Chapter 13 - Letupan

37 9 0
                                    

"Ada?," tanya Runa dari depan pintu pantry kantor.

"Ada kok." Eithan tersenyum dan membawa helm cadangan di tangan kanannya.

Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Rangkaian acara outing mereka sudah berakhir dan sekarang mereka sedang menuju parkiran motor.

Masih ada beberapa motor yang terpakir, dan tidak butuh waktu lama untuk sampai di tempat Eithan memarkirkan motornya. Motor yang masih sama dengan yang dinaiki Runa dulu.

"Terima kasih, maaf jadi merepotkan." Runa basa basi sambil mengenakan helm kantor.

Eithan yang sudah duduk di motor dan mengenakan helm menyodorkan jaketnya untuk Runa. "Pakailah. Sudah malam anginnya dingin."

Runa menatap jaket itu nanar lalu mengambilnya, "Terima kasih."

Dengan kikuk Runa memegang pundak Eithan untuk naik ke motor. Sudah lama ia tidak menyentuh pria itu, debaran di dadanya menyusup kembali.

Duduk di tempat yang sering ia duduki dulu membuat pikirannya melintas kembali ke masa itu. Punggung Eithan di hadapannya yang terlihat lebar dan kokoh, selalu dipeluk Runa dari belakang. Meski udara malam yang dingin, punggung itu memberinya kehangatan.

Tangan Runa yang bertaut di pinggang Eithan, sesekali dielus pria itu, lalu digenggam, mengingatkannya kalau pria itu akan selalu menghalau badai yang mungkin ada di depan mereka.

Tetapi sekarang Runa —yang hanya teman Eithan— tidak berhak lagi untuk memeluk pria itu. Dengan kikuk Runa meletakkan tangannya di besi bagian belakang joknya, membiarkan Eithan menyalakan mesin motornya dan melaju menuju jalan raya.

Eithan menolehkan kepalanya sedikit ke belakang, "Run."

Mau tidak mau Runa memajukan tubuhnya, mencoba mendengarkan apa yang ingin Eithan katakan, "Ya?"

Bukannya kalimat yang didengar Runa melainkan lengannya yang ditarik lembut untuk melingkar di pinggang pria itu. Runa terlonjak kaget. Ia ingin meronta tetapi tubuhnya terlalu terbiasa dengan punggung Eithan. Secara natural tubuhnya mencondong untuk memeluk Eithan.

Segala kekalutan memenuhi kepala Runa. Mereka tidak boleh begini. Dia tidak boleh begini. Apa ia terlalu kuno? Tetapi teman mana yang memeluk begini? Jika orang lain bisa begini, Runa tidak bisa. Tetapi tangannya tidak mau menurut, malah semena-mena merapatkan jarak di antara mereka.

Runa tidak yakin ia sanggup membendung perasaannya yang diliputi kerinduan dan kemarahan secara bergantian terhadap Eithan. Wanita itu sudah lelah. Ia tidak mengerti lagi harus diapakan hatinya ini. Awalnya ia kira ia akan sanggup, namun sepertinya ia harus segera mencari kantor lain.

Kurang dari 30 menit, mereka sudah sampai di depan rumah Runa. Runa pun turun dengan hati-hati dan membuka helmnya.

"Terima kasih, Eithan," salam Runa sembari menyerahkan helm itu ke Eithan.

Pria itu juga membuka helmnya dan tersenyum hangat. "Sama-sama," jawabnya.

Mereka terdiam beberapa saat, tidak bergerak dari tempat mereka berpijak. Masing-masing dipenuhi pikiran yang meluap dan meletup. Baru setelahnya, Eithan menoleh ke arah wanita itu. "Run, kita–"

"Eithan."

Eithan terdiam. Runa memotong kalimatnya dan menatapnya lurus. Wanita itu terlihat ragu untuk berkata. "Bisa tidak... kamu tidak terlalu baik padaku?," tanya wanita itu perlahan. Ia tidak mau salah paham dan terlena. Hatinya tidak sanggup.

Jantung Eithan mencelos. Rahangnya berkedut. "...Apa kamu membenciku?"

Runa memalingkan wajahnya, memilih untuk tidak menjawab. Mulutnya tidak sanggup mengatakan Iya karena hatinya meneriakkan Tidak.

TIME AFTER TIMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang