8. Abang

62 7 2
                                    

"Abang? Siapa itu Abang? Ini aku Orfias." Ujar Orfias kala mendengar Dhiraph menyebut dirinya dengan Abang. Sedangkan Dhiraph langsung tersadar, lamunan dirinya menjadikan Orfias terlihat seperti kekasihnya, hingga dirinya memanggil Orfias dengan panggilan Abang.

"Maaf." Ujar Dhiraph.

"Tak apa, kau pasti sangat merindukan kekasihmu itu hingga kau terbangun di tengah malam seperti ini." Ujar Orfias, dia ingat jika sebelumnya Dhiraph memanggil nama yang sama juga. Orfias pun duduk di samping Dhiraph, bermaksud untuk menemani Dhiraph, dia terbangun saat ada pergerakan dari Dhiraph, dan sekarang tak ada kantuk yang dia rasakan lagi.

"Kau memanggilnya dengan Abang, apa dia seorang lelaki?" Tanya Orfias penasaran.

"Ia, dia seorang lelaki."

"Dimana dia sekarang?"

"Sudah 6 bulan sejak dia meninggal karena penyakit." Jawab Dhiraph dengan sedikit menunduk, dia tak tahan. Dia selalu merasakan kesedihan yang teramat dalam kala melihat betapa kekasihnya dulu sangat tersiksa karena penyakit yang dideritanya, hingga akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya di hadapannya.

"Aku selalu terpikir tentang dia, dia yang telah dulu meninggalkanku, aku berpikir jika aku ada di dunia ini, dia juga pasti ada di dunia ini. Dan kau pasti tahu jika aku mengatakan itu bukan tanpa alasan."

"Ia aku paham akan semua itu, kau berpikir seperti itu, maka mungkin itulah yang terjadi. Dan juga besar kemungkinan jika itulah yang sebenarnya terjadi." Ujar Orfias dia jadi semakin yakin tentang keputusannya yang akan memberitahukan Raja dan Ratu tentang kebenaran Dhiraph. Dhiraph tak akan bisa mencari kekasihnya jika dia masih dalam ruang lingkup Kerajaan. Apalagi Kerajaannya masih terlalu awam untuk menerima hubungan seperti Dhiraph dengan kekasihnya.

"Sebaiknya kau istirahat sekarang, ini sudah terlalu malam, bisa saja di seberang gunung sana terjadi badai salju dan membuat udara di sini menjadi semakin dingin." Ujar Orfias lagi sembari berdiri dan berjalan ke arah tenda. Setelah itu pun dia memasuki tenda dan merebahkan dirinya, lalu menutup tubuhnya dengan selimut tebal.

Tak ada jawaban dari Dhiraph, karena dia hanya menatap puncak gunung yang tertutup oleh salju. Dia masih menganggap jika dia memang tidak salah mendengar seseorang berteriak, walaupun dia tidak tahu darimana asalnya.

"Bang, semoga kita cepat dipertemukan." Monolog Dhiraph, setelah itu pun dia masuk ke dalam tenda, sementara api masih menyala.

***

Pagi menyingsing, dan walaupun pagi, suhu di sekitar tetap terasa sama bagi Singto yang masih setia berada di puncak gunung salju. Lapar, memang dia merasakan lapar, karena bagaimana pun dia masih hidup yang masih membutuhkan asupan, walaupun tidak bisa merasakan sakit.

Singto pun berdiri, dan mulai berjalan untuk menuruni gunung. Dan karena rasa lapar yang dia rasakan, tubuhnya lemas, hingga dia salah menginjakkan kaki yang membuatnya terperosok. Tubuhnya meluncur dengan berguling-guling di gunung yang terjal. Beberapa batu mengenai bagian tubuhnya, hingga terdapat beberapa luka di tubuhnya. Semakin bawah, bebatuan semakin banyak, membuat tubuh Singto tak lagi berbentuk, semua bagian tubuhnya terpisah. Kepala Singto pun hancur karena benturan keras yang dia dapatkan saat tubuhnya berguling-guling. Lengan yang terlepas dari tubuhnya, beserta tulang kaki yang remuk.

Mengenaskan, itulah kedaan tubuh Singto saat ini. Tulang-tulangnya hancur sehancur-hancurnya, memar di sekujur tubuh, darah mengalir deras dari setiap luka yang terbuka lebar. Bahkan, tulang rusuk Singto sampai menusuk daging dan kulit.

Tapi tentu saja itu bukanlah masalah untuk Singto, karena beberapa jam setelah itu, tubuh Singto dengan cepat tersusun kembali. Luka tertutup dengan sempurna, tulang yang remuk pun pulih seutuhnya, begitu pun kepalanya yang sudah tak memiliki bekas goresan sama sekali.

To Your Eternity [Discontinued]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang