PENGALAMAN telah mengajarku banyak hal tentang bagaimana cara menyelesaikan masalah dengan pasangan. Guru terbesarku adalah orangtuaku sendiri. Mereka adalah contoh terburuk yang pernah kulihat dengan mata kepala sendiri karena memilih mengedepankan emosi saat terbentur masalah. Ketika mereka berselisih paham, teriakan mereka membuat kaca rumah bergetar. Mereka berlomba saling menuding, menghujat, dan memaki. Saat pertengkaran mereka semakin panas, maka gelas, cangkir, dan piring bergantian dibanting ke lantai. Pecahannya berserakan menghiasi seluruh penjuru rumah. Beberapa kali, kakiku berdarah ketika terkena serpihan beling yang tersisa, yang tidak terjangkau sapu dan pengisap debu saat dibersihkan.
Ketika melihat mereka dalam kondisi seperti itu, sulit untuk percaya jika mereka menikah karena cinta. Ayah dan ibuku lebih mirip musuh yang dikurung di rumah yang sama. Untungnya (kalau masih ada sisi positif yang bisa dilihat dari hubungan mereka yang berantakan), tidak pernah ada kekerasan fisik yang terlibat dalam pertengkaran-pertengkaran itu. Atau kalaupun ada, aku tidak pernah melihatnya.
Orangtuaku akhirnya bercerai saat aku kelas V SD. Alih-alih bersedih, aku lega dengan keputusan mereka. Berada di tengah-tengah orangtua yang sepertinya saling membenci membuatku selalu tegang dan tidak nyaman. Bahkan saat mereka sedang akur pun, aku tidak bisa tenang karena tahu perdamaian mereka tidak pernah berumur panjang. Mereka akan segera masuk kembali dalam mode perang, tanpa memikirkan perasaanku sebagai anak yang menjadi saksi pertengkaran mereka.
Setelah bercerai, ibuku memilih melanjutkan kuliah pascasarjana di Australia sehingga aku harus ikut Ayah. Umur kebersamaan kami tidak terlalu panjang karena Ayah kemudian menikah lagi. Istri ayah membawa dua orang anak dari pernikahan sebelumnya ke rumah kami. Sayangnya, istri ayah dan anak-anaknya menganggapku sebagai saingan yang harus disingkirkan.
"Sebaiknya Misha tinggal sama neneknya aja untuk mengurangi pengeluaran kita, Bang. Aku sedang hamil dan udah resign dari kantor. Gaji kamu sulit dipakai hidup layak untuk kita semua. Ini untuk kebaikan Misha juga. Dia sudah terbiasa hidup enak karena mamanya selalu memanjakan dia. Nitipin dia sama neneknya bagus untuk dia juga. Dia jadi nggak usah ikut hidup seadanya bersama kita. Neneknya kan pengacara terkenal yang kaya raya."
Aku tidak sengaja mendengar percakapan itu, jadi tidak terlalu terkejut ketika Ayah kemudian membawaku ke rumah nenek dari sisi ibu. Aku tidak terlalu mengenal keluarga Ayah karena dia berasal dari Sumatra, dan keluarga besarnya ada di sana.
Aku kemudian tinggal bersama Nenek yang supersibuk. Seperti kata ibu tiriku, aku memang tidak pernah kekurangan uang karena Nenek sanggup membiayai semua kebutuhanku. Dia memberikan yang terbaik untukku. Kalau ada yang kurang dalam hidupku, itu adalah perhatian. Aku tahu Nenek sayang padaku, tapi dia sangat sibuk dengan pekerjaan yang sepertinya tanpa jeda. Kantor Nenek memiliki klien-klien besar yang butuh perhatian penuh. Nenek biasanya hanya tinggal di rumah pada hari Minggu. Kami akan menghabiskan waktu beberapa jam bersama di mal atau tempat wisata lain sebelum dia kembali berurusan dengan tumpukan berkas dan laptopnya.
Hubunganku dengan Ayah semakin menjauh seiring waktu. Tahun-tahun pertama, dia masih menyempatkan datang memberi kado saat aku berulang tahun. Sesekali, dia menelepon berbasa-basi mengajakku berkunjung ke rumahnya. Tapi perlahan, dia mulai melupakan hari kelahiranku. Telepon dan pesan-pesannya juga semakin jarang dan akhirnya terhenti. Ketika kami berhubungan kembali, akulah yang meneleponnya lebih dulu saat aku akan menikah karena dialah yang seharusnya menjadi wali nikahku. Pertemuan kami setelah aku dewasa itu sangat canggung. Ayah menitikkan air mata yang entah apa artinya. Mungkin menyesal sudah melepaskan aku dari tanggung jawabnya, atau mungkin dia bersyukur karena aku ternyata bisa hidup dengan baik tanpa dirinya. Aku tidak menanyakannya karena tidak terlalu ingin tahu alasannya.
Ibuku? Dia bertemu seseorang saat kuliah di Australia. Mereka akhirnya menikah dan Ibu memutuskan menetap di sana. Aku bertemu dengannya saat dia berkunjung ke Indonesia, atau ketika aku dan Nenek yang jalan-jalan ke Canberra saat liburan sekolah. Sekali setahun, Nenek akan meluangkan waktunya yang berharga untuk mengajakku berpelesir. Kalau tidak mengunjungi Ibu, Nenek akan membiarkan aku memilih tempat yang akan kami datangi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Upside Down
عاطفيةSetelah menjalani perceraian yang pahit, Misha bertekad membesarkan anaknya seorang diri. Dia tidak ingin terlibat dengan laki-laki lagi. Satu kali pernikahan yang gagal sudah cukup memberinya pelajaran. Dia tidak berniat mengulang kesalahan yang sa...