011 || JENGGALA

267 16 7
                                    

011ヾ

Signature.” ujar Gala sembari memberikan uang seratus ribu satu lembar ke arah Abah warung pinggir jalan. “Kembaliannya ambil aja. Terimakasih.” Gala langsung membalik ke arah motornya.

Awalnya Gala tidak berniat keluar malam. Tetapi keadaan mengharuskan laki-laki itu untuk menetralkan pikirannya dengan bermotor. Semilir angin membuat refleks tangan kiri laki-laki itu menyentuh tengkuknya. Meski di baluti jaket, tetap saja berhasil menembusnya. Mungkin karena bukan hanya kulitnya saja yang merasakan dingin. Tetapi organ tubuh lainnya juga. Hati contohnya?

Helaan napas keluar dari mulut laki-laki itu saat mengingat kembali kejadian tadi. Apa Sava akan memaafkannya setelah sikap keterlaluan Gala yang tidak terkontrol. Gala rasa Sava harusnya mengerti. Karena laki-laki itu lakukan semua ini juga kan untuk memberikannya perhatian.

Suara dari pemantik menjadi awalan terciptanya sembulan asap menenangkan. Gala mendongak menatap kebulan asap yang membuyar itu. Tiba-tiba sebelah sudut bibirnya tertarik. Ayolah. Ini awal dari semuanya. Bukannya laki-laki itu sudah sangat yakin kalau Sava harus menjadi miliknya. Lalu kenapa lagi harus memikirkan kebahagiaan Sava yang jelas-jelas beracun itu. Jangan sampai dirinya mundur begitu saja lalu menyerah memberikan Sava pada Rama.

Lagian, kok bisa Sava tertarik pada Rama yang jelas-jelas tidak ada spesialnya. Bukannya gadis itu lebih dulu mengenalnya di banding Rama. Mengapa tidak meliriknya saja.

“Anjir nyebat.”

Gala melihat siapa yang baru Saja menepuk punggungnya. Ternyata Tino. “Bener si kata orang. Cowok kalo udah pusing, pasti larinya ke sigaret.” sindir Tino sembari duduk di trotoar jalan.

Sory nih Gal. Gua rasa lo mending cari cewek lain deh, Yang kayak Sava nggak cuma dia. Masih banyak di luaran sana Gal. Mungkin Sava bukan jodoh lo. Lo mau ngerusak diri lo gini cuma gara-gara dia? Come on, Gal. Secantik apa si dia.”

Selesai dengan satu batang. Gala kembali menikmati satu batang sigaret lagi, “Sayangnya hati gue cuma satu. Dan ini sepenuhnya buat Sava. Sava yang ini. Bukan yang lain, bukan buat cewek lain yang kayak Sava. Tapi, Alsava. Alsava Beatarisa.”

“Gue ngerti Gal. Tapi mau sampai kapan perasaan lo nggak di anggap serius sama dia? Lo nggak capek? Ayolah, jangan sampe lo ngebadut buat cewek yang samsek nggak mau nerima lo.”

Gelengan dari kepala Gala membuat helaan napas keluar dari mulut Tino.

“Gal. Jujur gue dan Brayn bangga sama lo. Lo adalah temen terbaik  yang udah ngasih gue pelajaran. Dari awal gue kenal lo, dari banyaknya cewek di luaran sana yang ngincer lo, lo masih ngebahas cewek yang sama di depan kita. Sedalam itu cinta lo sama seseorang. Dan kalo gue jadi Sava, gue adalah cewek beruntung yang udah di cintai cowok tulus kayak lo. Gue harap, Sava cepet-cepet sadar dan nerima lo. Karena pastinya, kecewa terbesar cowok kayak lo, sangat berefek fatal buat hati lo sendiri.”

Yang semulanya Gala duduk di atas motor, laki-laki turun mendekati Tino. Gala ikut duduk di trotoar jalan, “Sayangnya lo nggak bisa bedain mana yang pelajaran, mana yang pengaruh. No, orang kayak gue, nggak pantes buat di banggain apalagi di jadikan pelajaran. Karena gue sendiri, belum bisa buktiin kalo orang yang selalu gue sebut masih sama dari dulu sampai sekarang itu belum mengakui gue secara langsung. Kalo gue jadi Sava, mungkin gue nggak akan sependapat sama kayak lo, tapi justru kayak Sava sekarang. Hati seseorang, bohong kalo mata dan mulutnya tidak sinkron. Dan itu membutuhkan waktu buat menyingkronkan nya.”

“Posisi gue di sini, adalah pengaruh buat kalian.” Gala menjeda ucapannya untuk mengisap sigaret yang masih tersemat di sela-sela jarinya. “Gue masih gagal buat jadi yang terbaik di mata satu orang.”

Tino terkesiap mendengar penuturan Gala yang tidak seperti biasanya. Laki-laki itu ikut menatap kosong ke depan sana, “Jahat ya Gal, tirai hitam menghalangi tirai putih. Yang baik, kehalang yang buruk.”

Kedua mata Gala mengerjap beberapa kali, “M-maksudnya?”

“Pura-pura ngerti bisa kan Gal. Gue nyoba bikin pribahasa buat keadaan lo saat ini. Dan gue di sini, gue cuma bisa dukung lo kayak Brayn. Mau lo tangkis sejauh mana pun, lo tetep sahabat kita yang udah ngasih pelajaran banyak gimana menjadi orang yang tulus dan sabar. Gue pastiin, ketaian si Rama akan segera ke bongkar.”

******

Sava menatap kesal ke arah tangan kanannya. Kenapa gadis itu harus menampar Gala sekeras tadi? Itu pasti menyakitkan.

Gadis itu menaikkan kedua kakinya yang terendam di air kolam. Wajahnya mendongak menatap balkon kamar Gala yang redup. Apa yang harus gadis itu katakan saat bertatap muka nanti? Rasanya meminta maaf saja tidak cukup untuknya. Lalu bagaimana untuk menebus kesalahannya?

“Kenapa Gala harus punya rasa sama aku? Apa yang salah? Aku memberinya harapan? Kayaknya nggak. Sikap kita juga biasa-biasa aja. Dari mana dia bisa suka? Karena ini, Kita juga semakin hari semakin renggang. Gala ... Kenapa si.” Sava mengusap wajahnya prustasi.

Dari ucapan Gala, laki-laki itu juga terlihat sangat tidak menyukai Rama. Padahal mereka pernah bertemu baru satu kali kan? Lalu dari mana Gala mengenal Rama? Sava tidak menyukai kalo Gala sudah menjelekkan Rama. Harus Sava akui, Rama memang laki-laki yang sudah mengisi hatinya. Rama baik di mata Sava. Rama lembut, sopan, tegas, ramah, bahkan pemaaf. Itu yang Sava lihat dari Rama. Sangat terbanding balik dengan perkataan Gala yang terlalu menjelekkan laki-laki itu. Apa Sava salah membela orang yang tidak bersalah?

Tidak ada lagi cara untuknya berbicara baik-baik pada Gala. Pasti laki-laki itu mengedepankan emosi. Apa Sava harus berhenti? Berhenti muncul di depan Gala. Tapi Sava rasa itu bukan pilihan dan solusi yang baik.

Sava menarik dalam-dalam napas lalu membuangnya dengan lega. Gadis itu beranjak menuju dapur. Sava rasa, Gala masih mau memaafkannya.

Sebagai permintaan maaf gadis itu, Sava akan membuatkan Gala kue coklat andalannya. Ah, pikiran gadis itu jadi flashback  pada saat Gala belum mempermasalahkan Rama. Gala menyebalkan, selalu mengganggunya, mencari masalah, bahkan berbicara manja agar di beri keringanan dalam pelajarannya. Tapi sekarang Gala berubah, semenjak laki-laki itu menyatakan perasaanya untuk Sava. Gadis itu bangga dan sangat berterimakasih atas keberanian dan ketulusan Gala atas perasaannya untuk Sava. Tapi bukankah itu tidak mungkin? Bagaimana Sava akan menjalankan hubungan di saat hatinya ada di orang lain? Harusnya Gala mengerti. Bukan jadi membenci.

Setelah kue nya jadi, Sava langsung menuliskan pesan maafnya di kertas kecil,

Dari semua masalah yang udah kita lewati, aku harap aku masih bisa mendapat maaf dari kamu Gal. Aku kangen kamu yang usil. Bukan yang emosian.

Sava tersenyum lalu membawa piring berisi kue coklat buatannya ke kamar gala. Setibanya di depan kamar Gala, Sava melihat pintu kamarnya terbuka. Gala tidak ada di dalam? Kemana laki-laki itu pergi? Melirik arloji di pergelangan tangannya sudah menunjukkan tengah malam, Sava segera masuk ke dalam kamar Gala lalu menyimpan kue nya di kasur laki-laki itu.

Sava merogoh kantong celana mencari handphonenya. Gadis itu mulai panik saat dua kali menelponnya, tidak ada jawaban dari Gala. Kemana sebenarnya laki-laki itu?

“Aku di sini Sava ....”

Sava langsung membalik. Gadis itu menghela napas lega saat melihat Gala berdiri tegap di depannya.

TBC

JENGGALA • [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang