Budak Tabib : Transmigrasi Ke Dunia Lain [Part 1]

1.6K 33 0
                                    

Regan pernah berpikir hidupnya sangatlah sial. Baginya tidak ada pria di dunia ini yang lebih sial daripadanya. Padahal, dia yang dulu, berpikir takdir selalu berpihak pada dirinya. Dia sering membanggakan diri di hadapan teman-temannya, betapa besarnya ukuran miliknya itu. Dia juga selalu memandang remeh teman-temannya ketika berkesempatan mandi bersama di fasilitas umum. Tak jarang dia membuat lelucon yang tanpa tanpa disadarinya membuat teman-temannya itu murka.

Mungkin ini sebuah karma. Hingga usianya yang menginjak tiga puluh tahun, beberapa hari yang lalu, Regan masih belum pernah menjalin hubungan yang serius dengan wanita manapun sampai ke jenjang pernikahan. Setiap kali dia bertemu wanita baru dan menjadi sepasang kekasih, dia selalu dicampakkan karena masalah yang tak pernah dia duga. Miliknya yang dulu selalu dibanggakan dirinya sewaktu remaja itu ternyata musibah bagi dirinya saat dewasa. Kejantanannya itu ternyata penyebab mantan-mantannya itu menghindarinya. Bahkan hanya dengan melihat sekilas para mantannya akan bergidik ngeri dan segera memutuskan kontak dengannya.

Regan benar-benar sudah putus asa ketika wanita yang sedang menjalin hubungan dengannya baru-baru ini pun baru saja memutuskan dirinya melalui panggilan telepon. Padahal dia baru saja berniat untuk mengunjungi rumahnya dan hanya tinggal beberapa langkah saja sampai tiba di halaman rumahnya.

Sungguh betapa sialnya, kedua matanya itu kemudian melihat sang mantan kekasihnya itu baru saja keluar dari rumahnya bersama seorang pria. Meski dari kejauhan, Regan dapat mengetahui bahwa sang mantan terlihat bahagia ketika masuk ke dalam mobil yang pintunya dibukakan oleh pria tersebut.

Regan seperti sudah lupa caranya marah. Dia bahkan tidak berpikir untuk menghampiri sang mantan dan melabraknya karena selingkuh. Meski melihat sang mantan kekasihnya itu pergi dengan lelaki lain, dia sama sekali tidaklah marah. Dia lebih kepada kecewa dan langsung melihat ke arah selangkangannya. Seakan tahu bahwa penyebabnya pasti karena seminggu yang lalu dia menunjukan barang itu kepada sang mantan. Regan hanya bisa menghela napas dengan frustasi.

Segera dia memutar balik arah dan berjalan dengan perasaan hampa. Dia membuang bunga beserta bingkisan yang berisikan kue kesukaan sang mantan ke tempat pembuangan sampah. Tangannya mengepal, pikirannya kembali teralihkan dengan kenangan lama yang muncul bersamaan dengan penyesalan di masa lalu.

Di perempatan lampu merah itu, dia banyak merenungkan masa depannya. Menunggu lampu merah muncul. Kemudian dia berjalan bersamaan dengan orang yang berlalu lalang. Dia terus berjalan maju dengan tatapannya yang kosong, entah karena dia sudah terlalu malas dengan hidupnya atau karena pengaruh diputuskan oleh mantannya barusan.

Oh, sungguh sial.

Hujan perlahan mulai turun, orang-orang yang berlalu lalang ikut berlarian dengan kedua tangan menutup bagian atas kepala. Menyisakan Regan yang berjalan di tengah zebra cross dengan sangat lambat. Hingga lampu hijau pun muncul dan mobil-mobil itu mulai mengklakson dirinya. Namun, Regan menghiraukannya sambil terus berjalan lambat.

Terus berjalan dan berjalan ke depan dengan pandangan yang tiba-tiba terasa buram. Pendengarannya juga perlahan terganggu oleh suara bising dari dentuman dan teriakan seseorang, seakan dia sedang berada di tengah pertempuran.

"Apa ini akhir dari hidupku?" Sampai saat itu Regan terkekeh kecil dan jatuh dengan posisi dengkul dan kedua tangannya menyentuh tanah.

Dia pikir dirinya sudah mati.

Hanya saja suara berat seorang pria yang sama itu kembali terdengar di telinganya.

"Hei, sadarlah!"

Regan pikir itu malaikat maut yang tidak bersedia membawanya pergi ke nirwana, tapi entah bagaimana bisa terjadi, beberapa detik kemudian pandangannya mulai pulih dan dirinya mendapati bahwa sekelilingnya telah berubah menjadi medan pertempuran sungguhan.

Pedang-pedang saling disilangkan. Sebagian mengenai tubuh dan merobeknya, beberapa memotongnya layaknya kue ulang tahun.

Di hadapan Regan sendiri, seorang pria tengah bertarung melawan prajurit-prajurit yang berlarian ke arahnya. Seakan-akan pria itu tengah berusaha melindunginya.

"Tempat apa ini? Mengapa aku dibawa ke tempat seperti ini?"

Sementara peperangan terus berlanjut, Regan masih mencoba mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Dia bangkit dan mengedarkan pandangannya dengan perasaan rumit. Dalam hati, dia bertanya-tanya tentang malaikat yang membawanya ke tempat ini.

Mungkinkah malaikat itu lalai dalam tugasnya? Regan buru-buru menggelengkan kepalanya. Dia adalah seorang yang lumayan sering beribadah, bagaimana bisa dia meragukan perkejaan malaikat pencabut nyawa? Apa yang sebenarnya terjadi?

Di saat dia memandang ke arah lain, dari arah belakangnya, seorang prajurit yang terhempas karena suatu serangan lalu menabraknya. Regan yang pada saat itu tak siap pun terpental dan tertimpa tubuh prajurit itu, sehingga membuat kesadarannya hilang.

Regan masih belum mengerti bagaimana dirinya bisa berada di tempat itu. Sampai dua hari berlalu tanpa disadari, dia sudah terbangun di sebuah ruangan yang nampak seperti kamar. Kepalanya masih terasa sedikit sakit, tapi pandangannya tidak memiliki masalah. Dia duduk sejenak di atas ranjang keras itu dan melihat ke sekeliling ruangan. Dia juga mulai mencoba mendengarkan suara samar yang berasal dari luar ruangannya itu.

"Dia sudah dua hari terbaring, apa aku perlu memanggil tabib dari kota untuk menyembuhkannya?"

"Tapi dia tidak nampak seperti sakit parah, mengapa tidak menunggunya sampai besok dan membuat keputusan setelahnya?"

"Aku tetap tidak setuju! Apa kamu sadar berapa banyak uang yang dikeluarkan untuk memanggil seorang tabib? Apa kamu mau kita mati kelaparan hanya karena orang luar itu?"

"Orang luar yang kamu sebutkan itu telah dititipkan oleh pemimpin regu untuk dirawat. Kita harus memanggil tabib untuk menyembuhkannya sebagai bentuk balas budi karena ayah kita bisa pulang dengan selamat berkat pertolongan pemimpin regu. Jika orang luar itu mati, mau ditaruh mana wajah ayah kita nanti? Aku pikir warga desa lainnya juga pasti tidak akan senang dengan kita jika orang itu mati karena banyak kerabat mereka yang telah diselamatkan oleh pemimpin regu."

"Dari sekian banyak rumah, kenapa harus keluarga kita?"

"Ini keputusan yang sulit."

Setelah sepatah kata itu, Regan tidak lagi mendengar suara dari arah luar. Dia yang merasa sungkan pun bangkit dan memutuskan berjalan keluar dari kamar untuk menemui orang-orang itu.

Budak Tabib : Transmigrasi Ke Dunia LainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang