HARUS BERANI

88 25 18
                                    

Suasana kota terpantau panas hari ini. Terlihat beberapa siswa yang keluar sekolah dengan mengelap keringat yang membasahi tubuh mereka. Jam pulang sekolah sudah berbunyi lima menit lalu. Nampak Gea dan Muti berdiri di jalanan depan markas Phoenix. Mereka tak segera masuk.
Muti yang sedari tadi membawa dua kantong kresek berisi es teh mulai pegal. Ia mengeluhkan sikap Gea yang hanya berdiri di depan jalan saja. Gadis itu mendadak cosplay menjadi patung.

"Ini kita jadi masuk apa enggak, Ge? Tangan gue gemeteran nih megang es teh dari tadi."

"Bentar gue atur napas dulu."

"Tumben banget sih lo deg-degan kaya gini. Ini kan bukan pertama kalinya kita masuk ke markas Phoenix."

"Kali ini beda Mut. Kemaren gue bisa ke luar masuk seenaknya karena gue cuma temen Afaska. Kalau sekarang kita udah berubah status."

"Ck! Kalau mau pamer jangan ke sini! Gue lagi males denger."
Muti sudah tidak tahan dengan kebucinan yang diciptakan sahabatnya ini. Bayangkan saja, setiap kali jam istirahat berbunyi, Afaska sudah stand by di depan kelas Gea. Alhasil mereka harus makan bersama, dan menyaksikan adegan mesra yang mereka ciptakan. Muti dan Dora hanya bisa menghembuskan napas kesal.

Pernah sesekali secara tidak sengaja Dora menambahkan sambal ke mangkuk bakso Galih saking kesalnya. Adegan itu membuat Galih kepedasan. Bahkan sempat membuat laki-laki itu tidak masuk sekolah selama tiga hari akibat diare. Mulai saat itu juga, jika Dora dan Galih dipertemukan, mereka akan menciptakan ajang perang dunia ketiga.
Muti meninggalkan Gea yang tetap mematung di tepi jalan. Melihat Muti yang berjalan sambil membawa sesuatu di tangan, segera Virdy menghampirinya. Entah mimpi apa laki-laki itu semalam hingga bisa bertemu Muti hari ini.
Dengan cepat Virdy meraih dua kantong kresek dari tangan Muti. Muti yang melihat sikap Virdy mendadak kaget. Segera mungkin ia merubah sikap menjadi lembut. Di depan Virdy ia harus terlihat seperti wanita anggun. Entah mengapa dekat dengan laki-laki itu membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Dia sedikit membenci hal itu.
Melihat Muti yang meninggalkannya, Gea segera menyusul. Walau dirinya merasa grogi, ia tepiskan sebentar. Ini semua gara-gara Afaska. Kalau bukan karena laki-laki itu ingin meminta belajar bersama, tidak akan ia mau menuruti permintaannya.
Gea mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Tidak ada Afaska di sana. Saat ditanya keberadaannya, Afaska hanya menjawab di dalam markas. Markas mereka bukan hanya satu ruangan. Markas itu seperti rumah. Ada dua ruang tempat tidur, satu ruang dapur, dan satu ruang untuk kamar mandi. Jika Gea menggeledah setiap ruangan, pastinya akan terasa canggung.
Bagaimanapun markas ini bukan rumahnya.

"Komandan ada di dapur Ge, lagi buat makanan buat lo katanya."
Pipi Gea terasa panas saat Fardhan mengatakan itu. Entah mengapa dirinya merasa salah tingkah. Tak menunggu waktu lama, Afaska muncul dari salah satu ruangan, dan membawa beberapa makanan dibantu Tomy dan Fero. Mereka akhirnya makan bersama.

"Putri ke mana? Kok akhir-akhir ini nggak kelihatan?"
Fero menanyakan Putri disela makannya. Biasanya mereka selalu berempat. Setelah Afaska berpacaran dengan Gea, Putri juga jarang bergabung dengan gadis-gadis itu.

"Putri udah pindah sekolah dua minggu lalu." Gea menjawab sambil menunduk.

"Kenapa?" Fero kembali bertanya. Penasaran dengan alasan gadis itu pindah.

"Mau cari tempat yang lebih nyaman katanya," jawab Gea singkat.

"Tempat yang nyaman bisa membuat pikiran tenang."
Perkataan Andika menimbulkan berbagai pertanyaan. Mengapa Andika tiba-tiba mengatakan demikian? Mendengar ucapan Andika membuat Gea sedih. Gadis itu tahu alasan Putri melakukan hal itu. Putri tidak mau bertemu dengannya. Putri membenci Gea.

Kata-kata yang sempat dikeluarkan Putri untuknya cukup membuat gadis itu merasa bersalah. Mungkinkah pilihannya memilih Afaska itu salah? Gea juga tidak mau jika akhirnya akan seperti ini.
Afaska menggenggam tangan Gea. Berusaha menyalurkan semangat. Ia sudah tahu alasan mengapa salah satu sahabat kekasihnya itu pindah. Gea sudah menceritakannya.
Afaska membela tindakan yang kekasihnya ini lakukan. Apa yang disarankan Dora benar adanya. Jika nanti Gea memilih menjaga hati Putri dengan menolak Afaska, mungkin Afaska akan tetap memilih dan mengejar Gea.
Suasana markas mendadak hening. Tak ada yang berani membuka suara. Makanan yang berada tepat di depan mereka, tak berani mereka santap. Kalau boleh jujur, keadaan seperti ini yang tidak mereka sukai.

"Kenapa jadi canggung gini sih? Yokk lanjut makan!" Ajakan Galih berhasil mencairkan suasana. Mereka tampak melupakan masalah sejenak. Gurauan demi gurauan juga mulai mereka lontarkan. Perlahan, suasana canggung tadi sudah teratasi.

Brakk!




Suara gebrakan pintu berhasil mengejutkan seisi markas. Nampak Dora yang datang sambil menutupi sebelah matanya. Wajah gadis itu berwarna merah. Rupanya gadis itu menahan pedih di area matanya.
Galih yang paham situasi, langsung beranjak dari tempat duduknya. Gadis itu ia tuntun perlahan ke arah kamar mandi. Dengan telaten Galih membasahi mata Dora perlahan sampai gadis itu bisa membuka matanya kembali.
Dirasa matanya sedikit lebih enak, dibukalah matanya perlahan. Begitu gadis itu sudah dapat melihat semuanya dengan jelas, terkejutlah ia saat melihat Galih tengah berdiri tepat di depannya. Spontan Dora mendorong laki-laki itu. Karena lantai yang licin, Galih yang terdorong berakhir jatuh. Pantatnya mendarat sempurna di lantai yang dingin.
Afaska yang mendengar suara benda jatuh langsung berlari ke arah kamar mandi. Tindakan Afaska disusul oleh teman-temannya yang lain. Semua tertawa begitu melihat Galih yang sudah terduduk di atas lantai. Kondisi tubuh yang basah ditambah posisinya yang mengenaskan, menjadi tontonan baru bagi mereka. Galih malu sekali.
Melihat keadaan ramai, Dora segera membangunkan Galih. Gadis itu merasa bersalah telah mendorong Galih. Dipapahlah laki-laki itu menuju tempat yang nyaman.

"Pelan-pelan Markonah! Sakit pantat gue."

"Iya maaf. Lagian suruh siapa lo berdiri di depan gue. Gue kan kaget."

"Udah dibantuin bukannya terima kasih malah ngomel-ngomel."
Dora menghiraukan gerutuan Galih. Dia mengeluarkan kotak P3K dari dalam tasnya. Gadis itu memberikan kotak itu kepada Fardhan, dan menyuruhnya untuk mengobati luka Galih.

Laki-laki itu tidak tahu menahu tentang cara mengobati orang. Alhasil Fardhan hanya bisa meminta tolong pada Virdy. Galih yang melihat itu hendak protes juga. Bagaimana bisa Dora melimpahkan tanggung jawab itu kepada teman-temannya. Namun jawaban Dora sukses membuat laki-laki itu terdiam.

"Emangnya lo mau gue buka celana lo? Terus gue obati langsung pantat lu yang luka? Kalau gue sih nggak masalah. Lo sendiri gimana? Mau gue gituin?"
Pertengkaran yang terjadi antara Galih dan Dora bukan menjadi penganggu bagi couple komandan mereka. Afaska dan Gea tetap melanjutkan rencana awal mereka. Kini terlihat mereka yang sama-sama membuka buku mata pelajaran. Baru beberapa menit, Afaska sudah menutup kembali buku paketnya.

"Semangat dong kalau mau lulus sekolah. Yuk buka lagi bukunya!"
Gea kembali memberikan semangat pada Afaska, dibukanya buku itu kembali. Walau decakan Afaska terdengar, Gea hanya menanggapinya dengan biasa.

"Kenapa harus ada matematika?" Afaska mulai menanyakan pertanyaan ngelantur.

"Matematika itu seru, Ska. Kita bisa menemukan sesuatu yang baru di sana. Dari matematika kita sadar, kalau menginginkan sesuatu perlu usaha. Nggak ada yang instan."

"Aku punya pertanyaan buat kamu."

"Apa?"

"Apa perbedaan dan persamaan kamu sama matematika?" Gea tampak berpikir kemudian menggelengkan kepala tanda tak tahu.

"Soal matematika itu wajib dicari dan dihitung lalu setelah jawabannya ketemu, jawaban itu menjadi hak milik, dan otomatis akan jadi panduan semua orang. Kalau kamu itu wajib dicinta dan disayang, lalu nggak boleh dimiliki semua orang. Hanya aku saja," jawab Afaska membuat Gea tersipu.

Gea kembali bertanya.

"Sama-sama susah di dapetin."
Mereka berdua tertawa dengan pembicaraan mereka.

AFASKA {Terbit}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang