1. Pertemuan

2.6K 100 7
                                    

Vol 1

Alamanda berjinjit seraya menjulurkan tangan ke atas berusaha meraih buku di rak yang jauh dari jangkauannya. Sangat sulit, bahkan hanya jari tengahnya yang berhasil menyentuh ujung bawah buku itu. Tak kehabisan akal, Alamanda menyundul buku tersebut dengan buku lain, supaya jatuh dan dapat dirinya tangkap.

Akan tetapi Alamanda lekas menundukan kepala kala buku yang dia inginkan nyaris jatuh mengenai wajahnya. Ketika Alamanda membuka mata, dirinya mengernyit menatap sepatu kulit hitam mengkilat milik seseorang yang berdiri di sampingnya. Alamanda lantas mendongak, menemukan seorang pria berseragam militer berdiri seraya menangkap buku yang hendak mengenai kepalanya.

Dahi Keenan berkerut mendapati gadis yang ditolongnya terpaku, menatapnya dengan mata memelotot. “Apa kamu baik-baik saja?” tanyanya memecahkan lamunan Alamanda.

Gadis itu langsung gelagapan, merebut buku di tangan Keenan.  “Ss–saya baik-baik saja.” Alamanda yang gugup–sebab tertangkap basah menatap pria itu dengan tak tahu malu–lantas pergi begitu saja menuju meja staf pustakawan.

Keenan beranjak dari sana, melanjutkan tujuannya datang ke perpustakaan nasional itu, tak terpikirkan  sedikitpun tindakan absurd Alamanda yang bahkan lupa mengucapkan terima kasih. Di sudut ruangan, sudah ada Laksamana Richard Thornton yang sedang menunggu Keenan, duduk menyesap kopi kapnya seraya membaca buku.

Keenan melakukan penghormatan formal, lalu duduk, setelah pria enam puluh tujuh tahun itu mempersilakan. “Kita akan berbicara sebagai ayah dan anak,” ucap Laksamana Richard seraya menatap Keenan serius. “Besok siang kita akan makan siang dengan calon istrimu dan kedua orang tuanya. Kita akan makan siang di restoran biasa. Jangan terlambat dan datanglah membawa bunga.”

Keenan menganggukan kepala, dia tak berniat membantah sang ayah. Baginya, menikah dengan wanita mana pun tidak masalah, sebab dirinya tidak dapat merasakan emosi, asalkan dia dapat menuntaskan kewajibannya sebagai anak yang berbakti seperti nasihat gurunya dahulu–patuh kepada orang merupakan salah satu bakti.

Keenan Thornton, seorang Komandan Pasukan Militer Angkatan Laut Inggris, berusia tiga puluh tahun. Dia memiliki masalah dengan emosi, karena kecelakaan kendaraan yang menimpanya sewaktu bayi, yang merusak lobus frontalnya dan membuatnya kesulitan memahami emosi.

Keesokan harinya, pertemuan perjodohan pun terjadi. Alamanda membeku di tempatnya berdiri saat melihat wajah pria yang enggan enyah dari kepalanya sejak kemarin. Pria itu berdiri di hadapannya dengan ekspresi yang tak terbaca. Walaupun Keenan tidak menunjukan mimik gembira, tetapi Alamanda tidak mengambil pusing, karena wajah pria itu tetap enak dipandang.

“Saya Keenan Thornton, panggil saja Keen,” ucap Keenan seraya mengulurkan sebelah tangannya.

Alamanda menerima perkenalan Keenan. “Alamanda Elodie, panggil saja Ala.”

Keenan menyodorkan bunga yang sedari tadi digenggamnya pada Alamanda.“Saya harap kamu menyukainya.” 

Alamanda dapat melihat guguran bunga sakura yang mengambang di udara kala menerima buket mawar merah muda bertahtakan lily of the valley pemberian Keenan. Dia tak menyangka pria dengan ekspresi dingin itu ternyata cukup romantis dan perhatian, membuat hati Alamanda merasa sejuk kala menatapnya.

Kedua orang tua Alamanda dan Keenan tersenyum senang memperoleh penerimaan keduanya. Mereka merasa bahagia melihat bagaimana kedua anak mereka siap memulai babak baru dalam kehidupan mereka bersama. Terutama Penelope Thornton–ibunya Keenan–yang terharu melihat sang anak menemukan rekan berbagi suka cita sebaik Alamanda.

Pembicaraan pernikahan pun berlanjut ketika keduanya tidak mendapati pertentangan dari kedua anak mereka. Keenan: anak satu-satunya keluarga Thornton, begitu juga dengan Alamanda, yang merupakan anak tunggal dari keluarga pengusaha Elodie.

The Cruel Crown PrinceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang