Sembilan

6.1K 1.4K 18
                                    

RAPAT evaluasi bulanan hari ini lebih pendek daripada biasanya karena Jazlan sedang sibuk. Rapat dimulai lebih siang karena si Bos datang terlambat. Pasti ada sesuatu yang penting karena Jazlan selalu tepat waktu. Tapi karena dia atasan tertinggi di hotel ini, dia tidak perlu menjelaskan apa pun kepada kami. Rapat juga diakhiri lebih cepat karena dia sudah ada janji makan siang dengan arsitek yang akan mengerjakan bangunan hotel baru.

Dari ruang rapat, aku berniat kembali ke ruanganku. Aku spontan melihat layar gawai di tanganku ketika benda itu berdering. Langkahku terhenti ketika melihat nama yang tertera di layar. Guru Ara hanya menelepon kalau ada hal yang sangat penting. Apakah hari ini Nenek terlambat menjemput Ara? Aku langsung menerima panggilan itu.

"Ini Oma, Sha," jawab Nenek di ujung sambungan. "Tadi lupa bawa HP dan dompet waktu jemput Ara. Makanya pinjam HP Bu Dewi nih. Oma udah janji mau ngajak Ara ke toko buku untuk beli buku gambar dan krayon sepulang sekolah. Kalau mau balik ke rumah untuk ngambil HP dan dompet dulu, harus mutar lagi. Kantor kamu lebih dekat dari toko buku. Oma boleh mampir ke hotel dan pinjam kartu kamu, kan?"

Aku lega karena tidak mendengar kabar buruk tentang Ara. Biasanya, guru Ara memanfaatkan grup WA orang tua murid sebagai wadah komunikasi. Setelah terbiasa dengan komunikasi melalui pesan teks, hubungan telepon secara langsung membuatku waswas.

"Tentu saja boleh, Oma." Seumur hidup, ini pertama kalinya Nenek hendak meminjam kartuku. Kalau gawai atau dompetnya tidak ketinggalan, aku yakin dia tidak akan melakukannya. Walaupun aku sudah bekerja dan punya anak, Nenek masih saja menganggapku sebagai tanggung jawab yang harus dibiayai. "Aku tunggu di lobi ya."

"Oma dan Ara nggak usah masuk deh. Kami nunggu di tempat parkir aja biar cepat dan nggak ganggu kerjaan kamu. Sepuluh menitan lagi, kami pasti udah sampai di situ."

Aku bergegas ke ruanganku untuk mengembalikan berkas laporan yang tadi ikut bersamaku ke ruang rapat, sekalian mengambil dompet. Sekolah Ara tidak jauh dari hotel. Aku memilih sekolah itu dengan pertimbangan kalau Nenek atau Pak Hasto, sopir Nenek, berhalangan atau terlambat menjemput Ara, maka aku bisa kabur sebentar dari kantor untuk menggantikan mereka. Semua ibu bekerja pasti punya trik dan strategi sendiri saat memilih sekolah untuk anak mereka. Bagiku, strategi itu adalah menipiskan jarak antara kantor dan sekolah Ara.

Di dalam lift yang mengantarku ke lobi, aku mendadak teringat jika Khalid masih tercatat sebagai tamu. Tidak ada yang bisa menjamin kalau dia sekarang tidak sedang berada di dalam hotel. Keputusan Nenek menunggu di dalam mobil, di tempat parkir, sangat tepat. Berbahaya kalau Khalid sampai melihat, apalagi bertemu Ara. Dengan kemiripan fisik mereka, nyaris mustahil Khalid tidak curiga tentang identitas Ara. Siapa lagi anak kecil yang bersama Nenek kalau bukan anakku? Hanya aku keturunan Nenek yang tinggal di tanah air. Ibu dan adik-adik tiriku nyaman menjadi warga negara Australia. Khalid tahu itu.

Aku tidak mungkin mengakui Ara sebagai anak dari pernikahan gadunganku karena Ara lumayan bongsor untuk anak seumurnya. Bahkan orang bodoh pun tidak akan percaya kalau kukatakan Ara baru berumur dua atau tiga tahun karena Ara sudah tampak seperti anak yang berumur enam tahun, padahal usianya baru empat setengah tahun. Khalid bukan orang bodoh. Dia pasti bisa langsung menebak hubungan antara dirinya dan Ara.

Aku tidak perlu menunggu lama di depan lobi karena segera melihat mobil yang dikemudikan Pak Hasto memasuki area hotel. Setelah mendekat, aku memberi isyarat supaya Pak Hasto langsung ke depan lobi, tempatku berdiri. Aku menunduk, mengulurkan kartu melalui jendela mobil yang dibuka Nenek.

"Tadi Oma pinjam HP Bu Dewi karena Pak Hasto juga nggak bawa HP," gerutu Nenek. Dia mengambil kartu yang kuulurkan. "Kartu dan uang yang Oma pakai nanti Oma ganti."

"Nggak usah diganti, Ma. Kan yang dibeli barang untuk Ara juga."

"Tapi Oma yang janji mau beliin. Masa beliinnya pakai uang kamu sih? Yang bener aja!"

"Mommy... Mommy nggak mau ikut ke toko buku?" Ara memutus percakapanku dengan Nenek. Dia merangsek, ikut mendekat ke jendela.

"Mommy masih kerja, Sayang." Aku memberinya senyum manis. "Kalau lagi kerja, Mommy nggak boleh ninggalin kantor seenaknya, nanti dimarahi sama bos Mommy."

"Tapi bos Mommy kan Om Jaz. Dia nggak pernah marah. Atau ajak aja sekalian. Biar aku bisa tanyain apakah dia mau belajar sulap sama papanya Nisa."

Nenek tertawa mendengar kata-kata Ara. Dia mengusap kepala Ara. "Om Jaz nggak pernah marah karena mommy kamu nggak pernah bikin salah. Kalau dia bolos, tentu saja Om Jaz akan marah. Sekarang kita pergi berdua aja. Nanti kalau kita perginya hari Sabtu atau Minggu, baru deh kita perginya bareng Mommy."

Ara segera menyetujui ide itu. Aku melambai dan menunggu sampai mobil mereka menjauh dari lobi sebelum masuk kembali ke dalam gedung hotel.

Suara tawa Jazlan yang khas menyapa gendang telingaku saat aku lewat di depan restoran. Dia berada di smokingarea. Aku spontan menoleh ke arahnya. Jazlan duduk berhadapan dengan seorang laki-laki yang posisinya membelakangiku.

Sialan! Walaupun aku hanya melihat bagian belakang kepalanya, aku segera mengenali orang yang bersama Jazlan itu.

Mengapa aku tidak bisa segera menghubungkan titik-titik merah berisi petunjuk yang bertebaran di hadapanku? Aku sudah tahu kalau arsitek yang memenangkan tender untuk hotel baru itu berasal dari Jakarta. Harusnya aku sudah curiga saat tahu Khalid menginap di hotel ini. Itu petunjuk yang terang benderang.

Aku merasakan jantungku memukul kencang. Rasanya seperti tercekik. Entah bagaimana, tapi akhirnya aku bisa sampai kembali di ruanganku dan duduk di kursi. Aku berada dalam masalah besar!

Seandainya Khalid benar-benar penasaran ingin tahu informasi tentang aku, dia bisa bertanya kepada Jazlan. Aku tidak keberatan kalau Jazlan mengatakan bahwa aku belum menikah lagi karena itu faktanya. Aku hanya tidak ingin Khalid tahu tentang Ara. Jazlan bisa saja memberikan informasi itu kepada Khalid.

Aku tidak pernah bercerita banyak tentang masa laluku kepada Jazlan, karena walaupun kami lumayan dekat, aku menjaga jarak dan berusaha menjaga supaya hubungan kami profesional. Bagaimanapun, dia adalah bosku. Tapi tentu saja Jazlan tahu kalau aku janda cerai.

Aku hanya bercerita banyak hal pada Ribka melalui sudut pandangku sebagai orang yang disakiti pasangan. Yang tidak diketahui Ribka dari masa laluku hanyalah sosok dan wajah Khalid. Aku tidak menyimpan foto atau kenang-kenangan apa pun dari pernikahan yang hancur berantakan itu. Aku tidak ingin mengenang seorang pengkhianat. Kalau Khalid bisa dengan mudah kembali pada cinta masa lalunya, lalu kenapa aku tidak bisa melanjutkan hidup? Dan untuk melancarkan upayaku menyongsong masa depan bersama anakku tanpa bayang-bayang masa lalu yang kelam, menyingkirkan semua benda yang bisa memancing ingatan tentang Khalid adalah hal yang pertama kali kulakukan.

Aku mengatur napas untuk menenangkan diri. Aku harus memikirkan cara untuk menjauhkan Ara dari radar Khalid. Laki-laki itu tidak boleh tahu kalau dia tanpa sengaja telah menitipkan sesuatu yang sangat berharga padaku. Sesuatu yang tidak ingin kubagi dengannya. Tidak dulu, apalagi sekarang, saat Ara sudah menjelma menjadi gadis kecil yang cantik dan menggemaskan. Ara hanya milikku, dan selamanya akan seperti itu.

**

Yang pengin baca cepet bisa ke Karyakarsa ya. Jangan minta fast update di sini karena jadwalnya emang hanya sekali seminggu. Dan untuk komunikasi sama aku, bisa DM ke Instagram @titisanaria karena aku lebih  aktif di IG daripada di Wattpad. Tengkiuu....

Upside DownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang