3. Dhiraph

67 7 0
                                    

Dhiraph, dia kini tengah berada di hutan belakang Istana, membawa sebilah pedang bermata dua, dengan zirah yang hampir menutup seluruh badannya. Dia tidak siap, bagaimana pun juga, ini adalah pertama kalinya dia memegang sebilah pedang dengan zirah lengkap seperti itu. Bagaimana dia bisa membunuh para hewan buas, sedangkan mengayunkan pedang saja dia tidak bisa.

"Tampaknya para hewan itu belum menampakkan dirinya." Ujar Orfias sembari menyenderkan tubuhnya pada sebuah pohon besar untuk mengistirahatkan tubuhnya yang sudah berjalan cukup jauh dari Istana.

"Iya Kak, sebaiknya kita beristirahat dulu saja." Jawab Dhiraph setuju. Karena dia juga merasakan lelah pada tubuhnya. Walaupun tidak terlalu juga, karena rupanya zirah yang dia kenakan sama sekali tidak terasa berat ataupun membebani tubuhnya, rasanya seperti memakai baju biasa saja. Hal lain yang membuatnya ingin beristirahat adalah, dia gugup kala harus menghunuskan pedangnya. Karena, dia memang tidak tahu cara menggunakan pedang.

"Kak Nathan kemana? Kenapa dia tidak ikut bersama kita?" Tanya Dhiraph karena merasa aneh. Pasalnya, kakak keduanya itu tak ikut berlatih bersama mereka.

"Dia sedang diberi tugas oleh Raja. Jadi, dia tidak ikut bersama kita, kau tidak tahu karena sehabis makan, kau langsung pergi ke kamar," jawab Orfias, Dhiraph hanya menganggukkan kepalanya, "sebaiknya kita lanjutkan perjalanan." Lanjut Orfias sembari melangkahkan kakinya untuk menapaki tanah di dalam hutan ini.

***

Singto keluar dari dalam rumah tempat dia beristirahat. Tampak beberapa orang yang tengah duduk sembari berbincang. Udara di tempatnya kini tak sedingin udara di tempat dimana dia terbangun di dunia ini sebelumnya. Karena di sini masih terkena sinar matahari, tidak seperti sebelumnya. Jadi, dingin salju pun seakan terbiaskan oleh sinar matahari di siang hari itu.

"Weh, Singto sudah bangun." Ujar Darius yang tampak sedang bahagia bersama beberapa warga di sana. Desa ini adalah desa yang sangat kecil dan juga terpencil. Seperti yang Darius katakan sebelumnya jika hanya terdapat satu desa saja di sini. Apalagi hanya terdapat beberapa rumah yang letaknya tak beraturan.

"Sini duduk." Ujar Darius sembari menggeser tubuhnya, seolah memberi ruang pada Singto. Salju tebal mengelilingi desa tersebut, mengharuskan setiap warga memakai pakaian kulit yang tebal juga agar mereka tidak membeku saat berada di luar ruangan seperti ini.

"Apa kau tidak kedinginan?" Tanya Darius yang melihat Singto hanya memakai sebuah baju panjang yang terbuat dari kain saja. Semua orang di sini mengenakan baju kain panjang beserta jaket kulit yang tebal. Jadi, Darius sedikit merasa kagum kala melihat Singto yang terlihat tak merasakan dingin sama sekali.

"Tidak, justru udara di sini sedikit hangat karena terkena sinar matahari," jawab Singto, "ngomong-ngomong, ada acara apa ini?" Lanjut Singto bertanya.

"Nanti malam kita akan mengadakan festival." Jawab Darius.

"Festival apa?" Tanya Singto ingin tahu.

"Kemarin saat orang-orang desa berburu, mereka menemukan seekor naga, dan berhasil mengalahkan naga tersebut. Jadi, untuk perayaan, kami akan mengadakan festival kecil sebagai rasa syukur karena setidaknya satu ancaman besar bagi desa ini telah hilang." Jawab Darius.

"Naga? Aku tidak salah dengar, kan?" Tanya Singto dalam batinnya. Bukankah naga itu hanya sebuah makhluk mitos, dan keberadaannya diragukan?

"Di mana sekarang naga itu?" Tanya Singto yang tidak percaya jika naga itu memang benar adanya.

"Ayo ikuti aku." Ujar Darius, dia pun berdiri, dan berjalan diikuti oleh Singto di belakangnya. Dan betapa terkejutnya Singto kala melihat seekor naga yang sudah tak bernyawa tergeletak di atas salju putih yang sedikit berwarna merah karena darah dari naga tersebut. Dia tidak ingin mempercayai sesuatu yang ada di depannya itu. Tapi dia telah melihat dengan jelas makhluk yang memiliki nafas api itu. Apa yang harus tidak dia percayai.

To Your Eternity [Discontinued]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang