Pesona Moon

21 4 5
                                    

Kriing ....

Bel berbunyi, tepat ketika Hayakawa Sensei menyudahi pembicaraan mengenai seleksi penerimaan beasiswa ferris yang akan dilaksanakan bulan depan. Semua mahasiswa secepatnya berhamburan keluar kelas setelah memberikan anggukan hormat pada sensei yang sibuk membagikan formulir.

Ada sebuah taman di dalam kampusku yang bernama taman kodok. Sore itu, sinar matahari sore menyilaukan. Aku yang baru saja menyelesaikan kelas bunpou masih dengan dahi berkerut, alis berkedut, melihat pemandangan yang tak kupercaya hingga berkali-kali mengucek mata. Di taman kodok duduk dengan tenang bersilang kaki, sosok pria memakai hoodie hitam. Memanggil namaku, melambai santai ke arahku yang berdiri mematung.

Dia ... bos, aku menyebutnya 'pria bulan', senior memanggilnya 'Moon'. Dia berkilau seperti bintang, tentu menarik perhatian. Sekeras apapun usahanya menutupi pesona wajah menggunakan topi, percuma saja, pesonanya justru semakin jelas tertangkap mata teman-teman kampusku yang semakin ramai berbisik. Kedip mata mereka terlihat genit, apalagi bos langsung berdiri lantas datang menghampiriku. Mereka langsung saja berteriak riuh. Aku mendongak, berdiri berhadapan dengannya. Tergagap mengatur ritme jantung juga kaki yang panas dingin. Mengapa pria bulan ini ada di kampusku? Dengan tatap innocent menarik senyum yang sudah cukup membuat pertahanan hati berantakan.

Kuremas kertas formulir pendaftaran beasiswa ferris yang baru kuterima. Aku memang berniat mendaftar tetapi tidak yakin diterima. Merasa otakku tidak cukup hebat untuk berangkat ke Jepang. Tidak yakin lolos uji seleksi. Tetapi .....

Bos melihat kertas itu, mengambilnya, membaca lalu pada bibirnya membentuk huruf 'O'. mengambil topi di kepalanya, meletakkannya di atas kepalaku. Sembari mengucap "Ganbatte ne!" Ia menyemangati.

Hanya itu, ya cukup hanya itu, dia tidak menyadari sikap dan perlakuan sepelenya kepadaku membuat hati meleleh, bukan saja bagiku ... tetapi termasuk teman-teman yang nyengir kuda kasak-kusuk berisik tentang sosok pria bulan yang baru mereka lihat.

"Aku sengaja menjemputmu, Salli." ujar bos masih dengan tertawa santai.

"Mengagetkan, seharusnya aku tidak berpamitan padamu jika aku berangkat ke kampus ya," ucapku menyindir.

"Ya, anggap saja kau berhemat biaya kereta." cetusnya sambil mengedipkan mata padaku. Suara nyaring berseru riuh. Kemudian bos sibuk melambaikan tangan pada temanku yang masih berisik. Mereka mendorongku, menyela di antara aku dan bos yang bediri berhadapan.

"Siapa dia Salli? Kenapa kau tak kenalkan kami padanya?" tanya teman-temanku begitu penasaran. Pandangan mereka tak lepas dari wajah bos yang pastinya mereka kira berusia dua puluh tahunan. Padahal, hmm ....

"Hai. Aku Moon, ak-"

Belum selesai bos memperkenalkan dirinya, sudah kutarik tangannya tak sabar. Teman-temanku menggerutu, aku tetap tak peduli, kudorong tubuh bos menjauh pergi meninggalkan mereka.

"Kenapa Salli?"

"Rasanya gerah dan panas, sepertinya akan turun hujan." kataku menengadah ke atas langit.

"Temanku belum pernah melihat lelaki sepertimu, Bos!" ujarku lagi.

Bos meperhatikanku, tersenyum simpul.

"Memang aku lelaki seperti apa Salli?" tanya bos menggoda.

"Yeah, kau ...." aku terpaku menatapnya, menelan ludah dan langsung merasa grogi.

"Mmm, mereka akan menertawakanku setelah tahu kau adalah bosku," sahutku beralasan. Sungguh alasan yang dibuat-buat.

"Hmm, kalau begitu panggil saja aku Moon," pintanya kemudian, membuatku tercengang.

Surat untuk Tahun 2001Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang