Rindu ; Chapter Tiga

3 0 0
                                    

Hari hariku berangsur-angsur membaik. Karena Ayah sering dinas keluar kota, aku dan Kak Niel hanya di jaga oleh Bunda. Sebenarnya, Bunda adalah orang yang baik, tetapi, dia harus menjadi orang yang cuek kepada kamu berdua saat di depan Ayah. Aku tidak tahu, alasannya.

Ketika aku sedang melamun dikursiku, tiba tiba ada yang memanggilku. Lamunan ku seketika terpecahkan karena suara itu, aku menoleh dan mencari sumber dari suara tersebut. Rupanya, dia temanku.

"Ai, aku cariin kemana-mana, ternyata kamu di kelas." Aku tertawa. Oh iya, perkenalkan, namanya Rayen. Rayen adalah teman satu bangku sekaligus salah satu orang yang mengetahui perjalanan hidupku.

"Ada apa, Ray?" Rayen duduk disampingku. Kamu berbincang beberapa menit. Ternyata, dia mengajakku untuk keluar ke alun-alun. Sebenarnya aku tak ingin keluar rumah, tetapi, siapa yang ingin menolak lelaki tampan seperti Rayen?

Sebenarnya aku dan Rayen sudah sering sekali berkeliling alun-alun, hanya untuk sekedar mencari angin malam yang sejuk ataupun membeli mie ayam langganan kita berdua.

Akhirnya, kita memutuskan sepulang sekolah langsung pergi menuju alun-alun. Rayen menepuk pundakku, lalu berkata, "Ai, ayo." Aku mengangguk, dan berjalan menuju parkiran sekolah. Sesampainya diparkiran, Rayen mulai menyalakan motornya, aku segera naik ke sepeda motornya dan siap untuk menempuh perjalanan ke alun-alun.

Angin kencang mengelus halus rambutku dan Rayen. Membuat rambut berwarna hitam kecoklatanku terbang kemana-mana. Aku tidak berbohong, langit Malang siang hari ini sangat cantik. Lebih dari cantik.

Kita berdua sudah sampai di alun-alun. Rayen memarkir motornya di seberang alun-alun. Ketika aku ingin menyebrang, tidak sadar bahwa ada motor yang ingin melewati jalan yang hendak aku sebrangi. Dengan reflek Rayen menarik tanganku, dan membawaku kedekap peluknya.

Antara terkejut dan salah tingkah menjadi satu. Aku salah tingkah karena Rayen memelukku tiba tiba, dan terkejut karena nyawaku ingin melayang.

"Ai, kamu gapapa kan? Gaada yang luka?"
"Nggak, Yen."
"Syukurlah."

Rayen mengusap pelan rambutku yang membuatku semakin salah tingkah. Entah apa yang ada didalam dadaku. Aku sebenarnya suka kepadanya, tapi aku hanya melihatnya sebagai teman saja, tapi entah, apa yang dia pikirkan tentangku.

Akhirnya, kami berdua menyebrang bersama. Rayen menggenggam tanganku erat, mungkin Rayen tidak ingin kejadian tadi terulang lagi.

Akhirnya kita memilih untuk mencari jajanan sembari menikmati sejuknya angin disana. Walaupun panas, tapi aku bisa menikmati angin sejuk disini, karena banyak pepohonan. Kami berdua berbincang sambil duduk dikursi taman sekitar situ.

Akhirnya, setengah hari ini aku habiskan dengan Rayen. Karena kurasa matahari sudah mulai tenggelam, aku dan Rayen memutuskan untuk pulang. Seperti biasa, Rayen mengantarku pulangke rumah.

Tetapi, sesampainya di rumah, ternyata Ayah dan Bunda lagi lagi bertengkar. Aku menatap mata Rayen. "Yen.. ini gimana.." aku menatap matanya. Dia dengan segera memeluk pundakku.

"Tenang, kalo ada apa apa, kabarin aku. Masuk geh." Aku mengangguk, akhirnya aku memutuskan untuk masuk kedalam rumah. Secara diam-diam aku mengendap-endap berjalan menuju ke kamar. Untung saja aman.

Beberapa saat kemudian, aku tidak mendengar suara kegaduhan lagi. Aku mengintip dari celah-celah pintu, anehnya, hanya tersisa Bunda di ruang tamu.

Aku perlahan-lahan keluar dari kamarku, dan duduk disebelah Bunda. Aku menepuk bahu Bunda, dan memberanikan menanyakan yang tadi mereka alami.

"Bunda cerai, nak.."

Jantungku seketika berhenti berdetak, terkejut, dan bahagia menjadi satu, dengan reflek aku memeluk Bunda. "Bunda.. gapapa kok, Ayah bukan sosok Ayah yang baik, bunda.." mataku tidak dapat membendung air mataku lagi.

Bunda juga memeluk tubuhku, dan berkata, "Maafin Bunda ya, Nak. Bunda gabisa jadi ibu yang baik dan selalu memihak ke Ayahmu." Hanyaku balas dengan anggukan. Tuhan, apakah ini pertanda hidupku akan berubah menjadi lebih baik?

RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang