7. Danau

47 6 2
                                    

Seminggu lamanya Singto berjalan menyusuri gurun salju, kini dia sudah berada di kaki gunung yang menjulang tinggi. Bukan tanpa alasan Singto pergi melalui gunung ini, pasalnya gunung tinggi ini memanjang layaknya sebuah tembok pelindung yang membentang luas. Entah seluas apa, Singto tak tahu, karena yang dia lihat hanyalah gunung tinggi yang memang seperti tembok pembatas, jadi hanya melalui gunung inilah dia bisa pergi melihat dunia yang lebih luas daripada gurun salju putih dan tidak ada pemandangan lain yang dapat dia lihat.

Menatap ke arah puncak gunung, Singto berpikir entah berapa lama dia akan mendaki hingga akhirnya sampai di puncak itu. Daripada bingung memikirkan hal tersebut, Singto lebih memilih untuk melanjutkan langkahnya.

***

Sebuah danau yang begitu indah karena pantulan cahaya matahari itu membuat danau tampak berkilauan. Setelah seminggu lamanya Dhiraph berada di hutan, akhirnya dia bisa menghirup udara segar. Rerumputan hijau mengelilingi danau dengan bunga yang bermacam-macam warna seolah menjadi penghias dan menjadikan danau itu tampak berkali lipat lebih indah. Dengan rakus Dhiraph menghirup udara segar di sekitar.

"Aku tidak menyangka jika di tengah hutan belantara seperti ini, ada sebuah danau yang sangat indah." Gumam Dhiraph, sedangkan Orfias tak mempedulikannya, dia hanya ingin segera merasakan betapa dinginnya air danau yang tampak jernih itu. Seminggu di tengah hutan yang penuh bahaya menjadikan badannya terasa sedikit tidak nyaman. Mandi dengan menggunakan air yang berasal dari energi sihir terasa berbeda dengan air yang tercipta dengan alami.

"Orfias tunggu aku." Ujar Dhiraph, dia pun membuka zirah yang dikenakannya, dan kemudian berlari ke arah danau mengikuti langkah Orfias.

Dinginnya air danau yang jernih langsung menyegarkan Dhiraph kala seluruh badan Dhiraph memasuki danau. Entah kapan dia terakhir kali mandi di tempat terbuka seperti ini, itu sudah lama sekali, itu saat dia masih kecil di dunianya dulu. Mandi di sungai, tertawa ria dengan anak sebayanya tak merasakan akan beban kehidupan.

Dhiraph melihat ke arah Orfias yang senyap tengah membasuh badannya. Rambut peraknya tampak indah kala tersinari oleh matahari di siang itu, badannya yang berisi dengan kulit putih menjadikan sebuah pemandangan yang menambah indahnya danau tersebut. Bukan, bukan dia tergoda dengan Orfias, hanya dia teringat akan kekasihnya dulu, dimana mereka sering mandi berdua di bak mandi, berbahagia sembari bergantian membasuh badan satu sama lain, kenakalan-kenakalan kecil yang menjadi hiburan, semua itu membuat Dhiraph merindukan kekasihnya.

"Abang di mana?" Dhiraph bermonolog, dia sangat berharap akan bertemu dengan kekasihnya, cepat atau lambat.

"Hei Dhiraph, lihatlah." Perkataan Orfias langsung membuyarkan lamunan Dhiraph akan masa lalu, Dhiraph melihat ke arah Orfias menunjuk.

Sebuah gunung yang berwarna putih karena tertutup oleh salju yang menjulang tinggi. Sangat tinggi hingga terlihat gumpalan-gumpalan kecil awan seakan menghiasi gunung tersebut. Dia sebelumnya tidak menyadari jika ada gunung itu, karena hanya terfokus dengan indahnya danau.

"Indah." Ujar Dhiraph takjub kala melihat gunung di depannya. Jika dia mempunyai ponsel, sudah dipastikan jika dia akan mengabadikan gunung tersebut. Lama melihat ke arah gunung, sebuah perasaan gelisah tiba-tiba muncul di hati Dhiraph. Bukan tanpa alasan, dia hanya merasa jika ada yang tengah memanggilnya di balik gunung tersebut. Di kepalanya seolah ada suara dimana seseorang beberapa kali menyebutkan namanya.

"Hei, kenapa kau melamun?" Orfias pun menepuk pundak Dhiraph yang sedari tadi tak mengalihkan pandangan dari gunung besar itu.

"Tidak ada." Jawab Dhiraph, dia pun menenggelamkan kepalanya, berharap bahwa itu hanyalah hayalan semata.

To Your Eternity [Discontinued]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang