Maaf ... jika mungkin hanyalah senyuman yang bisa kulakukan. Setidaknya, aku dapat beribadah kepada Tuhan kapanpun, hanya dengan senyuman. Daripada aku terus diam, meratapi ketidakberuntunganku ini.
***
Tubuh Kevin menegang. Ia tertawa sumbang. "Jangan ngomong aneh aneh. Kamu pasti sembuh ...."
Mata Prilly mulai berkaca-kaca. Hatinya terasa sangat ... sesak. Ia belum bisa meninggalkan Kevin juga Ayahnya ketika Ia sudah lelah nanti. Bagaimana jika dua Pria yang sangat Ia cintai ditinggalkannya, pergi untuk selama-lamanya?
Prilly sebenarnya yakin. Menurutnya, pergi menyusul Mama adalah pilihan yang terbaik. Jika Prilly terus hidup, Prilly kasihan pada Papa yang tetap berjuang membiayai mahalnya pengobatan penyakit menyebalkan itu. Belum lagi Kak Kevin. Pasti adakalanya Kak Kevin merasa lelah dan jenuh menjaganya. Prilly termenung. Kenapa bernapas saja bisa terasa sangat mahal dan berat baginya?
"Kak, manusia bisa capek, kan? Iya kan kak?" Pertahanan Prilly tumpah. Ia mulai terisak. "Kak, kalo aku capek, aku boleh pergi kan, Kak? Boleh, kan? Aku nggak mau lihat Kakak sama Papa berjuang nyembuhin aku, sementara aku bisanya cuma nunggu bantuan dari Kakak sama Papa. Illy nggak berguna, Kak. Illy bener-bener pengecut karena nggak bisa ngapa-ngapain. Illy ... Illy ...."
Prilly juga bisa melihat mata Kevin yang mulai sembab. Ia juga bisa melihat bahu kakaknya yang mulai terguncang. Walau Ia merasakan sesak yang teramat sangat, Ia harus tegar. Ia harus tetap ceria. Ya, Prilly harus tetap seperti itu sampai waktunya tiba nanti.
"Kak ... kakak jangan nangis." Ibu jari Prilly mulai bergerak membersihkan air mata di wajah Kevin. Bukannya berhenti, Kevin semakin gencar menangis.
"Kok kakak tambah nangis sih? Prilly nggak papa ...."
Prilly sendiri berusaha setengah mati untuk menahan air mata. Setelah dirasa cukup, Prilly menundukkan kepala untuk mengeluarkan sisa air mata yang terakhir, mengusapnya, kemudian mendongak disertai senyuman. Perlahan, tangan Prilly mengusap wajah Kevin, hati-hati membersihkan air mata kakaknya.
"Janji sama kakak, kamu bakal terus berjuang demi hidup kamu sampai kapanpun itu," kata Kevin dengan suara serak. Kevin tersenyum melihat adiknya yang mulai tersenyum lagi. Kevin serasa ingin menghentikan waktu saat ini juga. Melihat senyum Prilly ... melihat binar mata Prilly. Sungguh, Kevin sendiri tidak bisa membayangkan bagaimana keadaan dirinya saat Prilly akan pergi ... nanti.
Ia tidak bisa membayangkan bagaimana dirinya jika kemungkinan terburuk itu benar-benar terjadi."Kakak juga nggak akan maksa kamu. Kalo kamu udah nggak kuat, pengen nyerah ... itu semua terserah kamu. Asal kamu bahagia itu udah cukup," kata-kata pahit itu berhasil keluar sempurna. Selama ini Kevin menahan susah payah. Tetapi sepertinya, Prilly sangat ingin mendengar perkataannya.
Prilly mengusap wajahnya kemudian tersenyum. "Makasih kak ...."
Bahkan Prilly tidak tahu lagi, kata apa yang bisa mewakili hati Prilly. Kata yang lebih besar maknanya dari pada kata 'Terimakasih' yang entah sudah berapa ratus kali Ia ucapkan.
Jauh dibelakang mereka, bahu Brama bergetar. Perlahan, kakinya melangkah menuju kamar. Satu persatu air mata menetes begitu saja. Kevin sudah terlihat siap melepas Prilly kapan saja. Tetapi Brama? Jangankan melepas, untuk jauh dari Prilly saja rasanya sangat berat.
Pernah Brama menginginkan Prilly homeschooling saja agar Brama bisa sewaktu-waktu mengecek keadaannya. Tetapi Prilly menolak, tentu saja. Prilly mengatakan, dia ingin menikmati detik-detik hidupnya menjadi lebih berharga. Dan salah satu caranya adalah dengan setiap hari melihat tawa teman-temannya di sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alive : Hidupku Untukmu
Fanfiction"Aku hanya ingin kau tahu, sangat besar keinginanku untuk hidup terus denganmu. Walau aku telah menyadari, keinginan itu mustahil untuk dikabulkan. Bahkan untuk 1% saja jika Tuhan menghendakinya, aku berharap semoga itu menjadi nyata." - Prilly Cant...