PERJUANGAN UNTUK GEA

49 16 12
                                    

Keesokan harinya Afaska mendatangi rumah sang istri. Ia ingin menjemput Gea pulang. Semalaman laki-laki itu tak bisa tidur. Ia tahu perbuatannya salah. Hari ini laki-laki itu ingin memperbaikinya.
Bel rumah berulang kali Afaska tekan. Namun tak ada sahutan apapun. Terhitung lima menit sudah dirinya berdiri di depan pintu. Mungkin Gea masih marah padanya.
Suara pintu terbuka membuat Afaska sedikit bahagia. Begitu ia menyadari seseorang di balik pintu membuat hatinya kembali sedih. Bukan Gea yang membukakan pintu. Itu ayah Gea.
Romi tak mempersilahkan Afaska memasuki rumahnya. Itu permintaan Gea. Romi hanya menghargai keputusan sang putri. Sebenarnya Gea memohon padanya untuk mengusir Afaska dari rumah ini. Namun saat Romi melihat wajah Afaska yang seperti mayat hidup, diurungkanlah niat itu. Alhasil Romi mengajak Afaska untuk duduk di teras rumah. Romi ingin memberikan pesan untuk kepala rumah tangga di hadapannya ini.

"Kamu tahu kenapa dulu Ayah ngajak kamu main futsal?" Afaska menggeleng.

"Ayah ingin kamu menjadi kepala rumah tangga yang bijaksana dan tanggung jawab. Sama seperti kamu bermain futsal. Ayah kira dengan jagonya kamu bermain futsal, kamu juga pintar mengatur permasalahan rumah tangga. Ternyata kamu masih belum memahami makna dibalik permainan futsal."

"Dalam permainan futsal, tidak ada istilah bermain sepuasnya. Futsal bukan permainan yang bisa kamu mainkan seenak hati. Dalam futsal, kamu bukan hanya mencetak gol sebanyak-banyaknya. Pasti akan ada suatu rencana dan aturan agar bola yang ada dikuasa kita bisa masuk ke dalam gawang lawan."

"Selama proses kamu hendak mencetak gol juga bukan tindakan yang mudah. Kamu perlu orang lain untuk menyukseskan tendangan itu, dan orang lain yang dimaksud adalah rekan tim kamu sendiri."

"Ketika kamu hendak mencetak gol, pasti ada saja halangan yang mengurungkan kamu untuk melakukan itu. Entah dari faktor lawan tim yang melakukan kecurangan, atau lawan tim yang mahir melakukan strategi. Pasti kamu dan rekan tim yang lain juga memiliki strategi sehingga dapat berjalan dengan lancer, dan kamu bisa mencetak gol dengan sempurna."

"Skema dalam permainan futsal juga nggak jauh berbeda dengan hubungan rumah tangga, Ska. Ketika kita ditimpa sebuah masalah, kita nggak bisa menghandle masalah itu seorang diri. Kamu harus ingat! Kamu yang sekarang adalah seorang suami. Seseorang yang sudah memiliki pendamping hidup bernama istri. Kamu harus tahu peran dia dalam hidup kamu apa. Kehadiran dia dalam hidup kamu memiliki makna yang seperti apa."

"Walau kamu memiliki niat baik untuk tidak menceritakan masalah dengan maksud agar tidak menambah beban sang istri memang boleh. Tapi itu tetap salah. Seseorang memantapkan diri untuk menikah pasti mereka sudah tahu konsekuensi yang hendak dihadapi. Mereka sudah siap menanggung konsekuensi itu, dan salah satu contohnya adalah siap sama-sama menanggung masalah."

"Ayah tidak tahu permasalahan kalian apa, dan Ayah juga tidak ingin tahu. Gea tak menceritakan masalah apapun perihal permasalahan kalian berdua. Kedatangan kamu hari ini semakin membuat Gea marah. Sebaiknya kamu pulang dulu."

"Tenanglah, sedikit bersabar adalah jalan terbaik ketika lelahmu tiada tempat. Lebih baik kamu sekarang pulang. Jaga kesehatan kamu! Jangan sampai raga kamu tumbang sebelum kamu bisa memperbaiki semuanya."

Setelah berkata demikian, Ayah Romi kembali masuk. Membiarkan Afaska mencerna satu persatu pesan yang sedari tadi ia tangkap. Afaska tampak diam. Ayah Romi benar. Ia akan menyelesaikan masalahnya dulu baru kemudian menjemput Gea.


***


Afaska kembali pada pekerjaannya. Setelah berpikir matang-matang, laki-laki itu memutuskan untuk segera menyelesaikan permasalahan pekerjaan, lalu kembali pada Gea. Ia ingin penderitaan ini segera berakhir.
Setelah melalui banyak rintangan. Akhirnya resto Afaska berhasil ramai kembali. Kehadiran wanita yang ditemui Gea ketika bersama suaminya membuahkan hasil. Mereka saling bekerja sama dan berakhir dengan kesuksesan. Resto yang semula sepi kini mulai diterima masyarakat kembali. Afaska sungguh lega.
Hari ini Afaska hendak menjemput Gea. Tiga hari sudah ia tidak bertemu Gea. Kesalahan yang diperbuat Afaska memang cukup fatal. Afaska rindu dengan istrinya.
Afaska sudah bersiap. Afaska yang hendak menuju parkiran terhenti saat dia melihat kedatangan Cahaya yang tegesa-gesa. Adiknya terlihat sedikit ketakutan. Dengan napas ngos-ngosan, gadis itu memberikan sepucuk surat kaleng yang sudah terbuka. Mata Afaska menajam saat membaca isi surat itu. Dilipatnya kertas itu kembali, dan menenangkan Cahaya yang masih sulit mengatur napasnya.

"Siapa yang ngasih surat ini?" tanya Afaska pelan.

"Aku nggak tahu, Kak. Dia pakai penutup kepala. Tadi pagi orang itu tiba-tiba ngelemparin botol ini ke kaca jendela. Aku yang kaget denger kaca pecah cepet-cepet ke depan, dan malah nemuin botol ini. Pas aku buka, aku segera lari ke ayah untuk menanyakan maksudnya. Aku nggak tahu kenapa surat itu cuman berisi tulisan nama Kak Gea. makanya aku langsung ke sini nemuin Kakak."

"Kak!"
Cahaya menyadarkan Afaska yang tengah berpikir. Rupanya Afaska sudah mulai menerka-nerka siapa dalang di balik semua ini. Mendengar panggilan dari adiknya, Afaska segera menoleh.

"Kak Gea nggak apa-apa, kan? Kakak lagi nggak berantem sama dia, kan?"
Afaska segera merespon pertanyaan Cahaya dengan satu kebohongan. Ia tidak mau masalah rumah tangganya sampai diketahui siapapun.

Ia tidak ingin adiknya ini mencemaskan Gea dan juga dirinya.
Laki-laki itu menjawab dengan asal bahwa Gea baik-baik saja.
Setelah berpesan demikian, Afaska segera menginformasikan geng Phoenix untuk berkumpul.
Setengah jam mereka sudah berkumpul. Mereka yang datang hanya sebagian. Galih dan Andika juga izin tidak ikut. Mereka tengah mengerjakan tugas sebagai perwakilan kampus untuk mengikuti lomba.
Tanpa basa-basi, Afaska memberikan botol surat yang tadi ia dapatkan dari Cahaya. Afaska juga menjelaskan maksud botol surat yang bernamakan Gea. Mereka tampak diam mendengarkan. Hingga muncul pertanyaan yang mungkin mewakili pemikiran semuanya.

"Lo nggak lagi berantem sama Gea kan, Ska?"
Pertanyaan itu muncul dari Virdy.

Seolah déjà vu dengan keadaan sebelumnya yang pernah terjadi. Perlakuan geng Crocodile yang selalu mengancam dengan seseorang yang sedang dalam kondisi diujung tanduk dengan Afaska, dan ini benar adanya. Semula Afaska sudah menduga bahwa Crocodile pelakunya. Namun pemikiran itu ia tepis. Ia yakin ayahnya tidak akan mengancam dirinya dengan menggunakan target menantunya.
Laki-laki itu tidak percaya jika ayahnya kembali melakukan taktik bodoh hanya untuk menemuinya. Hubungan mereka saat ini bukankah sudah terbilang cukup baik? Untuk apa ayahnya kembali mengancam?
Afaska hanya menggeleng begitu mendengar pertanyaan Virdy. Laki-laki itu tetap kekeuh tidak ingin membicarakan masalah rumah tangganya.

"Gue nggak mau ada korban baru lagi, Ska. Lo udah tahu sendiri kan Cahaya? Dia nyaris diperkosa akibat korban taruhan yang sengaja ditargetkan. Saran gue, lo harus cepet baikan sama Gea. Supaya kalian bisa saling melindungi. Gue nggak mau ibu komandan kita terluka." Ucapan Virdy benar.

Ia harus segera menemui Gea. Ia harus berbaikan dengan sang istri agar tidak terjadi apa-apa. Afaska menoleh ke arah Virdy. Digenggamlah tangan sahabatnya itu dengan kuat. Berusaha mengungkapkan terima kasih lewat genggaman itu.
Afaska senang saat Gea membukakan pintu untuknya. Awalnya laki-laki itu bimbang. Takut Gea kembali menolak kehadiran dirinya. Senyum yang semula terbit perlahan luntur saat Gea hendak menutup pintu, dengan cepat Afaska menahannya
Tindakan Afaska membuat Gea geram. Diurungkanlah niat menutup pintu itu. Dengan enggan Gea menemui Afaska. Hatinya masih sakit.

"Kita pulang ya, Ge? Aku mohon sama kamu. Aku sadar perbuatan aku selama ini salah. Aku janji nggak akan ngulangi lagi. Aku minta maaf." Gea tertawa mendengar perkataan Afaska.

"Alasan kamu basi, Ska. Mending kamu pergi dari sini. Aku muak lihat wajah kamu!"

"Ada seseorang yang mau misahin kita! Aku nggak mau itu terjadi. Aku mau kita baikan Ge." Perkataan Afaska sukses membuat langkah Gea terhenti.

Ia yang semula hendak pergi mengurungkan niat. Siapa yang akan memisahkan mereka berdua? Gea kembali menggelengkan kepala. Mungkin itu hanya alasan Afaska agar hatinya luluh.

"Apa yang harus aku lakukan supaya kamu mau maafin aku, Ge?" Gea hanya diam.
Afaska sudah lelah. Ia bingung harus membujuk Gea seperti apa agar gadis itu mau kembali padanya.

"Lebih baik kamu pergi, Ska! Jangan rusak pemandangan rumah aku dengan kehadiran kamu!" Bukan serta merta Gea mengatakan itu.

Cuaca yang akan turun hujan menyebabkan dirinya harus mengusir Afaska dengan kata kasar. Ia tidak mau Afaska sakit. Nalurinya masih peduli dengan laki-laki itu. Tapi untuk memaafkan hatinya masih belum mampu.

AFASKA {Terbit}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang