Deep Talk

49 21 0
                                    

Langit kelam sembunyikan bintangnya. Malam terasa amat panjang. Sedikitpun aku belum berhasil memejamkan mata. Ada rasa yang bergolak, dadaku merasa panas, hatiku masih perih. Benar saja, sungguh, ikhlas tak semudah itu.

Huh, gerah semakin menjadi. Ini sih bukan gerah karena masih kepikiran soal pertemuan dengan ayah. Tapi memang betul gerah karena cuaca. Mendung tetapi tidak hujan.

Huft, menyebalkan. Gerutuku dalam hati.

Sebuah suara sayup terdengar. Memastikan sekali lagi sumber suara itu berasal. Petikan gitar terdengar sendu sekaligus menyayat hati.

Hmm, tumben ibu memainkan gitarnya kembali.

Alunan melodi harmoni menuntun langkahku mendekat. Mengintip dari balik tirai, kulihat ibu memainkan melodi yang lama terpendam. Suara petikan gitar yang biasanya teronggok di pojok ruang menimbulkan gairah tersendiri bagi Ibu yang selama ini telah membisukan harmoninya sendiri.

Satu-satunya lelaki dalam hidupnya adalah ayahku yang ia kenal sejak usia delapan belas tahun. Ibu memberikan seluruh cinta dan kasih sayangnya untuk sebuah keluarga, suami dan anaknya. Sayangnya ayahku menginjak-injak ketulusannya tanpa bersisa.

Jemarinya berhenti mencipta nada, ia menunduk, air mata meleleh di pipinya. Ketika menyadari aku berada di sampingnya, ia langsung buru-buru menyekanya.

Aku tersenyum, membelai rambut ibu lembut. Aku mengambil tempat duduk di sisinya, bermaksud memberikan bahuku jika ibu mau. Ibu tertawa, mungkin malu Karena terpergok menangis olehku, bulir air matanya terpecik sampai ke pipiku. Mengusap dengan kedua tangan, aku berjanji sendiri di dalam hati.

Tak akan kubiarkan air mata penderitaan ini mengalir lagi ibu, aku bersumpah akan mencari jalan keluar agar kau tak perlu lagi membisukan harmonimu sendiri, lebih baik aku tak dilahirkan ke dunia ini daripada harus melihatmu merasakan ketidak adilan seperti ini.

Pikiranku mengembara pada surat untuk tahun 2001, akankah seseorang menjalankan misi yang kuminta, lalu kapan aku mendapatkan balasan surat-surat itu?

"Jangan berpikir macam-macam, Salli," ujarnya lembut. Kini ia yang membelai pipiku. Seakan ia tahu yang terlintas di kepalaku.

"Ibu ...." aku memegang tangannya.

"Hm ..?" ia menatapku seakan bertanya.

"Bila Ibu mau, kembalilah mengejar cita-citamu, tak perlu bekerja di toko bunga lagi, biar aku mengurus segalanya untuk keperluan kita." Aku menarik napas dan melanjutkan lagi kata-kata yang lama ingin kuungkapkan padanya.

"Ibu boleh seperti ayah, jatuh cinta kembali, jangan pernah merasa terbebani karena aku dan adik." Mata ibu merespon terkejut, namun tak lama ia meletakkan gitarnya pada sebuah meja dan menarik kepalaku lembut untuk tidur di pangkuannya. Aku menurutinya. Ibu mengelus helaian rambut di kepalaku dengan penuh kasih sayang.

"Jika sepasang suami istri melahirkan anak-anaknya ke dunia, mereka harus bertanggung jawab hingga akhir, dan bila salah satunya tidak memiliki kedewasaan untuk bersikap demikian, maka seorangnya lagi harus tetap tinggal bersama anak-anak mereka yang tidak bersalah itu, itulah yang harus dilakukan orang tua, aku tak mau anakku tidak memiliki 'rumah' untuk pulang. Saat mereka terbentur realita pada kejamnya dunia, aku akan menjadi 'rumah' bagi mereka."

Kalimat yang ibu ucapkan membuatku terharu, sungguh ayahku merugi meninggalkan wanita yang tulus seperti ini.

"Apa kau tidak merasa ini tidak adil, Bu?" celetukku tiba-tiba.

"Dunia memang tidak adil Salli, tapi Tuhan pasti adil." jawab ibu tenang.

Seandainya saja , aku memiliki separuh saja dari ketenangan hatinya.

Surat untuk Tahun 2001Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang