Enam Belas

6K 1.3K 65
                                    

MBAK Azkia termasuk kerabat dekat, dan karena dia menjalankan usaha yang dipercayakan Nenek kepadanya, dulu, dia sesekali datang ke Jakarta untuk bertemu Nenek. Jadi selain ketika acara akad dan resepsi pernikahanku, dia juga beberapa kali pernah bertemu Khalid di rumah Nenek. Walaupun tidak bisa dibilang akrab, mereka saling mengenal.

"Khalid bilang apa sama Mbak Kia?" tanyaku setelah menemukan suara. Pecahan piring di kakiku tidak sepenting rasa penasaran tentang apa yang Mbak Azkia dan Khalid bicarakan.

Mbak Azkia menggeleng. "Aku dan Mas Khalid belum bicara, Mbak. Tadi aku langsung ke sini waktu lihat dia. Aku juga udah nitip pesan sama Jemi untuk bilang sama anak-anak supaya nggak jawab apa pun kalau ada pengunjung yang tanya-tanya tentang Eyang dan Mbak Misha."

Aku menarik napas lega. Aku tidak pernah membahas tentang Khalid secara mendalam dengan Mbak Azkia, tapi karena dia nyaris selalu ada dalam masa-masa penting saat aku hamil, melahirkan, dan mengasuh Ara, dia ikut mendengar percakapanku dengan Nenek. Mbak Azkia tahu kalau Khalid tidak tahu aku hamil ketika kami berpisah. Mbak Azkia juga paham kalau aku ingin menjaga Ara dari radar Khalid.

"Ada apa?" Nenek muncul di ruang makan. "Apa yang pecah?"

"Khalid ada di restoran!" seruku panik.

Aku masih mematung di tempatku berdiri, tidak bergerak meskipun Mbak Lastri yang baru muncul nyaris bersamaan dengan Nenek mulai membersihkan pecahan piring dan puding yang berantakan di dekat kakiku.

"Dari mana dia tahu alamat kita?" tanya Nenek.

Aku rasa dia kembali membuntutiku dari kantor. Aku tidak tahu kalau dia sudah kembali ke Surabaya sehingga tidak terlalu memperhatikan kendaraan yang berada di belakangku dan berpotensi membuntutiku. Khalid juga pasti sudah lebih cerdik sehingga tidak melakukannya secara terang-terangan seperti ketika aku memergokinya waktu itu.

"Oma ke restoran dan bicara sama dia." Aku tidak punya waktu untuk memberi penjelasan bagaimana cara Khalid menemukan alamat kami. "Aku akan jaga Ara supaya dia nggak keluar rumah. Atau Oma bisa ajak Khalid bicara di tempat lain. Jangan jawab pertanyaannya tentang aku. Oma hanya perlu dengerin dia bicara. Maafkan, kalau dia minta maaf. Setelah itu bilang supaya dia nggak perlu menemui Oma lagi karena aku nggak akan suka Oma berhubungan sama dia."

Nenek mengernyit mendengarkan instruksiku yang menggebu-gebu. Ada ketidaksetujuan dalam tatapannya, tapi dia tidak mengatakan apa pun. Alih-alih protes, Nenek lantas menganguk. Dia lalu beranjak dari dapur. Mbak Azkia mengekor seperti ajudan setia Nenek.

Aku bergegas ke kamar Ara. Aku tidak ingin dia mendadak keluar dan menyusul Nenek ke restoran saat menyadari Nenek tidak ada. Kalau hal itu sampai terjadi, usahaku menyembunyikannya dari Khalid akan sia-sia.

Aku menutup dan mengunci pintu kamar Ara setelah berada di dalam. Memang berlebihan karena restoran terpisah dengan bangunan rumah. Khalid tidak mungkin menerobos masuk sampai ke rumah, apalagi spesifik ke kamar Ara. Tapi mengunci pintu memberiku perasaan aman.

"Mom, kenapa kita nggak pernah liburan ke Bali sih?" Ara melepaskan boneka yang dipegangnya saat aku duduk di dekatnya. "Niki bilang dia sering ke Bali. Katanya di sana asyik banget. Bisa lihat burung yang banyak. Terus ada monyet-monyet nakal, tapi lucu."

Selain ke kebun buah dan sayur di Malang, aku dan Nenek memang belum pernah mengajak Ara ke luar kota. Perjalanan wisataku yang terakhir bersama Nenek adalah ketika kami ke Australia setelah memutuskan berpisah dengan Khalid. Sudah cukup lama.

Alasan kami tidak pernah bepergian lagi adalah karena merasa perjalanan keluar kota atau luar negeri akan melelahkan untuk Ara. Berlibur berarti menjelajah berbagai destinasi wisata di tempat yang kami kunjungi. Ara belum punya stamina kuat untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain dalam waktu singkat. Anak-anak gampang merasa bosan. Aku tidak ingin Ara terjebak dalam kegiatan yang menurutku menyenangkan, tetapi belum bisa dia nikmati. Melakukan perjalanan berhari-hari berbeda dengan pergi ke kebun buah, atau ke mal yang tidak butuh banyak waktu untuk dilakukan.

"Nanti deh kita ke Bali kalau Ara libur dan Mommy bisa ngambil cuti." Aku mengusap rambut Ara.

"Nanti ajakin Tante Ribka dan Om Jaz juga ya, Mom. Nanti aku lihat monyetnya sama Om Jaz aja. Kalau monyetnya beneran nakal, Om Jaz pasti bisa ngusir. Monyet pasti takut sama Om Jaz karena Om Jaz tinggi."

"Mommy juga bisa ngusir monyet kok." Aku pura-pura cemberut karena diremehkan.

Mata Ara yang besar melebar. Tampangnya serius. "Tapi kan masih lebih tinggi Om Jaz. Aku suka banget sama Om Jaz. Aku mau kok kalau Om Jaz jadi papaku. Kalau Om Jaz jadi papaku, berarti dia tinggal di sini, kan? Kalau gitu, aku bisa ketemu dia tiap hari."

Aku menarik napas panjang. Aku harus menghilangkan ide itu dari kepala Ara. Aku akan berada di situasi yang sangat canggung kalau Ara sampai mengatakan keinginannya itu di depan Jazlan. Bisa-bisa dia berpikir aku memodusinya melalui Ara.

"Om Jaz nggak bisa jadi papa Ara, Sayang."

"Kenapa nggak bisa?" Ara langsung sengit. "Om Jaz mau kok. Waktu di Timezone, Om Jaz bilang, kalau dia udah jadi papaku, dia akan ngajakin aku main dan makan es krim di mal tiap minggu."

Aku yakin Jazlan mengatakan itu hanya untuk menyenangkan hati Ara saja. Mungkin saja Ara yang lebih dulu mengusulkan supaya Jazlan sering mengajaknya bermain di mal. Ara memang masih kecil, tapi dia tahu bagaimana memersuasi orang lain dengan menggunakan kata-kata manis dan tatapan mata besarnya yang jernih. Jiwa pengacara Nenek jelas mengalir deras dalam darahnya.

Nenek adalah orang paling blak-blakan yang pernah kukenal. Dia baru menahan diri mengatakan apa yang dipikirkannya ketika pernikahanku bermasalah. Waktu itu, Nenek membiarkan aku mengambil keputusan sendiri, tanpa berkeras memengaruhi pendapatku. Mungkin karena dia tahu bahwa pada akhirnya, akulah yang akan menjalani kehidupan sesuai keputusan yang kuambil. Nenek tidak ingin merasa bersalah jika usulan kusetujui, dan implementasinya malah membuatku semakin terpuruk. Dia memberikan opini, tapi tak memaksa aku untuk menyetujuinya. Mungkin karena Nenek juga menyadari bahwa aku adalah cucu rasa anak bungsu kesayangannya, yang tidak bisa diperlakukan seperti ketika dia mencoba memaksa hakim menerima semua argumennya ketika membela kliennya di pengadilan.

"Om Jaz adalah bos dan teman Mommy." Aku berusaha menjelaskan kepada Ara bahwa Jazlan bukanlah orang yang bisa seenaknya kami libatkan dalam acara keluarga yang sifatnya pribadi. "Selamanya akan seperti itu, Sayang. Dia nggak akan bisa jadi papa Ara. Karena itu, kita nggak bisa minta Om Jaz untuk sering-sering ngajak kita jalan-jalan ke mal. Om Jaz boleh ikut kalau dia mau, tapi kita nggak boleh ngajak duluan."

Ara manyun. Dia bersedekap. "Om Jaz nggak bisa jadi papaku karena aku udah punya papa yang kerjanya di kutub itu ya? Aku nggak suka Papa yang itu, Mom. Dia nggak pernah pulang. Nggak pernah nelepon juga. Dia pasti nggak sayang aku. Teman-temanku sering dianterin papanya ke sekolah. Aku aja yang nggak pernah. Kalau Om Jaz jadi papaku, dia pasti mau nganterin aku ke sekolah tiap hari."

Aku langsung ciut saat mendengar kata-kata Ara. Ayahnya tidak sedang berada di kutub. Sekarang dia hanya berada beberapa puluh meter dari tempat kami ngobrol sekarang.

**

Yang pengin baca cepet, bisa ke Karyakarsa ya.

Upside DownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang