6. Pergi

53 8 0
                                    

Badai salju telah berhenti, Singto yang dengan kondisi tubuh tertutup oleh salju tebal pun terbangun. Matahari tampak menyinari siang hari itu, membuat suhu sedikit lebih hangat, dan membuat salju perlahan mencair.

Singto menatap sekitar, melihat penampakan yang begitu mengenaskan, rumah para warga tak ada lagi yang terlihat, hanya puing-puing yang rata dengan salju putih. Gunungan es besar menutupi tubuh naga yang tampak hangus. Singto bingung dengan apa yang terjadi, dia hanya ingat bagaimana naga membabibuta meluluhlantakkan desa dengan para warga yang tengah berpesta. Berusaha untuk mengingat apa yang terjadi setelah itu, sebuah perasaan hangat seolah mengalir di dalam tubuhnya. Bersamaan dengan ingatan bagaimana dia meluapkan amarah karena naga telah membunuh semua warga desa.

Mengangkat tangannya, lalu melihat kedua telapak tangannya, berusaha menerima apa yang telah dilakukannya. Mengarahkan tangannya pada es yang menutupi tubuh naga, lalu mengepalkan tangan itu, dan seketika es pun hancur, begitu pula dengan tubuh naga yang juga hancur.

"Apa ini?" Monolog Singto sembari kembali melihat kedua telapak tangannya. Dia pun mengarahkan tangannya ke arah salju tebal, lalu menggerakkan tangannya, dan kemudian salju itu bergerak seolah mengikuti apa kehendaknya. Puing-puing bangunan yang hanya menyisakan arang dapat Singto lihat kala tangannya dengan lihai menggerakkan salju di atas puing-puing tersebut.

"Darius." Ujar Singto, dia pun berdiri dan menyingkap semua salju, melihat betapa mengenaskan keadaan desa yang semula nya makmur kini telah hangus hanya karena seekor naga yang mengamuk.

Hampir seharian Singto membersihkan puing-puing dan juga mayat para warga yang ikut hangus. Kini dia tengah mengumpulkan mayat itu di tengah-tengah desa, di mana perapian besar semalam berada.

"Semoga kalian bereinkarnasi di tempat yang nyaman, dan tanpa gangguan. Terima kasih karena kalian telah menerima aku walaupun kalian tidak tahu siapa dan darimana aku berasal," Ujar Singto, "aku akan pergi berkelana." Lanjut Singto, setelah itu dia pun melangkahkan kakinya. Dia ingat jika Darius pernah mengatakan jika di seberang gunung ada sebuah hutan, yang mungkin terdapat kehidupan lain di sana. Oleh sebab itu, dia akan pergi untuk mencari kehidupan tersebut. Tak peduli akan bahaya yang mungkin menunggunya kelak.

***

Dhiraph bersama Orfias berjalan lebih dalam masuk ke hutan, hutan itu seakan penuh bahaya yang tengah mengintai. Pohon-pohon besar nan tinggi menjulang di sepanjang mata memandang. Tak ada kicau burung, semuanya sunyi, bahkan jika bisa dilebih-lebihkan, hanya terdengar suara detak jantung dan langkah mereka berdua saja. Decitan yang berasal dari zirah besi yang dipakai oleh Dhiraph semakin lama seolah menjadi sebuah pengiring akan perjalanan mereka.

Semakin dalam mereka memasuki hutan, keadaan terasa semakin berbahaya. Beberapa hewan buas sempat menyerang, tapi dapat Orfias kalahkan, sementara Dhiraph masih beradaptasi dengan pedang yang dia pegang. Ringan memang, tapi Dhiraph sedikit enggan untuk menebas para hewan yang hendak menyerangnya. Jika bukan Orfias yang mengatakan "jika kau tidak membunuh, maka kau yang akan dibunuh", maka Dhiraph tetaplah enggan untuk membunuh hewan-hewan itu. Bukan karena itu saja, dia juga memikirkan jika dia harus bertemu dengan sang kekasih yang mungkin ada di dunia ini.

Malamnya mereka akan kembali membangun tenda, dan pelatihan ini bukan hanya untuk Orfias saja, memang itu tujuan awalnya, hanya sedikit berbeda, sekarang Orfias seperti mengajari seorang anak yang baru saja belajar sihir. Dirinya merasa sudah kejam dengan akan memberitahukan tentang kebenaran Dhiraph, jadi kemungkinan besar, dan tak dapat dihindari oleh Dhiraph nanti, Dhiraph akan diusir dari Kerajaan. Oleh karena itu Orfias mengajarkan beberapa sihir dasar, agar Dhiraph dapat bertahan nanti.

Sedangkan di tempat lain, tampak Singto tengah melawan seekor beruang putih yang memiliki badan 5 kali lebih besar darinya. Sedikit kesusahan, walaupun naga yang memiliki kekuatan lebih besar daripada beruang tersebut, tapi beruang tak mudah dikalahkan oleh salju, karena beruang sudah hidup di daerah bersalju semenjak mereka dilahirkan.

Beberapa sayatan Singto dapatkan karena cakaran beruang, beruang tersebut hendak melahap Singto, tapi Singto dengan mudah menghindar dari terkaman beruang, ditambah dirinya yang bisa mengendalikan salju, membuat kemampuan itu adalah sebuah tameng untuknya karena salju yang begitu menumpuk dan membentang di sepanjang mata memandang.

Singto terus saja memutar otak untuk mengalahkan beruang itu, sembari terus berlindung menggunakan salju yang dibuatnya seperti tembok. Dia bingung, salju di daerah itu tak dapat mengeras seperti saat dirinya membunuh naga.

Dan saat Singto tengah berpikir keras tentang hal itu, beruang pun dengan cepat menyerang Singto yang tampak tengah lengah. Itu tentu saja membuat Singto terluka parah, perutnya yang terluka akibat sayatan dari kuku beruang, membuat organ di dalam perutnya itu keluar. Darah segar mengalir begitu deras dari perutnya, dan itu membuat Singto tumbang, dia tak dapat melawan karena badannya tak berdaya, walaupun tak merasa sakit sama sekali, tapi itu membuat Singto tak dapat bergerak.

Tubuh Singto menjadi sebuah santapan yang lezat bagi beruang di malam hari itu. Daging Singto dimakan, hanya tersisa tulang belulang beserta darah yang membuat salju berwarna merah. Setelah memakan Singto, beruang pun pergi.

Di pagi hari, daging kembali tumbuh, tulang yang patah kembali bersatu, tengkorak yang rusak berkeping-keping pun menyatu. Daging semakin menggumpal, urat-urat kembali terbentuk, darah kembali mengalir, kulit beserta rambut tersusun sempurna, Singto kembali berdiri.

"Aa!" Singto bersuara, sembari menggerakkan rahangnya dengan tangan.

"Aku baik-baik saja." Gumam Singto, dia pun mengenakan pakaian yang telah rusak tak berbentuk, dengan darahnya yang seolah menjadi pewarna di baju tersebut. Singto pun kembali berjalan menyusuri gurun salju, perjalanannya masih sedikit jauh untuk dirinya dapat menapakkan kaki di seberang gunung besar yang tertutup oleh salju di depannya.

***

"Fokuskan pikiranmu, rasakan hangatnya energi sihir yang mengalir di tubuhmu." Ujar Orfias memberikan intruksi kepada Dhiraph yang tengah dilatihnya untuk menggunakan sihir.

"Tarik nafas!" Titah Orfias, "rasakan betapa hangatnya energi sihir itu, lalu hembuskan nafas." Lanjut Orfias, Dhiraph menuruti apa kata Orfias, dan dia melakukannya berulang kali hingga akhirnya dia merasakan apa yang disebut dengan energi sihir. Itu seolah mengalir bercampur dengan darah, dan menyatu dengan daging.

"Aku dapat merasakannya." Ujar Dhiraph.

"Seberapa besar kau dapat merasakan itu?" Tanya Orfias.

"Itu terasa seperti mengalir dengan darah, menyatu dengan daging, dan terasa seperti bersamaan dengan detak nadi serta jantung." Jawab Dhiraph.

"Baguslah jika kau sudah bisa merasakan itu, sekarang angkat telapak tanganmu di depan badan." Ujar Orfias sembari memberikan contoh dengan mengangkat tangan kanannya dan merentangkan tangannya itu di depan badannya.

"Bayangkan energi sihir itu berkumpul di telapak tanganmu." Orfias kembali memberikan instruksi, Dhiraph pun menurut, dia membayangkan energi sihir yang mengalir itu berkumpul di tangannya.

"Energi sihir berwarna transparan, dan tak dapat dilihat oleh mata, kau tinggal merapalkan mantra untuk membuat energi sihir itu menjadi sebuah elemen. Wahai api yang dapat membakar semuanya, berkumpullah di tanganku dan hancurkanlah semua musuhku." Orfias merapalkan mantra, dan api yang berbentuk sebuah bola berwarna kuning yang bercampur dengan warna oranye dan merah berada di atas telapak tangan Orfias. Dhiraph takjub dengan apa yang dilihatnya. Dia ikut merapalkan mantra yang baru saja dirapalkan oleh Orfias.

Sebuah bola api membara di atas telapak tangan Dhiraph, membuat Dhiraph merasa senang karena berhasil di percobaan pertamanya.

"Sekarang lemparkan bola api itu." Ujar Orfias dengan tangan yang bergerak untuk melemparkan bola api di tangannya, ke arah sebuah pohon. Dhiraph kembali mengikuti apa yang Orfias lakukan, bola api melesat begitu cepat ke arah sebuah pohon besar, dan meledak, membuat pohon itu tumbang seketika.

"Selamat, kau telah berhasil melakukan dasar dari sihir api." Ujar Orfias sembari menepuk bahu Dhiraph.

"Ya, terima kasih Orfias." Ujar Dhiraph yang merasa senang.

"Sepertinya perjalananku masih panjang." Gumam Dhiraph di dalam hati, sembari mengepalkan tangannya, seolah memberikan semangat pada dirinya sendiri.

TBC

To Your Eternity [Discontinued]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang