CAHAYA

33 15 12
                                    

Suasana ramai menghiasi seluruh area pertandingan. Hari yang dinanti Galih akhirnya tiba. Hari ini ia mewakili tim jurusannya melawan anak teknik. Terhitung tiga bulan lamanya laki-laki itu berlatih. Ia ingin memberikan hasil yang maksimal.
Banyaknya penonton yang mulai berdatangan membuat Galih bersemangat. Ditatapnya pintu masuk yang menampilkan satu persatu penonton yang datang. Matanya tak berhenti mengabsen setiap wanita yang datang. Ada seseorang yang sedang ia tunggu, dan ia berharap seseorang itu segera memasuki arena untuk menyemangatinya.

Ia ingin mendengar suara cempreng gadis itu. Membayangkan saja Galih sudah tidak sabar.
Galih sedikit senang saat teman-temannya perlahan datang untuk mendukungnya. Tak tanggung-tanggung, mereka juga memakai baju yang sama hanya untuk menyemangati laki-laki itu. Galih sedikit malu tapi juga senang. Mereka mau ber-effort hanya demi dirinya.
Suara tanda permainan akan segera dimulai sudah berbunyi. Galih sedikit kecewa saat pintu penonton tertutup. Rupanya dia tidak datang. Dengan langkah gontai Galih berkumpul bersama rekan timnya. Ia akan bersiap, dan mulai melakukan pemanasan.
Galih mengumpat saat timnya kebobolan. Bukan hanya sekali dua kali tapi sudah berkali-kali. Galih semakin emosi saat dirinya melihat papan skor. Timnya masih belum mencetak point.

Entah karena memang hari yang buruk, atau perasaan laki-laki itu yang sedang tidak baik, hingga membuat kondisi timnya tidak baik-baik saja.
Afaska beserta tim Phoenix yang hadir merasa heran. Mereka tak pernah melihat Galih se-emosi itu. Biasanya laki-laki itu terlihat santai meski dirinya mengalami kekalahan. Namun mengapa hari ini dia terlihat berbeda? Apa penyebab Galih seperti itu?

"Galih semangat! Gue yakin lo bisa!"
Suara teriakan itu sukses membuat Galih mencari asal suara. Dirinya tersenyum saat melihat Dora yang sudah berada pada tempat yang semula laki-laki itu sediakan.

Dora terlihat penuh semangat untuk mendukungnya. Gadis itu terlihat membawa beberapa perlengkapan yang biasa para supporter gunakan. Galih dibuat tertawa oleh tingkah gadis itu.
Merasa suasana hatinya yang sudah membaik, Galih segera berlari menuju arah datangnya bola. Laki-laki itu terlihat bersemangat. Dengan gesit ia mengambil bola lawan dan sesekali mengecohnya. Permainan itu terasa sangat seru. Hingga point pertama berhasil tim Galih dapatkan.

Sorak-sorai penonton semakin riuh. Suara kubu pendukung tak kalah untuk memberikan semangat untuk para tim jagoannya. Begitu juga dengan Dora. Dia berteriak terus memberikan semangat. Gadis itu mengabaikan suaranya yang serak hanya demi Galih. Ia tidak ingin menurunkan semangat laki-laki itu.
Peluit tanda istirahat berbunyi. Dora segera berlari menghampiri Galih. Diberikannya botol minuman itu kepada laki-laki itu. Galih yang terkejut dengan perlakuan tak terduga Dora sedikit bahagia. Dengan cepat laki-laki itu menerima minuman itu dan meminumnya hingga tandas. Sungguh Galih merasa senang.
Dora tidak mengatakan apa-apa. Gadis itu segera berlari ke tempatnya semula setelah Galih menerima botol minuman yang ia berikan.

Peluit tanda permainan kembali dimulai berbunyi. Galih beserta timnya yang lain mulai memasuki lapangan. Dora kembali memberikan semangat. Namun gadis itu sedikit panik dengan suaranya yang hilang. Berulang kali gadis itu mencoba untuk bersuara tetapi nihil. Suaranya tak dapat ke luar. Dora tetap bersikap tenang. Sebaik mungkin ia menyembunyikan keadaannya saat ini. Ia harus memberikan semangat. Jangan sampai Galih mengetahui kondisinya saat ini.
Tak terasa pertandingan basket yang berlangsung sengit itu telah usai. Galih menghampiri Dora sambil membawa medali. Laki-laki itu berhasil memenangkan pertandingan. Dengan senyum bangga ia perlihatkan medali itu pada gadis yang diam-diam disukainya.

Sekuat tenaga Dora menahan tubuhnya yang hendak ambruk. Semula gadis itu berencana untuk meninggalkan tempat pertandingan pada menit-menit terakhir. Namun tak jadi ia lakukan karena dirinya masih ingin menyaksikan pertandingan itu. Ia ingin segera pergi begitu pertandingan selesai. Namun kembali ia urungkan saat dirinya melihat Galih yang hendak menghampirinya.
Dora sudah tak sanggup menopang badannya. Penglihatannya terakhir menangkap Galih yang berusaha menahan tubuhnya. Semua terasa gelap di mata gadis itu. Hingga Dora tak dapat merasakan apapun.
Galih terkejut saat melihat Dora yang tiba-tiba pingsan. Untung saja dirinya berhasil menangkap Dora saat gadis itu hendak jatuh. Dengan wajah panik ia menggendong Dora ke unit kesehatan. Tindakan itu disusul oleh teman-temannya yang lain yang juga terkejut dengan pingsannya Dora. Mereka mengikuti langkah Galih yang membopong Dora.

"Tenggorokannya kering akibat terlalu sering berteriak sedari tadi. Saya sarankan pasien jaga makanan dan minuman yang akan dikonsumsi. Mungkin suaranya akan kembali dalam satu minggu ke depan, saya akan berikan resep obat untuk pasien," ucap sang dokter kemudian pergi meninggalkan mereka.
Galih sedikit merasa bersalah. Karena dirinya, Dora rela mengabaikan kesehatannya sendiri.
Galih tersenyum saat Dora membuka mata. Dipeluklah gadis itu untuk melepas rasa kekhawatirannya. Dora yang terkejut hanya bisa diam. Gadis itu tidak tahu apa-apa. Ada apa dengan Galih?


***


Setelah acara pertandingan Galih dan kawan-kawan selesai, Afaska dan Gea pulang.
Gea merasa bosan ketika dirinya berada di tengah perjalanan menuju rumah mereka. Melihat gelagat Gea, Afaska yang sudah paham mengusulkan untuk mampir di rumah sang ayah. Gea yang semula terlihat murung mendadak ceria. Gadis itu seketika antusias dan menyetujui ajakan Afaska.
Kedatangan Afaska dan Gea disambut hangat oleh Ayah Cakra. Cahaya yang juga berada di rumah langsung mengajak Gea untuk pergi ke kamarnya. Berbeda dengan Afaska yang diajak sang ayah ke halaman belakang. Di sana mereka menyeduh kopi bersama sembari berbincang santai.

Tak terasa waktu menunjukkan pukul tiga sore. Ayah Cakra yang hendak memesan makanan online diurungkan oleh Afaska. Laki-laki itu ingin memasak. Sudah lama ia tidak menyentuh alat dapur dari rumahnya sendiri. Dengan raut wajah senang, Cakra menyetujui usulan itu.
Aroma masakan yang harum mengundang tanda tanya di benak Gea dan Cahaya yang berada di kamar. Mereka yang sibuk belajar bersama menghentikan aksi itu sementara. Mereka saling lirik kemudian tersenyum. Dalam hitungan ketiga mereka berhamburan ke luar kamar dan bergegas menuju ruang makan.

Cahaya dengan cepat mengambil piring dan menyendok beberapa menu makanan yang tersedia. Semua orang yang berada di sana hanya tertawa gemas. Perlakuan Cahaya yang bukan anak kecil lagi tetap saja bertingkah seperti bocah. Ayah Cakra sampai geleng-geleng kepala melihat aksi anaknya itu.

"Rencana mau ambil jurusan apa untuk masuk kuliah, Ca?"
Cahaya yang sedang menyeruput jus jeruk tiba-tiba tersedak. Gadis itu masih bimbang memilih jurusan apa yang sesuai dengan passionnya. Kalau boleh jujur ia masih bingung dengan mata pelajaran yang ia minati. Semua baginya menyenangkan.

"Aku pengen kimia sains aja. Biar relate sama pelajaran yang aku suka," jawab Cahaya asal.

"Sama kaya Fero berarti, ya? Nggak apa-apa sih. Asal kamu niat aja ngejalaninnya."
Tubuh Cahaya sedikit menegang mendengar Afaska menyebut nama Fero. Perlahan gadis itu tersenyum. Ia tidak mengira jika jawaban asalnya sangat menguntungkan. Sungguh hari yang membahagiakan.

"Kamu kenapa?"
Melihat gelagat adiknya yang sedikit aneh membuat Afaska curign Cahaya yng seketika gelagapan juga menambah kecurigaan Afaska.

"Kamu suka sama Fero? Atau kalian pacaran?"
Pertanyaan menohok yang Afaska tujukan sukses menambah kekalutan Cahaya. Gadis itu seperti sedang diinterogasi. Keringat dingin mulai bercucuran membasahi wajah. Cahaya sedikit melirik ke arah sang ayah. Berharap laki-laki itu dapat menolong. Kalau boleh jujur, Cahaya lebih takut pada Afaska daripada ayahnya sendiri.

"Ngg ... nggak. Aku nggak suka dia! Lagian siapa sih yang suka sama temen-temen Kakak yang nggak jelas itu?!" Afaska mengangguk membenarkan perkataan Cahaya.
"Kakak cuma mau pesen. Kamu tuh masih kecil. Nggak cocok pacar-pacaran."a. Respo

Cahaya mendengus mendengar pernyataan Afaska. Usia yang sudah menunjukkan angka 20 tahun itu masih dibilang kecil? Mungkin saja jika dirinya sudah meginjak usia tiga puluhan, tetap saja dibilang kecil. Asal kata-kata itu muncul dari mulut Afaska, Cahaya hanya bisa membatin. Sungguh menyebalkan.



***


Dering ponsel berbunyi. Lima menit sudah ponsel itu bergetar namun tak segera menerima jawaban. Cahaya yang baru ke luar dari kamar mandi baru tersadar jika ponselnya berbunyi. Dilihatlah nama panggilan yang tertera, dan berhasil menyunggingkan senyum di wajah gadis itu. Dengan cepat Cahaya menyambar ponsel itu, dan menekan tombol terima pada layar yang tertera.

"Halo?"
Suara lembut terdengar di telinga Cahaya. Laki-laki yang sudah menemani dirinya selama tiga tahun ini, dan suaranya tetap selalu ia rindukan. Cahaya memiliki pasangan. Gadis itu tak berani mengatakan yang sesungguhnya pada keluarga. Ia masih belum siap.

Waktu yang sudah berdenting pertanda tengah malam begitu tak terasa bagi dua sejoli yang sedang beradu asmara. Cahaya seakan dibawa berlayar oleh dia. Kemudian ia terdampar dan menyelami hati dari masing-masing. Berusaha mencari tempat terindah yang sama-sama disuguhkan oleh sang pencipta.

AFASKA {Terbit}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang