Lima

12 3 0
                                    

Tidak lama setelah Chelia keluar dari ruangannya. Varo mencoba mengejar gadis itu dan mengikutinya dari jarak yang lumayan jauh.

Langkah kaki gadis itu begitu cepat, Varo tersenyum membayangkan kemarahannya. Terlihat Abel memang sedang menunggunya di parkiran kampus. Varo tetap melangkah menuju ke arah mereka, karena mobilnya juga tidak berada jauh dari sana.

"Apa yang terjadi," tanya Abel yang di dengar oleh Varo di balik tubuh Chelia.

Chelia langsung masuk ke dalam mobil tanpa menjawab pertanyaan Abel. Abel juga tidak marah dengan sikap temannya itu. Ketika Abel hendak masuk ke dalam mobil, gadis itu memberi hormat kepada Varo yang terlihat berdiri memperhatikan mereka dari jarak lumayan jauh, tapi Abel tahu dosennya itu sedang memperhatikan mereka.

"Mari, Pak!" seru Abel sedikit keras mengingat jarak mereka.

Varo hanya mengangguk dan tersenyum membalas sapaan Abel. Abel melirik bingung dengan sikap keduanya, lalu gadis itu itu hanya mengedikkan  bahu berusaha tidak peduli.

Varo memperhatikan mobil Abel sampai menjauh dan menghilang. Pria itu duduk dibalik kemudinya sambil memegangi bibir dan mengingat kembali peristiwa tangan Chelia yang harus diberi jahitan sewaktu masa SMA.

Flashback

Waktu menunjukan pukul setengah dua siang. Parkiran sekolah dipenuhi oleh siswa dan siswi yang bersiap untuk pulang. Beberapa ada yang membawa mobil dan motor, sebagian ada yang menggunakan angkot dan ada juga yang menunggu jemputan.

Selain untuk parkiran, halaman depan sekolah juga digunakan untuk upacara bendera, kegiatan pramuka bahkan untuk sekedar bermain basket. Halaman sekolah itu cukup panjang dan lebar, sedangkan dibagian belakang sekolah ada perbukitan.

Chelia juga sedang menunggu jemputan papanya. Umurnya yang masih lima belas tahun, belum diberi izin oleh kedua orangtua mereka untuk menggunakan motor atau pun mobil. Sedangkan Abimana sekolah ditempat yang berbeda.

Biasanya papa Chelia tidak pernah telat menjemputnya. Tapi sudah lima belas menit menunggu masih belum melihat mobil papanya. Selagi menunggu jemputan Chelia melihat beberapa kakak senior sedang bermain basket.

Ponsel gadis itu berdering yang ternyata dari papa Chelia.

"Rochelia, maaf nak hari ini papa tidak menjemput mu di sekolah. Papa ada rapat mendadak, maafkan papa baru memberitahukannya kepadamu. Karena papa pikir masih terkejar untuk ke sekolahmu." Terdengar nada penyesalan dari suara papa Chelia.

"Tidak apa apa, Pa. Chelia bisa naik ojek online, tapi Chelia minta izin untuk pergi ke toko buku dulu boleh?"

Papa Chelia memberi izin kepada putrinya dengan catatan harus pulang sebelum maghrib. Setelah menutup ponselnya, gadis itu belum berencana memesan transportasi online. Dia masih asyik menonton permainan basket yang sedikit mulai rusuh. Chelia hanya tertawa karena dia pikir mereka hanya bercanda.

Sampai akhirnya bola basket itu ditendang keras sampai membentur kaca jendela post satpam. Gadis itu terkejut dan mengelak dari lemparan bola basket tersebut. Karena tendangan cukup keras dan membuat kaca jendela berwarna hitam dan cukup besar pecah dan serpihannya berserak. Bahkan gadis itu merintih karena pecahan kaca yang cukup runcing mengenai tangan Chelia yang hendak melindungi kepalanya. Dia yang sedang duduk di dekat jendela.

Darah segar mengalir cepat dari tangan bagian dalam Chelia. Rasa perih terasa olehnya, para siswa dan satpam yang tadinya juga menyaksikan permainan ikut melihat keadaan Chelia.

Chelia memegangi tangannya yang dipenuhi oleh darah.

"Bawa ke UKS," teriak seseorang yang Chelia sendiri tidak tahu siapa.

"Lukanya terlalu dalam, ini harus dibawa ke rumah sakit sesegera mungkin."

Ada yang berdebat, adapula yang saling menyalahkan yang didengar oleh gadis itu. Sampai pada akhirnya, Varo yang baru saja keluar dari parkiran motor ikut melihat apa yang terjadi. Saat banyak tetesan darah yang jatuh ke lantai. Varo menghentikan motor dan membuka tasnya mengambil baju kaos yang selalu dibawanya.

Pria itu membalut tangan Chelia dengan baju kaosnya.

"Aku akan membawa mu ke rumah sakit, kamu tidak apa apa kan hanya dengan motor. Dengan motor lebih cepat sampai di rumah sakit."

Chelia bagai kerbau yang di cucuk hidungnya karena menuruti apapun arahan dari Varo. Pertama karena dia juga khawatir kalau luka itu parah. Alasan lainnya adalah karena Varo lah yang menolongnya.

"Iya kak,"ucap Chelia mengangguk dan mengikuti langkah Varo.

Varo memapah Chelia menuju motor dan langsung membawa gadis itu ke rumah sakit terdekat. Dengan malu-malu Chelia setengah memeluk pinggang Varo.

" Kak, bajunya basah karena darah apa tidak apa-apa?"tanya Chelia ketika mereka sudah di IGD

"Jadi kamu lebih memilih lukamu tidak dibalut dengan darah menetes sepanjang jalan. Orang akan mengira aku melakukan kekerasan kepadamu," ucap Varo setengah bercanda.

Chelia menggeleng malu. "Bukan itu maksud ku, kak. Baju kaos punya kak Varo jadi kotor."

Varo tertawa pelan."Kalau kotor kamu boleh mencucinya dan setelah bersih berikan kepadaku lagi."

Sekali lagi Chelia tersenyum kikuk sambil menunduk. Varo tetap berada di dekat Chelia ketika dokter membersihkan luka dan menjahit luka gadis itu. Luka Chelia cukup dalam itulah mengapa dokter menjahitnya.

"Terima kasih atas bantuannya kak," ucap Gadis itu saat Varo baru saja menyelesaikan administrasi.

Uang pribadi pria itu pula lah membayar biaya rumah sakit.

"Boleh aku minta kertas bill nya? "

"Buat apa? Kamu ingin menggantinya? " tanya Varo melirik Chelia.

Gadis itu menatap Varo."Iya,"jawabnya gugup

"Tidak usah, kamu tidak perlu membayarnya."

Mereka berjalan menuju parkiran motor.

"Apakah kamu lapar, Rochelia?

Mendengar Varo mengetahui namanya, Chelia semakin gugup. Walaupun mereka pernah sekolah di SMP yang sama, tapi mereka tidak pernah bertegur sapa. Hanya di SMA Chelia pertama kalinya berbicara dengan Varo. Karena lelaki itu bagian dari OSIS.

" Aku sangat lapar, maukah kamu menemaniku makan siang?"

Untuk membalas kebaikan Varo, Chelia menyetujui permintaannya.

Mereka memilih makan di tempat makanan cepat saji. Varo lah yang memesannya, sedangkan gadis itu diminta menunggu di meja.

Varo tertawa pelan saat mereka sedang menikmati makanan, sehingga membuat Chelia canggung. Karena gadis itu berpikir apakah cara makannya sedikit aneh. Gadis itu diam melihat kenapa Varo tertawa.

"Setelah ini kamu harus berhati hati lagi,"kata Varo memecahkan keheningan.

" Waktu semasa MOS dulu kamu juga terluka di kaki karena mengikuti game."

Ya Chelia mengingat kejadian itu, lututnya lecet dan yang membersihkan lukanya juga Varo.

"Maafkan aku kak karena kecerobohan ku,"kata Chelia pelan menyadari kecerobohannya.

" Kenapa kamu senang sekali meminta maaf, Rochelia. Apakah lebaran sudah semakin dekat?"tanya Varo menggoda.

Lalu Varo teringat tentang sesuatu.

"Dokter juga memberikan beberapa obat yang perlu kamu minum jika lukamu terasa nyeri. Jangan lupa minum obatnya."

Gadis itu mengangguk lagi, sifat malu malu dari Chelia itu lah yang membuat Varo tidak berhenti tersenyum.

Flashback off

Kembali ke masa sekarang.

Varo menyandarkan tubuhnya ke kursi, dia tersenyum malu malu mengingat pertemuan mereka. Dimana waktu itu cukup lama mereka berbicara, karena biasanya Chelia hanya menyapanya dengan senyuman.

"Bahkan baju kaos itu belum kamu kembalikan sampai sekarang. Saputangan milikku yang digunakan untuk menghapus luka di lutut kakimu juga masih belum di tanganku,"bisik Varo menatap layar ponselnya sampai tersenyum licik.

***

Janji Cinta di SMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang