Sepuluh

6.2K 1.4K 69
                                    

AKU punya beberapa opsi pencegahan untuk menyembunyikan informasi keberadaan Ara dari kemungkinan dikatahui oleh Khalid. Yang pertama adalah bicara terus terang dan memberi tahu Jazlan tentang Khalid, sekaligus meminta bantuannya untuk tidak menyebut-nyebut tentang Ara seandainya Khalid mencari tahu tentang aku melalui dirinya. Opsi ini paling efektif walaupun agak memalukan karena aku harus melibatkan bosku dalam urusan pribadiku. Aku tahu Jazlan tidak akan keberatan, tapi rasanya tetap tidak nyaman.

Opsi kedua adalah bertemu Khalid dan membiarkan dia bertanya berbagai hal yang ingin diketahuinya tentang aku untuk menuntaskan semua rasa penasarannya, sehingga dia tidak perlu repot-repot mencari tahu tentang aku dari orang lain, terutama Jazlan. Ini juga bukan pilihan menyenangkan karena setelah perceraian tanpa bertemu muka, aku tidak pernah membayangkan akan duduk menghadapi meja yang sama dengan mantan suami yang telah menghancurkan semua ekspektasiku tentang pernikahan yang tenang dan sederhana. Apalagi kalau percakapan kami itu mengangkat topik tentang kehidupan pribadiku. Aku tidak ingin tahu kehidupannya setelah kami berpisah, jadi kami jelas tidak akan membicarakan tentang betapa bahagia dirinya karena sudah bersanding dengan cinta dalam hidupnya.

Opsi ketiga adalah diam-diam membubuhkan racun dalam makanannya. Kalau dia sudah mati, aku tidak perlu khawatir lagi dia akan bernegosiasi dan menuntut haknya atas Ara. Aku juga tidak akan direpotkan oleh rengekan Ara untuk bertemu ayahnya seandainya Khalid berhasil memikat hati Ara. Khalid bukan tipe yang banyak bicara, tapi dia lumayan jago memersuasi orang. Aku mengiakan ajakannya menikah karena terpengaruh argumennya yang mengatakan bahwa kenyamanan yang kami temukan dalam hubungan pertemanan kami adalah modal besar yang akan membuat pernikahan kami sukses. Aku percaya kata-katanya karena dia mengucapkan dengan ekspresi serius yang tenang. Tatapannya yang menatapku lekat tampak begitu tulus.

Namun, pilihan ketiga itu segera aku coret dari daftar. Membunuh itu melanggar hukum. Kalau aku tertangkap, Ara akan tumbuh tanpa seorang ibu. Dia, selamanya akan dilabeli sebagai anak seorang pembunuh. Tidak tanggung-tanggung, yang ibunya bunuh adalah mantan suami sekaligus ayah Ara sendiri.

Setelah berpikir dan menimbang-nimbang, aku memutuskan untuk maju dengan opsi kedua. Khalid adalah urusanku. Jazlan tidak perlu terlibat karena rasanya tidak pantas menyeret bosku dalam ranah pribadi, sebaik apa pun dia. Jazlan bukan Ribka yang bersedia menjadi ketua tim sukses untuk semua hal yang kulakukan.

Keputusan itu membuatku mengaduk-aduk isi laci, mencari kartu nama Khalid yang kulempar sembarangan di situ. Setelah menemukannya, aku memasukkan nomornya, kemudian mengirimkan pesan WA.

Aku nggak tahu apa yang bisa kita obrolin dalam situasi seperti sekarang, tapi kalau kamu mau ketemu, kita bisa ketemu di restoran saat kamu sarapan besok.

Aku menggigit kuku setelah pesan itu terkirim. Aku harap Khalid berubah pikiran dan tidak ingin bertemu denganku lagi. Kalau itu yang terjadi, dia tidak mungkin akan menanyakan tentang diriku pada Jazlan yang sering berkomunikasi dengannya.

Tapi harapanku terpenggal. Jawaban Khalid datang hanya dalam hitungan detik

Jam berapa?

Setengah tujuh.

Restoran belum terlalu ramai di waktu seperti itu. Tidak masalah kalau aku harus datang lebih pagi demi kenyamananku seumur hidup.

Oke, setengah tujuh. Makasih ya, Sha.

Aku sengaja tidak membuka pesan itu supaya centangnya tidak berwarna biru.

**

Khalid sudah ada di restoran saat aku masuk ke tempat itu. Di depannya ada secangkir kopi yang sudah tidak mengepul lagi, menandakan kalau dia sudah berada di situ cukup lama.

Upside DownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang