Tiga

21 5 0
                                    

Abel merangkul temannya. "Kita tidak pernah tahu takdir akan memihak kemana, Chel!"

Wajah Chelia masih terlihat sendu, mata bengkaknya tidak bisa menutupi kalau dia menangis hampir setiap malam menjelang dia tidur.

"Gua tahu itu, Bel. Tapi gua butuh waktu untuk melupakan dan mengikhlaskan apa yang telah terjadi." Sesekali gadis itu menghapus air matanya dengan tisu yang dibelikan Abel di kantin kampus.

Mereka berdua sengaja memilih taman kampus yang sedikit menyudut dan sepi, agar Chelia leluasa mengeluarkan isi hatinya. Karena sejak pembelajaran pertama dia sama sekali tidak semangat. Padahal ini adalah hari pertama kuliah setelah beberapa minggu libur.

Abel hanya menjadi pendengar yang baik, sesekali dia memberi nasehat untuk temannya itu. Melihat betapa sedihnya Chelia itu membuktikan perasaannya tidak main-main kepada pria tersebut.

"Jadi, lu mau ngapain sekarang? Mau masuk ke pelajaran berikutnya atau kita jalan jalan ke mana gitu?" tanya Abel memberi penawaran.

Menurut Abel percuma saja Chelia masuk ke pelajaran berikutnya dengan situasi hati yang tidak karuan begini. Bahkan tadi saja gadis itu hanya meletakan kepala malas di atas meja. Tidak sekali saja dia menghapus air matanya saat pelajaran sedang berlangsung.

"Ayuuk lah kita nonton ke bioskop, atau lu mau duduk manja di pantai? Gua jadi bingung harus berkata dan melakukan apa kepada lu sekarang."

Abel mencebikan bibirnya ikut prihatin kepada temannya itu. Chelia menghela napas dan menepuk pelan dada kirinya.

"Bayangan kemarin itu masih melekat di kepala gua, Bel. Karena itu lah gua merasa sesak sekali, sangat sesak."

Abel berdiri dari tempat duduknya dan berpindah di dekat Chelia. Gadis itu merangkul Chelia dan menepuk punggungnya pelan.

"Lu nangis sampai sesegukan gini, Chel. Nanti dada lu bisa nyeri jika begini terus."

Lalu, Chelia terdengar menangis lagi. "Gua patah hati, Bel. Gua nggak tahu harus melakukan apa setelah ini. Selama ini gua terlalu banyak berharap bertemu lagi dengannya kembali. Tidak pernah berhenti berdoa untuk bertemu dengannya. Tapi, bukan pertemuan seperti ini yang gua harapkan."

"Lu mau gua peluk?"

Abel memeluk erat tubuh rapuh temannya, pelukan itu membuat tangisan Chelia semakin tidak tertahankan.

"Gua mesti bagaimana, Bel?  Rasanya nyeri sekali."

Abel hanya membiarkan Chelia menangis di dalam pelukannya sampai gadis itu tenang lagi.

***
"Ini," Abel menyerahkan satu plastik tisu kepada Chelia.

"Makasih, Bel."

Mereka sedang berada di toilet, Chelia mencuci wajah dan membersihkan make up nya yang sudah acak-acakan.

"So, kita tetap masuk kelas atau bolos?"

"Hari pertama masa harus bolos, masih ada waktu sepuluh menit lagi kan?"

Abel mengangguk.

"Hati lu sudah tenang?"

"Hmm... " Chelia mengangguk pelan.

"Coba tarik napas dulu lalu hembuskan biar agak plong dikit."

Chelia mengikuti intruksi dari Abel, walau sudah tidak ada air mata lagi. Sisa sisa kesedihan itu masih nampak, saat menarik napas Chelia sesegukan.

"Sudah?" tanya Abel lagi.

Chelia mengangguk lagi.

"Oke, kita masuk kelas."

Janji Cinta di SMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang