Chapter 7 - Peluang

45 9 0
                                    

Rutinitas pagi Runa bertambah, yaitu pergi ke pantry untuk mengisi air di botol minumnya, segera setelah tiba di kantor. Selama tiga hari terakhir, Runa sengaja jalan lebih pagi, supaya tidak berpapasan dengan Eithan lagi. Tentu saja usahanya berbuah hasil. Wanita yang sedang berjalan ke pantry itu memantapkan hatinya untuk selalu berangkat di jam yang sama seperti tiga hari terakhir.

Ia bersenandung kecil lalu mencuci tangan, kemudian menekan tombol dispenser dan membiarkan air memenuhi botol minumnya. Matanya membaca kutipan motivasi yang tergantung di atas dispenser.

Opportunities don't happen, you create them. Chris Grosser.

"Pagi,"

Jantung Runa berhenti sedetik mendengar suara yang ia kenal. Kepalanya menoleh kikuk. 

"...Hai, pagi," sapanya berusaha terlihat ramah. Eithan berjalan mendekati Runa dengan botol minum di tangannya juga. Rupanya pria itu datang lebih pagi hari ini.

"Pagi sekali kamu datangnya?," tanya pria itu tak kalah ramah. Ya supaya tidak ketemu kamu.

"Iya, biar gak kena macet nih. Kamu tumben pagi sekali," jawab Runa ala kadarnya sambil berdoa botol minumnya segera penuh. Ia memang sudah memantapkan hati untuk menganggap Eithan teman sekantor, tetapi kalau disuruh seruangan hanya berdua, ia belum siap.

"Oh iya juga, jalur dari rumahmu kalau kemari pasti kena macet sih ya. Sama kok, aku juga," katanya sambil tersenyum. Oh, dia masih ingat...

"Ya begitulah." Runa tersenyum tipis sambil memerhatikan air di botolnya. Begitu botolnya penuh, Runa langsung lega. Ia segera mengambil botol minumnya, lalu mundur untuk bergantian dengan Eithan. "Kalau begitu aku balik duluan ya," pamitnya. Eithan mengangguk dan membiarkan Runa keluar dari pantry.

Begitu sosok Runa menghilang, Eithan menghela napas panjang. Pria itu masih ragu dengan yang mana yang harus ia lakukan duluan.

Ya, setelah hatinya mantap untuk menuntaskan halaman mereka yang belum usai itu, Eithan mulai merancang strategi untuk mendekati Runa kembali. Terlepas dari apapun jawaban Runa nantinya, setidaknya halaman yang itu selesai dengan baik dulu. Dengan begitu, mungkin rasa gelisah dan rasa bersalah yang hinggap di hatinya ini bisa pergi.

Tatapannya jatuh pada kutipan motivasi di atas dispenser.

Peluang itu tidak terjadi, Andalah yang menciptakannya.

Dan Eithan berdiri dalam diam menatap tulisan itu. Ia baru tersadar kembali ketika air yang memenuhi botol minumnya sudah meluber tumpah.

***

Runa menghela napas panjang di bilik toilet kantor. Ia bersyukur perutnya mendadak sakit jadi ia bisa sekalian menjauh dari Eithan. Semoga saja Sierra sudah datang ketika ia selesai nanti.

Di titik hidupnya sekarang, Runa enggan memikirkan soal cinta. Banyak hal selain cinta yang jauh lebih penting. Misalnya, masalah finansial masa depan.

Tadi pagi saja Ibunya sudah bertanya soal kapan gajian dan berapa besarannya. Soalnya mulai bulan depan, Runa disuruh untuk membiayai asuransi Ibunya, sejumlah sepertiga dari gajinya.

Tentu saja Runa galau. Ini pertama kalinya ia memegang uang dari hasil keringatnya —ketika magang tidak dihitung, karena gaji magangnya habis untuk biaya transportasi dan makan— jadi sewajarnya manusia dewasa yang baru memegang uang, banyak hal yang ingin ia beli dan lakukan.

Selama ini 'kan dia tidak bisa membeli sesuatu sesuai keinginannya karena uang jajannya pas-pasan dan Ibunya selalu mengatur barang-barang yang boleh ia miliki, dari peralatan tulis sampai ke penampilannya.

Runa tahu sih, merupakan hukum tidak tertulis tapi wajib untuk memberi uang ke orang tua setelah bekerja. Runa pun ikhlas untuk memberi, tetapi tak dapat dipungkiri ia juga sedih. Apalagi Ibunya menggunakan kata-kata seperti...

"Cepat kamu cari kerja. Jangan habisin uang orang tua terus!"

"Runa sayang, nanti habis gajian kamu yang bayar asuransi Ibu ya. Itu sekalian menabung kok, nanti uangnya buat kamu juga. Jadi kalau Ibu meninggal, kamu dapat uangnya,"

"Apa?? Gajimu cuma segitu?? Itu kecil banget, Runa. Ya ampun kamu dibodoh-bodohi itu namanya. Hadeh, punya anak cuma satu kok bodoh begini,"

Belum lagi hal-hal kecil yang terus menumpuk...

"Jangan kasih si Layla dekat-dekat sama Matthew dong. Kamu dekat-dekat lah sama si Matthew itu. Keluarganya kaya, hidupmu gak akan susah kalau kamu menikah sama dia."

"Lihat tuh Layla cantik begitu padahal masih kecil. Bajunya bagus-bagus. Enak memang kalau jadi orang berkecukupan. Harusnya dulu Ibu gak usah nikah sama Ayahmu,"

"Lagian bodoh sih, bukannya ngejar si Matthew, malah pacaran sama Eithan. Putus pula. Dari awal Ibu udah bilang Eithan itu bukan lelaki baik, kamu gak mau dengerin, salah sendiri. Udah enak Matthew kaya, malah pilih yang miskin, ke rumah cuma bawa es podeng,"

Bohong namanya kalau ia tidak sedih ketika mendengar itu. Mau sekeras apapun usahanya untuk kebal, sedikit banyak omongan Ibunya itu mulai terpatri di otaknya. Apalagi omongan Ibunya ada benarnya dan demi kebaikan Runa juga 'kan?

Runa mulai berpikir kalau mungkin ia memang harus mengikuti omongan Ibunya? Bagaimanapun Ibunya sudah hidup lebih lama dari dia 'kan? Istilah surga berada di bawah telapak kaki Ibu yang sering digunakan itu membuktikan kalau ucapan tersebut nyata adanya 'kan?

Namun, hati kecilnya selalu menolak, entah kenapa tak bisa menerima keinginan Ibunya.

***

Sierra sedang membahas pekerjaan dengan Eithan ketika Runa kembali ke biliknya. Sembari bertukar salam selamat pagi, Runa pun duduk. Matanya curi-curi pandang ke sosok pria dan wanita yang sama-sama kompeten itu. Ia tidak tahu harus mendeskripsikan perasaannya bagaimana.

"Run, nanti kalau sudah sempat kamu bikin spanduk untuk acara outing kantor ya," ujar Eithan sambil menggeser kursinya supaya ia bisa bertatapan dengan Runa. Wanita itu terlihat kaget, jadi ia pun menambahkan, "Bulan depan ada acara outing kantor tahunan. Tahun ini ke taman ria."

Mata wanita itu berbinar, "Sungguh,?" tanyanya.

Sierra menggeser kursinya mendekati meja Runa, "Iya! Tahun lalu ke pantai, tahun ini ke taman ria. Aku udah lama banget gak ke taman ria. Kamu kapan terakhir kesana,?"

Runa pun jadi ikutan semangat mendengarnya, "Terakhir aku kesana waktu kuliah pas...—" Ucapannya terhenti karena mengingat memori terakhirnya di taman ria.

Setelah lelah berkeliling seharian, dia memutuskan untuk naik bianglala. Ketika kereta yang dinaikinya mencapai puncak tertinggi, matanya langsung dimanjakan dengan pemandangan langit malam yang cerah. Taburan ribuan bintang di angkasa, dengan bulan purnama berpendar sebagai pusatnya. Cahaya lampu kota di bawahnya memancarkan warna emas berkilau, melengkapi keindahan malam. Dan ia menyaksikan itu semua di pelukan kekasihnya kala itu, Eithan.

"...Sekitar tiga tahun lalu?," Runa menelan ludah. Hampir saja ia kelepasan.

"Kayaknya aku juga deh, udah lama banget gak kesana. Pengen ngajak Travis, tapi dia takut ketinggian," dengus Sierra.

Runa tertegun. Ragu-ragu ia bertanya, "Travis?," dengan suara kecil nyaris berbisik.



*** bersambung ***

Kapan terakhir kali kalian ke taman ria?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kapan terakhir kali kalian ke taman ria?

TIME AFTER TIMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang