NENEK dan Ribka pamit keluar kamar perawatan Ara tidak lama setelah Khalid datang. Aku hanya bisa menatap punggung mereka pasrah. Ara baru saja tertidur sehingga aku tidak punya alasan untuk menghindar ketika Khalid memintaku duduk di sofa.
"Ada yang mau aku omongin sama kamu," katanya.
Nadanya tenang, tapi aku sudah bisa menebak topik yang akan diangkatnya. Apalagi kalau bukan hendak meminta jawaban untuk pertanyaan yang pasti sudah menghantui pikirannya sejak tahu kalau dia sudah punya anak.
"Kenapa kamu menyembunyikan Ara dari aku?" tanya Khalid, persis seperti yang aku bayangkan. Kali ini suaranya terdengar getir.
Itu pertanyaan yang sudah aku antisipasi sejak semalam, saat dia masuk ruang rawat Ara. Namun walaupun aku sudah tahu dia akan menanyakannya, memberi jawaban tidak semudah yang kubayangkan. Rasanya seperti mengorek koreng baru dari luka yang belum sepenuhnya kering.
"Apa kamu segitu marah dan dendamnya sama aku, Sha?" lanjut Khalid ketika aku tidak segera menjawab. "Aku juga punya hak untuk melihat Ara tumbuh. Seharusnya aku jadi orang pertama yang menggendong Ara waktu dia lahir. Kamu keterlaluan karena merampas hakku jadi ayahnya. Kamu pasti sudah tahu kalau kamu hamil saat mengajukan gugatan cerai, kan?"
Seandainya percakapan ini terjadi bulan lalu, aku akan menanggapinya dengan berapi-api. Namun sekarang aku merasa kehilangan banyak energi sehingga emosiku ikut redup.
"Aku sedang berada di Australia saat tahu kalau aku hamil," kataku jujur, berusaha mempertahankan nadaku tetap konstan. "Waktu sadar aku hamil, aku berpikir ulang tentang perceraian kita. Aku marah karena kamu bertemu sama mantan tunanganmu di belakangku, tapi aku percaya kamu nggak tidur sama dia. Kamu nggak mungkin seberengsek itu dengan tidur sama dua orang perempuan di hari yang sama. Aku pikir, kalau kamu mau berjanji untuk nggak ketemu dia lagi, aku akan memberi kesempatan kedua pada pernikahan kita. Demi calon anak kita. Jadi sepulang dari Australia, aku ke rumah kamu."
"Kamu nggak pernah pulang, Sha," sela Khalid saat aku mengambil jeda di antara kalimat. "Begitu keluar dari rumah, kamu langsung menghilang seperti hantu. Kamu bahkan bikin aku percaya kalau kamu dan Nenek pindah ke Australi karena Nenek yang biasanya netral nggak bisa aku hubungi lagi."
Aku tertawa miris tanpa suara. Peristiwa itu terbayang lagi. "Aku datang pag-pagi buta ke rumah kamu supaya kita bicara sebelum kamu ke kantor. Tebak apa yang aku lihat di sana? Kamu bahkan sudah membawa perempuan itu ke rumah kamu sebelum kita resmi bercerai. Kalau kamu mau tidur sama dia, kenapa nggak di hotel aja? Kamu punya uang. Harus banget ya kalian melakukannya di rumah? Apa bercinta sama dia di tempat tidur yang aku pilih sebagai ranjang kita adalah perwujudan fantasi kalian?" Aku mendengus, mencoba tetap tenang. "Aku salah karena sempat berpikir bahwa kamu nggak berengsek. Aku rasa aku nggak mengenal kamu sebaik yang aku kira. Waktu itu aku lantas tahu kalau kamu juga ingin lepas dari aku. Dari pernikahan kita. Membawa perempuan itu ke rumahmu adalah bukti dan pernyataan yang tak terbantahkan. Jadi aku kemudian meminta pengacara untuk mengurus perceraian kita. Aku membatalkan rencana memberi tahu tentang kehamilanku karena nggak mau terlibat drama. Saat kamu tahu aku hamil, kamu mungkin akan memilihku daripada perempuan itu. Tapi untuk apa mempertahankan pernikahan dengan laki-laki yang masih mencintai perempuan lain? Laki-laki yang seenaknya mengajak perempuan lain ke rumahnya, padahal istrinya masih punya hak di situ sebelum akta cerai terbit." Rasanya lega setelah mengeluarkan kalimat-kalimat panjang itu. Aku sudah menahan unek-unek itu selama bertahun-tahun.
Khalid terdiam cukup lama sebelum akhirnya bicara, "Dilihat dari sudut pandang kamu, aku memang kelihatan berengsek banget. Tapi semua yang kamu tuduhkan itu nggak benar, Sha. Aku salah karena bertemu Adiba di belakang kamu, tapi aku nggak pernah selingkuh dari kamu. Aku nggak pernah punya niat menduakan kamu, apalagi sampai tidur sama orang lain. Hubunganku sama Adiba sudah lama berakhir. Jauh sebelum kita dekat. Aku nggak punya perasaan apa-apa lagi padanya. Aku nggak akan dekatin kamu kalau masih punya hati sama orang lain."
KAMU SEDANG MEMBACA
Upside Down
RomanceSetelah menjalani perceraian yang pahit, Misha bertekad membesarkan anaknya seorang diri. Dia tidak ingin terlibat dengan laki-laki lagi. Satu kali pernikahan yang gagal sudah cukup memberinya pelajaran. Dia tidak berniat mengulang kesalahan yang sa...