyayangiku, tapi... apa kamu keberatan Matthew menciummu?," tanya Runa lagi. "Karena yang namanya ciuman itu 'kan tidak bisa dilakukan dengan orang yang tidak kamu sukai secara spesial."

Layla merenung lalu menggeleng lagi. "Aku... tidak keberatan. Rasanya tidak buruk..." Bisa dilihat wajah wanita itu pelan-pelan memerah, meski hanya sinar remang-remang menerangi.

Runa terkekeh geli. Syukurlah Layla jujur dengan perasaannya. "Kalian akan baik-baik saja," kata Runa.

Di titik ini, dia tidak akan menyuruh Layla menerima atau menolak Matthew. Yang hanya bisa Runa lakukan hanyalah membuat Layla menyadari perasaannya pada Matthew dan membiarkan gadis itu memilih sendiri.

Runa membalikkan tubuhnya, menatap langit-langit kamar yang ditempeli bintang-bintang yang menyala dalam gelap, mengingatkannya pada pembicaraannya dengan Eithan di gazebo tadi.

TIME AFTER TIMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang