1. Prolog

188 15 14
                                    

Tubuh seorang pemuda tergeletak begitu saja di sebuah gurun salju yang tebal. Sinar matahari tak nampak di sepanjang mata memandang, hanya hamparan dan beberapa gundukan putih salju dingin yang terasa menusuk hingga ke tulang.

Mata Singto terbuka kala dia tak mampu untuk menahan dinginnya suhu di sekitar. Terduduk, Singto sedikit bingung kala melihat hamparan luas salju dengan kondisi sekitar yang gelap tapi tidak gulita.

"Di mana aku?" Gumam Singto lirih, dia pun menggosok-gosokan tangannya agar suhu tubuhnya sedikit hangat.

"Bukankah aku sudah mati?" Gumam Singto lagi, dilihatnya tangan yang terbalut sebuah pakaian panjang.

"Apakah aku memiliki kehidupan kedua?" Singto kembali bergumam. Dia pun berdiri dengan bersusah payah. Pasalnya, selama dirinya sakit, dia terus saja terbaring di ranjang rumah sakit, jadi dia harus menyesuaikan kakinya untuk kembali berdiri.

"Huh." Helaan nafas Singto lakukan, helaan nafasnya terlihat jelas, layaknya seseorang yang tengah merokok. Tak membutuhkan waktu lama untuk Singto bisa berdiri dengan benar, dan akhirnya bisa menyesuaikan kakinya untuk berjalan.

"Entah siapa yang tidak tahu diri dengan membangkitkanku di tengah gurun salju seperti ini." Ujar Singto dengan kaki yang terus berjalan. Dirinya hanya berjalan lurus karena tak tahu arah dan tujuan. Entah malam, entah siang, Singto tak dapat membedakan, entah berapa jam atau berapa hari dia terus saja berjalan menyusuri gurun salju. Perutnya tak merasakan lapar sama sekali, karena dia hidup abadi. Badannya sedikit merasa lelah karena tidak pernah berhenti untuk menyusuri luasnya gurun putih.

Tak ada makhluk hidup yang dia temui selama perjalanannya. Dan rupanya, rasa lapar dapat dia rasakan. Tubuhnya yang semula berisi kini telah terlihat semakin kurus karena tak ada sesuap makananpun yang masuk ke dalam perutnya. Dia memegangi perutnya yang sudah tak kuat lagi untuk menahan lapar, ditambah dengan tenggorokan yang terasa kering karena tak ada setitik air pun yang dia minum.

Memakan salju tak dapat menghilangkan dahaganya. Yang dia inginkan hanyalah air hangat, beserta perapian, ditambah dengan semangkuk sup hangat. Tapi, itu hanyalah angan-angan belaka, karena setelahnya, dia tergeletak tak sadarkan diri. Dia mati, tapi kematian tak menghentikan langkahnya, karena beberapa hari kemudian, dia pun terbangun dengan kondisi semula, seperti dia awal terbangun di dunia ini.

Berbulan-bulan lamanya dia terus berjalan di tengah-tengah hamparan salju.

"Krist, Fiat, Abang sama ayah rindu sama kalian." Hanya itulah kalimat yang mampu Singto ucapkan untuk memecah keheningan dan untuk memastikan jika dirinya tidaklah bisu.

Tubuh berisi hanya tersisa tulang yang seakan sudah menyatu dengan kulit. Tergeletak bagaikan manusia tanpa nyawa. Setelah itu, Singto akan terbangun dengan kondisi sehat dan juga bugar. Entah berapa kali dia mengalami hal tersebut, Singto bahkan tidak tahu. Yang dia ketahui hanyalah dia memiliki kehidupan kedua dengan tubuh abadi dan tidak akan pernah mati.

"Bruk!" Tubuh Singto terhuyung kembali untuk yang ke sekian kali di atas dingin dan tebalnya salju yang seolah dapat membuat darah membeku.

"Hei lihat siapa itu?" Terdengar suara beberapa orang dari kejauhan. Tubuh Singto yang kian tak dapat menahan dinginnya salju, hanya bisa melihat beberapa orang yang mendekat ke arahnya, walaupun dengan pandangan yang remang-remang.

"Lihat, dia sepertinya sudah mati." Ujar seorang lelaki.

"Mati apanya, aku bahkan tidak bisa mati. Jika bisa, aku ingin mati saja, daripada harus merasakan dingin secara terus menerus dan tanpa Krist maupun Fiat di sampingku." Ujar Singto yang tentu saja dalam hati, karena dia tidak memiliki tenaga hanya untuk membuka mulutnya untuk berbicara.

To Your Eternity [Discontinued]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang