Semua karyaku tersedia dalam bentuk ebook, pdf, playbook dan juga tersedia di karyakarsa. Mampir ya, jangan lupa dukungannya. Akun karyakarsa-ku AokiRei sama dengan nama akun wattpadku. Yang mau pdf bisa kontak di no 081917797353
Jangan lupa tinggalkan jejak yah. Happy reading.
❤❤❤❤
"Apa kau yakin dengan apa yang baru saja kau katakan pada Justin?" tanya seseorang begitu Justin meninggalkan kediaman Emily.
Emily berbalik ke arah pintu penghubung dimana sang pemilik suara berdiri dan menatapnya keheranan. Ia mengangkat bahu acuh lalu kembali duduk di sofa. "Aku tidak pernah seyakin ini," jawabnya tanpa pikir panjang.
Deborah mendekat lalu duduk di sofa. "Bukankah kau mencintai Justin?"
"Aku memang mencintainya tapi aku tidak yakin dengan apa yang dirasakannya kepadaku."
"Kenapa kau berkata seperti itu? Dari yang aku lihat selama ini Justin terlihat sangat mencintaimu."
"Aku tahu tapi aku merasa dia tidak benar-benar mencintaiku. Selain karena dia tidak kunjung mendapatkan restu dari Mamanya, Justin yang tidak pernah menyentuhku menjadi salah satu alasan aku meragukan perasaannya padaku."
Deborah tertawa. "Kau sangat aneh. Menurutku Justin tidak mau menyentuhmu justru karena dia mencintaimu, karena dia menghargaimu. Seharusnya kau bersyukur, Emily."
"Itu menurutmu tidak menurutku," Emily meraih gelas dan meminum tehnya. "Lagi pula aku juga sudah lelah dengan penolakan yang diberikan Mamanya. Entah apa yang membuat wanita tua itu terus saja menolakku disaat aku selalu berusaha bersikap baik padanya."
"Kenapa tidak kau tanyakan langsung padanya daripada kau terus menebak-nebak seperti ini?"
Emily diam. Apa yang Deborah katakan benar. Seharusnya ia bertanya sejak dulu pada Andrea apa yang membuat wanita itu tidak kunjung menyetujui hubungannya dengan Justin.
"Kau benar, tapi aku sudah tidak peduli lagi dengan semua itu, dan aku yakin kau tahu apa penyebabnya."
Deborah menggeleng. "Jika aku jadi dirimu, aku pasti akan lebih memilih bersama Justin. Justin pria yang baik dan juga tampan, selain itu Justin terlihat sungguh-sungguh mencintaimu."
"Itulah bedanya aku dan kau. Justin mungkin sempurna, dia pria yang tampan, baik dan yang pasti mencintaiku tapi hal itu justru membuatku bosan. Terlalu monoton. Aku menyukai tantangan dan tentunya kau tahu hal itu."
"Sedikit bermain-main itu wajar, tapi kau juga harus ingat untuk menjalin hubungan serius. Pria seperti Justin adalah kandidat paling tepat untuk menjamin masa depanmu. Anggap apa yang kita lakukan saat ini merupakan bagian dari menikmati hidup, dan menikah adalah tujuan yang jauh lebih serius. Aku mengatakan ini karena aku tidak ingin kau menyesal di kemudian hari."
"Terima kasih atas nasehatnya. Meskipun aku sedikit nakal saat ini aku yakin Justin tidak akan pernah meninggalkanku karena seperti yang tadi kau katakan, Justin sangat mencintaiku. Justin pasti akan selalu menerimaku kembali. Jadi jangan mengkhawatirkan apa pun. Aku yakin Justin akan tetap bersamaku."
Deborah menggeleng. Jika ia begitu dicintai seperti Emily, ia pasti akan berhenti bermain-main seperti yang Emily lakukan selama ini. Tapi memang terkadang pikiran manusia tidak bisa ditebak. Ada orang-orang yang diberikan kemudahan tapi mereka justru menyia-nyiakannya.
"Terserah kau saja Emily. Semoga apa yang kau harapkan menjadi kenyataan."
Emily tersenyum. Justin mencintainya dan ia yakin Justin tidak akan pernah meninggalkannya.