5

279 52 0
                                    

════ ⋆★⋆ ════

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

════ ⋆★⋆ ════

"NIH, kamu suka ini kan? Ayo makan, kurang gizi nanti, mampus." Menawarkan udang empuk yang berbalutkan tepung lalu digoreng sampai matang kepada (name), berharap labium insan tak lagi menekuk kebawah-singkatnya, (name) ngambek.

"..."

Tak mendapatkan respon apapun dari lawan bicara, Frieren meletakkan piring berisi udang itu dihadapan (name) sebelum seorang lelaki dengan rambut sewarna dengan langit cerah berbisik, "Frieren, ini siapa? " Tanyanya.

"Ah, ingat tidak anak yang dulu ku antar ke AuBerst? " Balasnya sembari melihat (name) mulai mengambil udang dihadapan nya dan melahap nya dengan mata berbinar.

Lelaki tersebut lantas saja teringat dan hendak mengatakan sesuatu, tapi sebelum membuka mulut pria lainnya dengan surai hijau dengan kacamata yang berpakaian seperti pendeta terlebih dahulu mengatakan kalimat yang ingin ia katakan,

"Nona, kamu ini yang dulu sempat mengikuti kami ya?" Tebaknya.

"!!! "

Ngikutin? Ya, dulu ketika Frieren pergi bersama party nya itu, ia tak memberitahu (name) karna ia memiliki dugaan; kalau (name) tahu, dia pasti bersikeras untuk ikut juga, dan itu tak diperbolehkan Frieren, jadi ia memutuskan untuk pergi diam-diam ketika (name) sedang mencari tanaman herbal yang ia suruh cari untuk mengalihkan perhatian.

Tapi, karena memiliki sedikit perasaan curiga, (name) hanya berpura-pura mencari tanaman herbal, padahal ia sembunyi-sembunyi mengikuti Frieren.

Tak lama setelah nya Frieren yang telah menyadari keberadaan (name), kemudian menitipkan (name) pada Serie di AuBerst. Katanya sih untuk sementara.

Rencananya Frieren sih, ia ingin menjemput (name) yang berada di AuBerst lalu mengajak nya berkeliling dunia untuk mendapatkan mantra sihir setelah melihat Hujan Meteor Era, yang hanya terjadi sekali dalam waktu lima puluh tahun.

Rencananya sih begitu.

Tapi siapa sangka, ternyata malah elf muda ini yang terlebih dahulu mendatangi nya di Ibukota.

Kembali ke kenyataan.

Dengan wajah yang memerah karena rasa malu dengan pernyataan "mengikuti" itu, (name) menunduk kan pandangan sembari mengangguk kan kepala nya. "Begitu ya...".

"Kalau tidak salah namamu (name) kan? Apa mungkin kamu punya keluarga", Seketika (name) mendongak kan kepala nya, namun sebelum ia sempat menjawab gadis lainnya sudah terlebih dahulu menjawab pertanyaan lelaki itu, "Dia hanya ingat bahwa dia mempunyai orang tua, tapi tak tahu siapa orang tua mereka-"

"-Yah, walaupun (name) masih ingat pekerjaan yang dilakukan ayah dan ibunya sih " Lanjutnya sambil memandang kearah sang topik pembicaraan. "Begitu ya" Sahut lelaki berkacamata itu.

Terjadi keheningan selama beberapa saat sampai lelaki muda bersurai biru langit tadi memulai pembicaraan kembali, "Oh, ya, kami belum memperkenalkan diri dengan baik kan?" Ia menunjuk dirinya sendiri dengan tangannya lalu meletakkan tangannya itu dihadapan dadanya dengan posisi tangan menyamping "Namaku Himmel, Lelaki dengan kacamata ini Heiter, dan Dwarf disana bernama Eisen—" Ia menunjuk orang-orang yang berada di meja tersebut sambil memperkenalkan diri mereka,

"—Senang berkenalan dengan mu, (name)".

(Name) memandang mereka semua dengan mata yang mengerjap lucu dengan mulut nya yang sedikit terbuka, lalu tak lama setelah selesai memproses kejadian yang baru saja ia lihat, barulah ia mengucapkan salam perkenalan dengan raut wajah antusias bagai anak kecil yang baru saja mendapatkan teman baru yang baik,

"Hum! Senang berkenalan dengan kalian semua!"

.
.
.
.

Hujan meteor era sudah hampir dimulai, sekelompok orang yang berisikan dua elf, dua manusia dan satu dwarf tadi, kini sudah berada di dekat pagar yang terbuat dari batu bata di tengah kota untuk menyaksikan hujan meteor era.

Mereka berbincang beberapa topik pembicaraan sebelum para bintang jatuh menampakkan cahya nya yang indah.

"Berakhir sudah" Eisen membuka pembicaraan sembari menatap kearah langit diatas sana.

"Benar juga—" Himmel mengambil satu langkah ke depan sebelum melanjutkan perkataannya, "—Dengan ini petualangan kita selesai." Akunya, lalu ia membalikkan badannya menghadap para lawan bicara.

"Sepuluh tahun, yah, banyak hal yang sudah terjadi—" Balas pendeta ses-ekhem Heiter, sembari menuangkan sebotol sake ke gelas, "—Contohnya saat hari keberangkatan, Himmel dan Eisen, hampir di eksekusi karena mengajak bicara raja dengan santai."

"Bisa-bisa petualangan kita gagal di sana, ya." Sahut Frieren. "Pernah juga Heiter menjadi beban karena teler..." Himmel mendongakkan sedikit kepalanya keatas, mengingat kembali pengalaman-pengalaman yang pernah terjadi di petualangan mereka.

Sedangkan (name), ia hanya berdiri diam disamping mereka dengan wajah tanpa ekspresi, sesekali mengerjap bingung karena ia tentu nya tak tahu bagaimana gambaran jelasnya tentang petualangan para Party Pahlawan itu. Ia menyimak cerita mereka dan sesekali menggigit manisan apel yang di balur gula yang sudah di cairkan; Tanghulu.

Ke empat insan di depan (name) itu kemudian tertawa mengingat kenangan konyol nan menyenangkan itu. 'Enak banget berpetualang kesana kemari, aku juga mau, tau.' Batinnya seraya memalingkan pandangan ke arah langit dengan sedikit cemberut, habisnya selama ini dia hanya bangun tidur–latihan–makan–latihan–mengontrol daya sihir–latihan–tidur secara berulang. Meskipun ia berlatih bermacam–macam sihir, tetap saja ia merasa bosan, karena tidak ada yang bisa di ajak bicara katanya. Ya walaupun dia memang ingin latihan, sih.

Tak lama mereka mengadahkan pandangan nya keatas, terlihat sebuah cahaya indah yang melintas—pertanda Hujan Meteor Era hampir tiba.

"Wah..." dengan mulut terbuka (name) melihat kawanan meteor yang terlihat di langit. Dari bumi sini meteor itu terlihat jatuh ke daratan, sangat indah.

Ia tak menghiraukan keadaan sekitar dan fokus memandangi langit,

"Cantiknya." Suara lembut lelaki bersurai biru langit terdengar ketika ia menyaksikan Hujan Meteor Era itu—sebelum suasana menyentuh itu seketika rusak karena ucapan elf mage bersurai salju—

"Susah kelihatan kalau di tengah kota."

"Ada orang yang sedang tersentuh disini. Peka sedikit, dong." Minta Himmel ketika suasana itu rusak dan menolehkan pandangannya ke arah Frieren sejenak.

"Kalau begitu—"

"Lima puluh tahun lagi akan ku ajak kalian ke tempat yang bagus untuk melihat nya." Frieren mengarahkan pandangannya kembali kedepan sebelum melanjutkan perkataan tadi. Perkataan yang membuat Himmel entah kenapa tertawa.

"Kenapa?" Tanyanya.

"Enggak. Bukan apa-apa"Ungkap Himmel.

"Benar. Ayo kita lihat bersama." Ucapnya pelan, setelah perkataan Himmel itu, mereka semua kembali diam dan melanjutkan memandang Hujan Meteor Era yang layak dipandang itu.

.
.
.
.

𝗘𝘁𝗲𝗿𝗻𝗮𝗹 𝗗𝗲𝘀𝘁𝗶𝗻𝘆. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang